MENJUNJUNG PRINSIP DAN HATI NURANI, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd


Pesta demokrasi tinggal menghitung hari, sebuah pesta bergengsi di negeri kita (Indonesia Raya), yang akan menentukan pemimpin yang tepat bagi negeri untuk lima tahun ke depan. Gerakan tangan yang tidak sampai satu menit di bilik suara, akan memberi dampak terhadap kondisi dan warna negeri kita ke depan.

SEBAGAI masyarakat yang beragama, tentunya dalam menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin dan menjadi wakil rakyat, harus mengedepankan rasionalitas dan kata hati sebagai prinsip dalam menentukan pilihan. Ingatlah pesan Nabi saw, “idza wussida al amru ila ghairi ahlihi fantadziru al sa’ah”. Terjemahannya: Apabila menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya.

Kalimat singkat namun mendalam yang diajarkan Nabi ini hendaknya menjadi prinsip diri untuk menentukan siapa—dan tentunya masing-masing diri memiliki kemampuan untuk melihat kepantasan, kelayakan, dan kewajaran seseorang yang akan menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Maka dalam suasana isra’ dan mi’raj saat ini, mari kita mi’raj-kan keteguhan prinsip dan kata hati kita ke sidratul muntaha, agar Tuhan takdirkan pemimpin bangsa kita yang tepat dan pantas untuk masa depan negeri yang baldatun toytibatun warobbun ghafur.

Memilih pasti memiliki risiko, tidak ada proses memilih satu dari sekian pilihan yang tidak memiliki risiko. Karena kita akan memilih pemimpin negeri dan wakil rakyat, maka untuk meminimalisir risiko yang buruk, setidaknya pilihan kita mengacu kepada yang memiliki integritas dan berkepribadian, karena hanya dengan modal itulah seseorang akan dapat berlaku jujur, saleh, dan berbudi pekerti.

Prinsip hidup adalah panduan atau nilai-nilai yang menjadi dasar dalam menjalani kehidupan dan landasan untuk menegaskan kecenderungan hati dalam memberikan keputusan dari sekian banyak pilihan dan kebutuhan. Biasanya prinsip ini mengacu pada konsistensi dalam tindakan dan jujur dalam menerjemahkan kata hati. Dan kata hati itu biasanya akurat untuk dijadikan pedoman yang kuat dalam mengambil keputusan.

Setiap individu mungkin memiliki prinsip hidup yang unik dan tentunya berbeda, tergantung pada pengalaman, pengetahuan, nilai, dan tujuan hidup yang dijalani. Terkait dengan memilih, maka penting untuk berpegang pada prinsip yang kokoh dalam pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan hati sebagai landasan etiknya.

Prinsip yang kokoh yang lahir dari hati nurani akan membantu terwujudnya keputusan yang berkelanjutan, yakni berdampak jangka panjang yang tidak hanya menguntungkan diri dan golongan saat ini saja, akan tetapi keuntungan berkelanjutan bagi masa depan generasi.

Memilih dengan berpegang pada prinsip yang kokoh tentunya membutuhkan refleksi pribadi yang mendalam dan komitmen untuk mengikuti nilai-nilai yang dibisikkan hati nurani. Meskipun situasi mungkin kompleks, prinsip-prinsip itu pasti memberikan landasan yang stabil untuk sebuah keputusan yang bertanggung jawab.

Kita bukanlah komunitas burung beo yang tidak mampu menentukan sendiri apa yang harus kita suarakan. Itulah sebabnya dalam etika pemilihan umum di negeri kita, diselenggarakan secara langsung, bebas, dan rahasia. Kita diberikan satu ruang khusus yang dinamakan bilik suara, di situlah letak penghargaan terhadap prinsip dan kata hati.

