Setitik Noda Menutup Kain yang Sobek Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd ( Wakil Rektor II UIN Mataram)
Ada satu pribahasa yang bagus untuk kita renungkan sebagai pengingat diri agar selalu berhati-hati dalam kaitannya dengan hubungan sosial. Pribahasa itu berbunyi ”Noda pada baju orang lain sangat jelas terlihat, namun sobek pada baju sendiri tidak terlihat”. 

PERIBAHASA  ini mengandung makna bahwa ada kebiasaan buruk yang sifatnya latah didalam diri kita yakni adanya kecenderungan yang lebih berhasrat untuk melihat kesalahan atau kekurangan orang lain ketimbang melihat kesalahan atau kekurangan diri sendiri.

Peribahasa ini mengajarkan kita untuk lebih introspeksi dan adil dalam menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain. Ada baiknya kita melihat ke dalam diri sendiri dan memperbaiki kekurangan yang ada,  dan berusaha menghindari kebiasaan menilai orang lain terlalu cepat, yang akan mengganggu kualitas diri dan mengganggu pemahaman kita terhadap berbagai perspektif. 

Cobalah untuk memahami situasi dan perasaan orang lain dengan pikiran terbuka, sebelum membuat penilaian dan asumsi berdasarkan perilaku atau tindakan seseorang. Periksalah konsep diri kita dibalik kecenderungan menilai orang lain, yang dalam bahasa al-qur’an adalah ”Muhasabah”.

Memberi kesimpulan terhadap perilaku orang lain tanpa memahami kondisi yang sebenarnya, bisa dianggap menjadi perilaku yang kurang bijak dan tidak adil. Perilaku ini dapat menjadi penciri dari kualitas diri dalam pemahaman nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual. Menghakimi tanpa ditunjang oleh pemahaman yang cukup, akan memberikan kesimpulan tanpa fakta—dan itu hanya asumsi yang sering kali menghasilkan penilaian yang tidak adil dan bahkan merugikan secara sosial dan emosional. 

Kebiasaan ini dapat memperkuat stereotip dan prasangka negatif, yang pada akhirnya memperburuk hubungan sosial dan kemanusiaan. Maka berhati-hatilah kita dalam membuat kesimpulan tentang orang lain. Kesimpulan yang kita berikan adalah cermin kepribadian diri kita sendiri. Kesimpulan yang kita buat bisa jadi cerminan dari nilai-nilai, keyakinan, dan cara berpikir kita, dan memberikan penilaian terhadap orang lain dengan terburu-buru menunjukkan ketidakmampuan kita untuk melihat sesuatu dari perspektif kemanusiaan.

Prasangka dan stereotip dapat mempengaruhi cara kita menilai orang lain. Jika paradigma yang kita bangun tidak sesuai antara yang diutuduhkan dengan kenyataan, maka berhati-hatilah, karena Tuhan berjanji akan mencatat apa saja yang terbetik di dalam hati dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kebenarannya. 

Prasangka dan setereotip itu memiliki dua kutub yakni vertikel dan horizontal, yang masing-masing kutub itu membutuhkan pertanggungjawaban yang sama. Jika vertikal pertanggung jawabannya dapat dinetralkan dengan munajat di sepertiga malam, maka untuk menetralkan yang horizontal harus meminta maaf secara substantif atas poin yang menjadi noktah tuduhan yang menempel di hati kita.   

Kemudian penting untuk disadari bahwa orang lain juga memiliki kemampuan untuk membuat kesimpulan tentang diri kita, tetapi mereka mungkin memilih untuk tidak melakukannya, karena tidak ada keuntungannya dan hanya akan memberi fakta atas kualitas diri yang buruk. Ini menunjukkan betapa pentingnya menghormati dan memahami orang lain serta menghindari penilaian yang tidak perlu. 

