KEMERDEKAAN YANG MEMERDEKAKAN: REFLEKSI 80 TAHUN INDONESIA Oleh: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd
Delapan Puluh tahun lalu, kita meraih kemerdekaan dengan keringat, darah, dan doa. Kita berdiri di atas fondasi pengorbanan para pejuang, membawa mimpi besar untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Kini di usia yang tak lagi muda, pertanyaan mendasar harus kita ajukan: Apakah kita sudah dewasa sebagai bangsa?

KEDEWASAAN  berbangsa bukan sekadar bertambahnya umur republik, melainkan kemampuan untuk mengelola perbedaan sebagai kekuatan, bukan ancaman, sebab pluralitas bangsa tidak boleh dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai modal sosial. Ia diukur dari sejauh mana kita mampu menjaga keutuhan tanpa mengekang kebebasan berekspresi, karena persatuan tidak identik dengan keseragaman, demikian pula membangun kemajuan haruslah berlandaskan pada kesadaran sejarah, agar arah pembangunan tidak tercerabut dari identitas bangsa itu sendiri. 

Ketika usia kemerdekaan Republik Indonesia menapaki 80 tahun, sesungguhnya bangsa ini sudah mencapai fase ”matang” dalam kedewasaannya. Ibarat buah yang sudah matang, mengandung makna kesiapan untuk dipetik, dinikmati, sekaligus memberi manfaat. Delapan dekade kemerdekaan bukanlah rentang waktu yang singkat; ia adalah perjalanan panjang yang penuh luka, jatuh-bangun, perjuangan, serta pencarian jati diri.

Pada usia ke-80, bangsa ini sudah seharusnya mampu melepaskan sikap-sikap kekanak-kanakan dalam bernegara; ego sektoral, politik yang pragmatis, atau rivalitas tanpa arah. Kedewasaan bangsa tampak dari kemampuan mengelola perbedaan; mulai dari kearifan menjaga demokrasi tanpa terjerumus pada kebebasan yang kebablasan; kemudian dari keberanian menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, bukan sekadar kalkulasi kekuasaan.

Kemerdekaan yang telah berumur 80 tahun seharusnya menjelma sebagai kemerdekaan yang berkarakter, di mana bangsa ini tidak lagi sibuk membuktikan eksistensi di mata dunia, melainkan berfokus pada substansi—menghadirkan keadilan sosial, pemerataan kesejahteraan, serta mengangkat martabat rakyat kecil. Inilah tanda kedewasaan sejati, tidak hanya bangga pada infrastruktur fisik, tetapi juga merawat infrastruktur moral, spiritual, dan ekologis.

Usia 80 tahun kemerdekaan bukan hanya angka simbolik, melainkan tonggak historis yang menuntut bangsa ini untuk semakin arif, bijak, dan visioner. Seperti manusia yang telah matang dalam perjalanan hidupnya, bangsa Indonesia kini dipanggil untuk menapaki babak baru kedewasaannya; menjadi bangsa yang bukan saja merdeka, tetapi juga merdekakan—diri sendiri, rakyat, dan dunia.

Di samping itu, delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia bukan pula sekadar penanda perjalanan sejarah, tetapi sebuah tonggak reflektif bagi bangsa  untuk menimbang apa arti “merdeka” dalam makna yang sesungguhnya. Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 adalah titik awal, bukan titik akhir. Para pendiri bangsa mengibarkan Sang Saka Merah Putih bukan hanya untuk menandai bebasnya negeri ini dari penjajahan fisik, melainkan juga untuk menyalakan api perjuangan agar kemerdekaan itu terus hidup, berkembang, dan memberi makna bagi seluruh umat manusia.

Dalam usia yang telah mencapai delapan dekade, bangsa Indonesia seharusnya tampil bukan hanya sebagai bangsa yang merdeka, melainkan juga ”memerdekakan”, yakni memerdekakan diri sendiri, memerdekakan rakyatnya, dan memerdekakan dunia.

Memerdekakan diri sendiri mengandung makna setelah 80 tahun seharusnya Indonesia tidak lagi boleh terjebak pada bayang-bayang kolonialisme dalam bentuk baru; korupsi, ketidakadilan, kesenjangan, dan degradasi moral. Kemerdekaan diri berarti membebaskan bangsa dari mentalitas inferior, budaya permisif, dan ketergantungan pada pihak luar (kemerdekaan internal), yang menuntut bangsa ini untuk membangun kemandirian dalam pangan, energi, ilmu pengetahuan, teknologi, serta menumbuhkan kepercayaan diri kolektif bahwa Indonesia sanggup menjadi subjek, bukan objek dalam peradaban global.

Memerdekakan rakyatnya artinya bagaimana ia membebaskan rakyatnya dari berbagai belenggu. Apalah arti merdeka bila rakyat masih terbelenggu oleh kemiskinan struktural, ketidakadilan hukum, dan akses pendidikan yang timpang? 

Memerdekakan rakyatnya berarti negara hadir secara nyata dalam melindungi, menyejahterakan, dan mendidik setiap warga tanpa diskriminasi. Pada titik ini, kemerdekaan harus diwujudkan sebagai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. 

Kesejahteraan rakyat bukan hadiah, melainkan hak; dan tugas negara adalah memastikan hak itu tidak hanya tertulis di atas kertas, melainkan nyata di lapangan.

Memerdekakan dunia, artinya Indonesia sejak awal berdiri telah berkomitmen pada kemerdekaan bangsa-bangsa lain. Di era globalisasi ini, komitmen itu menemukan bentuk baru; bagaimana Indonesia terlibat dalam menjaga perdamaian dunia, mengadvokasi keadilan global, serta membela hak bangsa-bangsa tertindas, termasuk Palestina. 

Lebih dari itu, memerdekakan dunia juga berarti ikut menghadirkan solusi bagi isu-isu kemanusiaan global, seperti krisis iklim, kemiskinan, hingga ketidaksetaraan ekonomi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya mengurus dirinya sendiri, tetapi juga memberi kontribusi bagi peradaban manusia.

Sebagai catatan pinggir, bahwa usia 80 tahun adalah usia yang matang, penuh pengalaman, dan sarat hikmah. Bangsa ini sudah melewati periode perjuangan bersenjata, transisi politik, pergulatan demokrasi, hingga dinamika global yang kompleks. 

Kini kedewasaan bangsa dituntut untuk tampil lebih arif, tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan pembangunan yang berkeadilan, tidak hanya membanggakan infrastruktur fisik, tetapi juga merawat infrastruktur moral, spiritual, dan ekologis. 

Dengan semangat ini, HUT RI ke-80 harus menjadi momentum untuk meneguhkan identitas Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan sekaligus memerdekakan. 

Merdeka dalam arti berdaulat dan mandiri, serta memerdekakan dalam arti membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, kebodohan, dan ketidakadilan. Pada akhirnya, kemerdekaan yang sejati bukan hanya soal kemerdekaan diri, melainkan juga tentang bagaimana bangsa ini memberi arti dan manfaat bagi dunia.

Penulis: adalah Guru Besar dan Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram



0 Komentar