Bilik suara itu, bukan dihajatkan untuk ikut-ikutan seperti burung beo yang mengikuti suara yang didengar, tetapi untuk yang mengikuti kata hati dengan jujur dan mengeluarkan suaranya sendiri sesuai bisikan hati nuraninya. Sebagai makhluk yang memiliki daya, kita harus dengan bangga mengambil tanggung jawab atas suara dan pilihan sendiri, membuat keputusan yang tepat, dan tidak bergantung secara berlebihan pada orang lain.

Orang yang tidak memiliki prinsip, biasanya tidak memiliki pendirian yang kokoh. Maka sebagai anak bangsa yang memiliki hak pribadi untuk memilih, berpegang pada prinsip dan kata hati adalah keputusan yang paling bijak. Ingatlah bahwa Tuhan akan memberi nilai dari keputusan yang kita ambil secara pribadi, bukan keputusan yang ikut-ikutan.


Kita masih ingat pada aksi seekor semut yang membawa setetes air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim as. Dan semut pun dicemooh oleh cecak, “Wahai semut, mungkinkah setetes air yang ada di mulutmu akan mampu memadamkan kobaran api yang sangat besar itu?”. Semut dengan yakin menjawab, “Setetes air itu memang tidak berdampak apa pun, tetapi paling tidak Tuhan telah melihat keberpihakanku kepada yang benar.”

Iktibar di atas kiranya cukup sebagai landasan moril yang menguatkan prinsip dan komitmen kita dalam merealisasikan bisikan hati nurani di dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat terbaik untuk masa depan negeri yang kita diami.

Sebagai catatan akhir dari Kolom Hikmah ini, marilah kita berpegang teguh pada prinsip dan hati nurani dalam menentukan pilihan terbaik, sebab jikalau tidak, maka kita akan terombang ambing dalam menentukan pilihan, dan bisa saja kita akan menjadi mangsa atas tipu daya nafsu sendiri.

Dari itulah, sebagai bahan pelajaran bagi kita yang memiliki prinsip, mari kita renungkan kisah seorang yang gagal mempertahankan prinsip hidupnya, agar kita tidak termasuk di dalam komunitas yang gagal.

Perdana Menteri United Kingdom masa dulu, bernama Winston Churchill, menceritakan sebuah kejadian menarik yang dialaminya sendiri. Ia naik taksi pada suatu hari ke kantor BBC untuk sebuah interview. Ketika sampai di tujuan, ia meminta kepada supir taksi untuk menunggunya sekitar 40 menit saja, karena ia ingin pulang dengan menumpang taksi itu lagi. Tetapi supir taksi meminta maaf dan berkata, “Saya tidak bisa menunggu bapak, karena saya harus pulang ke rumah untuk mendengarkan pidato Winston Churchill di rumah.”

Pernyataan supir taksi itu sungguh mengagetkan Winston Churcill. Ia sangat kagum dan sangat senang dengan niat supir taksi itu untuk mendengarkan pidatonya di radio! Bahkan supir taksi itu ingin segera pulang ke rumah demi keinginannya itu, dan tidak mau menunggu Winston Churchill untuk menumpang taksinya lagi. Karena rasa bahagia dan kagumnya, Winston Churchill pun mengeluarkan 20 poundsterling dari dompetnya yang pada masa itu bernilai sangat besar. Diberikannya uang itu kepada supir taksi tanpa memberitahu siapa sebetulnya dirinya.

Ketika supir taksi itu menerima uang sebanyak itu dari Winston Churchill, ia mengatakan, “Pak, saya akan menunggumu sampai berapa lama pun bapak akan kembali, persetan dengan pidato Winston Churchill! biarkan Churchill go to hell….”

Dari kejadian itu, Winston Churchill mengatakan, bahwa kita dapat melihat bagaimana “prinsip-prinsip” sudah dimodifikasi demi uang; bangsa dijual untuk uang; kehormatan dijual karena uang; keluarga tercerai berai demi uang; orang-orang terbunuh untuk tujuan uang; dan orang-orang dibuat menjadi budak karena uang.

Penulis adalah : Gubru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram

0 Komentar