Di sinilah pentingnya membaca atau memahami diri sendiri sebelum membuat penilaian terhadap orang lain, sebagai langkah menuju pertumbuhan pribadi yang berkualitas. Membaca diri berarti memiliki kesadaran yang lebih baik tentang kekuatan, kelemahan, nilai, dan kondisi pribadi. Ini membantu kita membuat keputusan yang lebih baik dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Seseorang yang lebih fokus pada introspeksi diri akan lebih mungkin untuk menghindari prasangka dan pemberian kesimpulan terhadap orang lain. 

Dengan fokus pada membaca dan memahami diri sendiri, kita bisa menjadi individu yang lebih bijaksana dan terhormat. Hal ini tidak hanya membawa manfaat pribadi, tetapi juga memperkaya hubungan kita dengan orang lain dan kontribusi yang luar biasa terhadap kemaslahatan.

Sebagai bahan perenungan, perlu kita membaca kisah hikmah sebagai iktibar bahwa memberi kesimpulan atas perilaku orang lain yang kita belum tahu keadaan yang sesungguhnya adalah wujud perangai paling rendah. 

Pada suatu hari, seorang ulama besar sedang berjalan-jalan di sepanjang pantai untuk merenung dan mencari ketenangan. Saat sedang berjalan, dia melihat seorang pemuda duduk bersama seorang perempuan di pinggir pantai. Di sebelah mereka terdapat sebuah botol minuman. Ulama tersebut langsung merasa marah dan berpikir bahwa pemuda itu sedang melakukan perbuatan dosa dengan meminum-minuman keras bersama seorang perempuan.

Dengan niat untuk menegur dan memperingatkan, ulama tersebut mendekati mereka. Namun, saat dia mendekat, dia mendengar pemuda itu berkata kepada perempuan tersebut dengan lembut, "Jangan khawatir, kakakku. Aku akan selalu menjagamu dan memastikan bahwa kita akan melalui masa sulit ini bersama."

Ulama itu terkejut mendengar percakapan mereka dan merasa penasaran. Dia lalu bertanya kepada pemuda tersebut, "Maafkan saya, bolehkah saya tahu apa yang sedang kalian lakukan di sini dengan botol minuman ini?"

Pemuda itu tersenyum dan menjawab, "Ini adalah adik perempuan saya. Kami sedang mengenang almarhum ayah kami yang baru saja meninggal. Botol ini hanya berisi air biasa yang kami bawa untuk diminum saat berziarah ke makam ayah kami yang tidak jauh dari sini. Kami datang ke pantai ini untuk merenung dan berbicara tentang kenangan bersama ayah kami."

Mendengar penjelasan itu, ulama tersebut merasa sangat malu dan menyesal karena telah berburuk sangka tanpa mengetahui kebenarannya. Dia lalu meminta maaf kepada pemuda itu, "Maafkan saya karena telah berprasangka buruk kepada kalian. Saya seharusnya tidak menilai tanpa mengetahui keadaan sebenarnya."

Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat membuat penilaian negatif tentang orang lain tanpa mengetahui situasi yang sebenarnya. Sebelum menilai, penting untuk mencari informasi yang lebih lengkap dan memahami konteks dari tindakan orang lain. Mencoba melihat situasi dari perspektif orang lain dan menunjukkan empati dapat membantu kita menjadi lebih bijak dalam menilai tindakan orang lain. Dengan mengambil pelajaran dari kisah ini, kita dapat belajar untuk lebih bijaksana dan berhati-hati dalam membuat penilaian tentang orang lain.

Sebagai catatan pinggir; Penting kita ingat, bahwa tidak semua orang seperti apa yang kita bayangkan, pikirkan, dan rasakan. Berhati-hatilah kita dalam judging, jangan sampai menilai orang lain dengan takaran pikiran dan pengetahuan yang sempit dan terbatas. Pesan Imam syafi’i, ”orang di belakang yang membicarakan diriku, mungkin dia membahayakan duniaku, akan tetapi yang jelas ia bermanfaat untuk akhiratku, maka biarkan saja ia meneruskannya”.

Penulis : Adalah Wakil Rektor  II UIN Mataram 


0 Komentar