Haji, Mencapai Kedalaman Spiritual dan Transformasi Diri Oleh: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd (Wakil Rektor II UIN Mataram)


SUASANA
haji semakin hari semakin terasa hangatnya di tengah kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia, tidak hanya dirasakan oleh jamaah calon haji, akan tetapi dirasakan pula oleh seluruh elemen masyarakat. Mungkin karena ibadah haji merupakan ibadah yang bisa dikatakan sangat ketat persyaratannya, terutama harus istito’ah (berkemampuan), baik secara logistik, pengetahuan, tingkat keimanan, maupun kesehatan.  

Haji merupakan rukun Islam yang diperintahkan kepada umat muslim yang mampu untuk melakukan perjalanan spiritual dan melakukan serangkaian ritual penting yang ditetapkan di dalam syariat agama. Meskipun haji memiliki dimensi ritual yang kuat, namun perlu diingat bahwa rangkaian dari seluruh prosesi haji sesungguhnya dilatari oleh makna yang mendalam berkaitan dengan konteks sejarah ketauhidan para nabi.

Napak tilas perjalanan kenabian menjadi nilai yang sangat kental dalam konteks ibadah haji yakni merujuk pada perjalanan beberapa  orang nabi dengan serangkaian tindakan yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam.

Secara konseptual, kita bisa melihat haji sebagai napak tilas perjalanan Adam dan Hawa dalam mencari suaka Tuhan setelah dikeluarkan dari surga akibat melakukan kesalahan, yang menyebabkan mereka diusir ke bumi untuk melakukan perjalanan mencari pengampunan Tuhan. Dalam konteks ini, haji menjadi simbol perjalanan kembali ke asal-usul, memperbaiki hubungan yang terputus dengan Tuhan dan mencari pengampunan-Nya.

Seperti yang dilakukan oleh Adam dan Hawa, para jamaah haji setidaknya memposisikan diri sebagai seseorang yang melakukan serangkaian tindakan ritual yang melambangkan penyesalan, pengampunan, dan permohonan dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka berjalan di sepanjang jejak-jejak leluhur spiritual, menelusuri perjalanan yang diambil Adam dan Hawa dalam pencarian suaka atau pengampunan Tuhan.

Jadi, melihat haji sebagai napak tilas perjalanan Adam dan Hawa dalam mencari suaka atau pengampunan Tuhan akan membawa dimensi baru dalam memahami signifikansi spiritual dan historis dari perjalanan kenabian, sebagai gambaran perjalanan menuju pengampunan, keselamatan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Saat itu Adam dan Hawa betapa sangat menyadari kesalahannya dan menerima tanggung jawab atas tindakan mereka dengan menunjukkan penyesalan yang tulus atas pelanggaran yang dilakukan dan menyadari konsekuensi dari tindakan tersebut.

Kondisi inilah sesungguhnya dikemas dalam nuansa wuquf di Arafah, di mana para hujjaj hadir di tempat tersebut dengan kondisi merasa menyesal dan menyadari atas tindakan yang mungkin pernah melanggar perintah Tuhan, kemudian bertaubat memohon ampun atas pelanggaran tersebut dan berjanji untuk tidak mengulanginya.

Kemudian haji juga merupakan napak tilas perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, Hajar, dan Ismail, bermula ketika Tuhan memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membawa istrinya, Hajar dan putranya, Ismail ke padang pasir yang tandus (sekarang Mekkah) dan meninggalkan mereka di sana. Ini adalah ujian iman yang sangat berat bagi Ibrahim, dan ia mematuhi perintah Tuhan itu tanpa ragu. Setelah meninggalkan istri dalam kondisi hamil, Ibrahim berdoa kepada Tuhan untuk melindungi mereka dan memberikan mereka rezeki.

Dengan memahami jejak kenabian dalam berhaji dapat membawa kepada kesadaran akan warisan spiritual yang diwariskan oleh para nabi dan rasul yang akan memberikan konteks yang lebih mendalam untuk setiap tindakan dan ritual yang dilakukan.

Dalam keadaan kehausan, Hajar berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwah mencari air. Akhirnya, air zamzam muncul di dekat kaki Ismail setelah ibunya menggosokkan kakinya di pasir. Teriring perjalanan waktu yang terus berjalan, Ibrahim pun harus kembali ke tempat pengasingan keluarga kecilnya, mendapat perintah dari Tuhan untuk membangun Ka’bah yang menjadi titik awal dari pusat ritual haji. Maka haji setidaknya bagi para hujjaj merupakan napak tilas yang mengingatkan pada kisah keimanan, pengorbanan, dan kesetiaan Nabi Ibrahim, Hajar, dan Ismail kepada Tuhannya.


Selanjutnya kita juga harus memahami bahwa napak tilas perjalanan haji tidak hanya mengikuti jejak perjalanan Nabi Adam, Hawa, Ibrahim, Hajar, dan Ismail, tetapi juga disempurnakan oleh jejak spiritual Nabi Muhammad saw, terutama dalam ritual-ritual yang dilakukan di Makkah dan sekitarnya, beliau telah mencanangkan suatu rangkaian indah pada rute perjalanan ritual haji, seperti melakukan thawaf, merupakan ritual yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saat ia merebut kembali kota Makkah dari orang-orang musyrikin.

Sa’i yang merupakan lari-lari antara bukit Safa dan Marwah merupakan bagian dari perjalanan spiritual Nabi Muhammad dalam mengenang betapa ujian Ibrahim itu begitu berat, kemudian perjalanan ke Arafah dan wukuf di sana di mana Nabi Muhammad pernah memberikan khutbah penting di Arafah saat haji wada’ menggambarkan bagaimana pedihnya penderitaan Adam dan Hawa dalam mencari suaka Tuhan, dan melempar jumrah juga merupakan praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sebagai simbol melawan gangguan iblis yang bisa terjadi kapan dan di mana saja.

Pemahaman para hujjaj terhadap jejak kenabian dalam melaksanakan semua ritual haji tidak hanya memberikan dimensi sejarah dan spiritual yang mendalam, akan tetapi juga memberikan kesan yang serius, dan pastinya lebih khusyu’ dalam menjalankan ritual haji. Dengan memahami jejak kenabian dalam berhaji dapat membawa kepada kesadaran akan warisan spiritual yang diwariskan oleh para nabi dan rasul yang akan memberikan konteks yang lebih mendalam untuk setiap tindakan dan ritual yang dilakukan.

Sebagai catatan akhir dari Kolom Hikmah ini, bahwa dengan menyadari berhaji itu bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mengikuti jejak-jejak kenabian akan dapat memberikan kesan yang lebih mendalam pada pelaksanaan ritual-ritual haji.

Dan penting bagi para hujjaj untuk mestinya memahami jejak kenabian tersebut dalam menjalankan ritual haiji, sehingga setiap ritual dan tindakan berhaji akan menjadi lebih bermakna, memberikan kesan yang tak terlupakan, dan membawa dampak positif dalam kehidupan spiritual para hujjaj.

Dan yang paling penting bahwa kesan yang akan didapatkan, bahwa haji sesungguhnya bukan hanya tentang melakukan serangkaian ritual, tetapi juga tentang mencapai kedalaman spiritual yang lebih besar, transformasi diri, dan meningkatkan hubungan dengan Tuhan sebagai perjalanan yang menginspirasi dan mengubah pola dan sikap hidup.

Penulis : adalah Guru Besar dan Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram sekaligus Dosen pada Fakultas Ushuluddin UIN Mataram


0 Komentar