Hikmah Jum`at : Cerita dan Konteks Diri yang Unik

 


Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

MENJADI satu keunikan kita sebagai makhluk Tuhan karena adanya kemampuan mengenal dan mengerti orang lain atau makhluk lain yang membuat diri tidak bebas dari unsur penilaian. Tatkala melihat atau mengamati sesuatu atau siapa pun, kita pasti memberi kriteria, memberi stempel, dan memberi label. 

Sadar atau tidak, itulah keunikan, namun yang penting kita sadari bahwa kemampuan yang serupa juga dimiliki orang lain terhadap diri kita, sehingga begitu kita berhadapan dengan siapa pun, maka akan terjadi proses yang sama yakni menilai dan dinilai.

Yang condong dinilai dalam praktik kehidupan kita biasanya mula-mula adalah praktik moral atau etik yang dijadikan sebagai dasar penilaian terhadap perilaku, mulai dari perangai, sikap, tindakan jujur, adil, peduli, sampai kepada simpati dan empati. Orang sering diberi label berdasarkan sejauh mana mereka mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya tentang kemampuan yang meliputi intelektual, pendidikan, kecerdasan, maupun keterampilan. Bahkan penampilan fisik tak luput dari unsur labeling dari proses penilaian.

Ketika kita memberi nilai dan keputusan atas asumsi yang kita jadikan label buat orang lain, maka asumsi itu akan memengaruhi cara pandang kita terhadap diri sendiri. Dan yang sering terjadi bahwa ketika kita memberi label kepada apa pun dan siapa pun akan terjadi kecondongan subyektif untuk memposisikan diri lebih dari siapa pun.

"Selain itu, kesadaran akan saling menilai dapat mendorong kita untuk lebih berhati-hati dalam memberikan nilai terhadap orang lain, lebih mungkin untuk berpikir dua kali sebelum membuat asumsi, karena setiap diri memiliki cerita dan konteks unik sebagai distingsi."

Dalam posisi ini penting kita sadari dan ingat baik-baik bahwa tatkala kita sedang beraksi memberi kriteria atau label kepada siapa pun, maka pada saat yang sama sesungguhnya kita juga sedang memahat kriteria diri kita sendiri, semakin banyak kriteria yang kita berikan kepada siapa pun, maka semakin banyak pula kriteria yang menempel pada diri ini. Karena sebagai makhluk yang diberi kemampuan menilai, kita akan cenderung menilai berdasarkan berbagai kriteria yang melekat pada diri kita.

Tatkala kita melabel siapa pun dengan label yang positif atau sebaliknya dengan label yang negatif dengan berbagai variannya, maka labeling itu akan menempel dan memberi pengaruh terhadap pikiran, hati, tindakan, omongan, dan juga sikap mental kita.

Dan Tuhan telah menegaskan hal itu pada surah al-Hujurat ayat 11, : “Yā ayyuhallażīna āmanụ lā yaskhar qaumum ming qaumin ‘asā ay yakụnụ khairam min-hum wa lā nisā`um min nisā`in ‘asā ay yakunna khairam min-hunn”. 

Terjemahannya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.


Kaitannya dengan memberi label terhadap siapa pun—terutama label yang negatif, penting kita sadari bahwa ketika kita memberi nilai kepada orang-orang di sekitar kita, maka aktivitas yang sama juga sedang dilakukan oleh orang lain terhadap kita, artinya pada saat yang sama kita sesungguhnya sedang saling menilai. Maka berhati-hatilah, apa yang membentuk pandangan dan penilaian kita terhadap orang lain akan menjadi label yang menempel pada kita.

Biasanya ketika kita melabel orang dengan varian-varian negatif, maka akan muncul rasa di dalam diri bahwa kita merasa lebih baik dibanding mereka, ataupun ketika melabel orang dengan label positif, akan sulit terhindarkan dari dalam diri kemunculan rasa ingin mengungguli orang lain. Dan yakinlah label-label yang muncul di dalam diri terhadap orang lain dengan berbagai variannya itu akan menjadi label yang akan ditempelkan orang kepada kita.

Oleh karenanya, penting kita pahami bahwa dalam konteks hubungan sosial sesungguhnya kita saling menilai. Ketika kita menyadari hal itu, maka kita dapat lebih inklusif, mengurangi stereotip yang sering muncul akibat tidak terkendalikan, lebih terbuka terhadap perbedaan, dan akan memperlakukan orang lain jauh lebih adil dan lebih pantas.

"Selain itu, kesadaran akan saling menilai dapat mendorong kita untuk lebih berhati-hati dalam memberikan nilai terhadap orang lain, lebih mungkin untuk berpikir dua kali sebelum membuat asumsi, karena setiap diri memiliki cerita dan konteks unik sebagai distingsi."

Sebagai solusi kunci dalam meminimalisir kecondongan memberi nilai kepada orang lain adalah pemahaman yang mendalam terhadap siapa kita, apa nilai-nilai kita, dan bagaimana kita, dalam artian kita senantiasa merefleksi diri untuk memahami kekuatan, kelemahan, nilai-nilai dari diri kita, yang bakal membentuk diri menjadi lebih arif, bijaksana, dan lebih adil dalam memandang dan memberi asumsi-asumsi.

Intinya semakin dalam dan utuh kita memandang terhadap diri kita sendiri yang tak bebas dari penilaian siapa pun, maka akan semakin tebal dinding yang akan membatasi kebebasan kita untuk menilai dan melabeli orang lain. Ingatlah bahwa menjamin diri menjadi orang baik dalam pandangan diri kita sendiri secara obyektif dan jujur, akan menjadi tolok ukur bahwa orang lain pun akan memberikan label baik tentang diri kita.

Sebagai catatan akhir, batasilah diri ini untuk memberi nilai dan label terhadap siapa pun dan dari sudut pandang apa pun. Ingatlah bahwa iblis mendapat murka Tuhan bukan karena dia tidak mematuhi perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam, akan tetapi karena iblis memberi nilai dan label kepada Adam yang memunculkan asumsi bahwa dirinya yang lebih baik ketimbang Adam dari unsur penciptaan.

Penulis adalah : Guru Besar Universitas Islam Negeri ( UIN ) Mataram


0 Komentar