KEKUATAN PRASANGKA: KETIKA PIKIRAN MENJADI FAKTA Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd

Hikmah Jum'at, 25 April 2025, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd
 

Ada sepenggal kisah hikmah yang patut kita jadikan perenungan terkait dengan pentingnya membangun keyakinan positif di dalam diri kita masing-masing. 

Alkisah, ada seorang tahanan dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung, tetapi tiba-tiba sekelompok ilmuwan ingin menguji batas keyakinan manusia dan kekuatan pikiran. Mereka mengatakan kepada seorang tahanan bahwa alih-alih digantung, ia akan dibunuh oleh gigitan ular berbisa.

Agar lebih meyakinkan, mereka menunjukkan seekor kobra yang besar dan menakutkan. Tahanan yang dipenuhi ketakutan, kemudian ditutup matanya, tanpa sepengetahuannya para ilmuwan menggunakan jarum tajam untuk menusuk lengannya di tempat yang sama di mana taring ular akan menyerang—mensimulasikan gigitan ular.

Saat tusukan jarum menusuk lengannya, tahanan tersebut percaya bahwa dia keracunan ular, mulailah ia merasakan efek racun yang mengalir di tubuhnya.

Meskipun tidak ada racun yang sebenarnya, kepercayaan pria itu pada gigitan ular menyebabkan penurunan fisiknya yang cepat. Dalam beberapa menit, pria itu pingsan dan meninggal.
Fenomena ini, meskipun mengejutkan, dikenal sebagai efek placebo di mana keyakinan dan harapan dapat membawa hasil fisik yang nyata. Ini menggambarkan betapa kuatnya pikiran.

Pikiran dapat membentuk realitas kita, baik untuk lebih baik atau lebih buruk. Dalam hal ini, keyakinan tahanan terhadap nasibnya begitu kuat, sehingga menyebabkan tubuhnya bereaksi seolah-olah gigitan itu benar-benar terjadi, meskipun sebenarnya tidak.

Cerita ini mengajarkan kita sesuatu yang penting, bahwa pikiran, keyakinan, dan persepsi memiliki dampak mendalam pada kondisi mental kita. Apa yang kita percayai tentang diri kita dan hidup kita akan dapat mengangkat atau menjatuhkan kita.

Kisah tentang tahanan yang meninggal bukan karena racun sungguhan, tetapi karena keyakinannya terhadap racun yang ia percayai masuk ke tubuhnya, merupakan gambaran luar biasa tentang betapa dahsyatnya kekuatan pikiran dan keyakinan. 

Kisah ini menjadi sangat relevan ketika kita hubungkan dengan hadis Qudsi yang terkenal: "Ana 'inda dzonni abdi bii”. Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. (Hadis Qudsi, HR. Bukhari dan Muslim).

Tahanan dalam kisah itu mati bukan karena fakta medis, tetapi karena prasangka atau keyakinannya, bahwa dirinya akan mati karena gigitan ular. Tubuhnya merespons seolah itu nyata, dan ini adalah bentuk ekstrem dari apa yang dalam psikologi disebut efek placebo dan nocebo—di mana pikiran bisa menciptakan efek fisik nyata, baik positif maupun negatif.

Begitu pula dalam kehidupan dan spiritualitas, apa yang kita yakini tentang diri kita dan Tuhan, bisa membentuk nasib kita. Dalam hadis qudsi, Tuhan menyatakan bahwa Dia bertindak sesuai prasangka hamba-Nya. Artinya, jika kita berprasangka baik kepada Tuhan, meyakini bahwa Tuhan Maha Pengampun, Maha Menolong, Maha Menyembuhkan—maka Tuhan akan hadir sesuai dengan keyakinan itu.

Sebaliknya, jika kita berprasangka buruk—bahwa tidak akan selamat, tidak akan dimaafkan, hidup selalu sial—maka prasangka itu bisa mewujud dalam hidup kita. Tahanan tersebut secara tidak sadar telah menciptakan kematiannya sendiri karena keyakinan negatifnya. Ini seperti metafora nyata dari hadis qudsi—ia meyakini sesuatu yang negatif, dan itulah yang terjadi.

Kisah itu juga mengajarkan bahwa setiap pikiran kita adalah doa yang sedang berjalan. Ketika kita meyakini bahwa kita tidak mampu, bahwa kita gagal, bahwa Tuhan tidak sayang—maka tubuh dan hidup kita akan mulai menyesuaikan dengan narasi itu.

Sebaliknya, bila kita menyuntikkan keyakinan positif—bahwa Tuhan akan mencukupkan, bahwa kita sanggup, bahwa ada jalan keluar—maka realitas kita akan bergerak ke arah itu. Maka pelajaran Spiritual yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah:

Pertama, Jagalah prasangka baik kepada Tuhan, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun. Dalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti akan menemui fase-fase kelam, kegagalan, kehilangan, sakit, atau kesendirian yang sunyi. 

Di titik itulah seringkali muncul bisikan hati, “Mengapa ini terjadi padaku?”, “Apakah Tuhan sedang meninggalkanku?” Atau bahkan, “Apakah aku tidak layak dicintai-Nya?”
Ketahuilah, bahwa di saat kondisi seperti itulah justru kita sedang diuji untuk menjaga prasangka baik kepada-Nya—husnuzhan billah—karena iman yang sejati tidak diuji di saat senang, tapi saat semua jalan terasa buntu. 

"Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Tuhan mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)

Kadang apa yang kita anggap sebagai akhir dalam ikhtiar, bisa menjadi permulaan yang lebih indah, kadang kehilangan sesuatu adalah cara Tuhan membebaskan tangan kita agar bisa menggenggam sesuatu yang lebih besar. Maka, jika kita percaya bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Maha Bijaksana, bukankah sudah semestinya kita berprasangka baik dalam setiap takdir-Nya?

Orang yang berprasangka baik kepada Tuhan tak mudah goyah, akan tetap melangkah walau belum terlihat jalan, tetap berdoa walau belum ada tanda-tanda dikabulkan, tetap bersyukur walau hidup tampak sempit. Mengapa? Karena ada keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah tidur dan tidak pernah salah sasaran dalam menurunkan takdir.

Jagalah prasangka baik kepada Tuhan dalam segala hal, karena itulah satu-satunya kompas yang akan menuntun kita menembus badai kehidupan. Setiap ujian yang datang adalah tanda cinta-Nya yang sedang menguatkan kita. 

Dan ingatlah, “Jika kita tidak bisa melihat jalan keluar, bukan berarti Tuhan tidak bekerja. Bisa jadi, Dia sedang menata segalanya untuk kita secara diam-diam.” Maka tetaplah berprasangka baik, bahkan saat yang paling buruk sekalipun, karena Tuhan tidak pernah berhenti mencintai dan tak pernah luput menjaga.

Pelajaran Kedua dari kisah di atas adalah Pikiran yang dipenuhi harapan dan keimanan bisa menjadi obat dan kekuatan, sementara pikiran penuh ketakutan bisa menjadi racun yang mematikan. 

Pikiran manusia ibarat ladang luas yang bisa ditanami apapun—harapan atau ketakutan, keyakinan atau keraguan, cinta atau kemarahan. Dan seperti ladang, apa yang ditanam, itulah yang akan tumbuh dan kembali kepada kita, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pikiran kita adalah akar dari kesehatan atau penderitaan kita.

Dalam dunia medis dikenal placebo effect, yakni kondisi ketika seseorang diberikan “obat palsu” namun ia merasa sembuh karena percaya bahwa obat itu benar-benar menyembuhkannya. Ini bukan sihir—ini kekuatan keyakinan.

Begitu pula dalam hidup, ketika kita memenuhi pikiran dengan harapan, doa, dan keimanan, maka jiwa akan lebih tenang, tubuh lebih kuat, dan langkah hidup lebih tegap.

“Tidak ada penyakit yang Tuhan turunkan, kecuali Dia juga menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari).

Keyakinan ini saja sudah bisa menjadi energi yang menyembuhkan, karena orang yang percaya akan pertolongan Tuhan, akan lebih mudah bersabar, bertahan, dan bangkit. 

Sebaliknya, orang yang pikirannya terus dibayangi ketakutan, prasangka buruk, dan keputusasaan, akan menjadi korban dari pikirannya sendiri. Ia seperti menulis takdir buruk untuk dirinya dengan tinta ketakutan yang ia biarkan menetes setiap hari.

Sebagai catatan pinggir, bahwa kisah di atas mengingatkan kita tentang kekuatan pikiran, hadis Qudsi tersebut adalah seruan ilahi agar manusia memilih untuk berharap, untuk tetap positif, untuk terus berprasangka baik, karena Tuhan adalah seperti yang kita yakini tentang-Nya, maka yakinilah akan kebaikan, harapkan pertolongan, dan jangan pernah berhenti berharap, bahkan di ujung harapan sekalipun. 

Banyak kasus di mana kecemasan berat, pikiran negatif, dan trauma membuat orang jatuh sakit, sulit tidur, sulit bernapas, bahkan merasa sekarat—tanpa sebab medis yang jelas—Ternyata tubuh mengikuti apa yang diyakini oleh pikiran kita.

Penulis: Adalah Wakil Rektor 2 Universitas Islam Negeri ( UIN) Mataram






0 Komentar