Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd - (Wakil Rektor II UIN Mataram)
Mengamati dan merenungkan tentang kondisi negeri kita saat ini, kita pantas rasanya untuk bersedih, teringatlah kita dengan lirik lagu “Ibu Pertiwi” yang diciptakan oleh Kamsidi Samsuddin pada tahun 1908.
JIKA kita membaca dengan mendalam lirik lagu tersebut yang penuh keharuan, seolah-olah itu bukan hanya sebuah nyanyian, melainkan potret nyata keadaan bangsa kita hari ini.
Indonesia, tanah air yang subur dan kaya, kini tengah menghadapi luka; hutan yang gundul, lautan yang tercemar, keadilan yang sering timpang, serta rakyat yang masih berjuang keluar dari belenggu kemiskinan.
Air mata “Ibu Pertiwi” seakan adalah tangisan bumi, budaya, dan nurani bangsa yang memanggil anak-anaknya untuk bangkit menjaga warisan suci negeri ini.
Mari kita coba renungkan isi lagu Ibu Pertiwi:
Lagu ”Ibu Pertiwi” ini seakan menjadi cermin batin bangsa Indonesia hari ini, ketika liriknya menggambarkan Ibu Pertiwi sedang bersusah hati dan berlinang air mata, kita bisa merasakan relevansinya dengan realitas negeri yang tengah menghadapi banyak persoalan.
Indonesia hari ini sedang berada dalam fase penuh dengan tantangan; seolah tubuh besar bangsa ini tengah dilanda sakit keras dan harus segera dicarikan obatnya.
Hal ini menggambarkan betapa bangsa yang besar ini tengah menghadapi berbagai krisis yang kompleks dan saling terkait, seperti tubuh yang sedang sakit, gejala itu muncul di berbagai sendi; ekonomi yang goyah, politik yang sering dipenuhi intrik, lingkungan yang rusak, serta nilai moral dan sosial yang semakin rapuh.
Namun, sebagaimana tubuh manusia yang selalu memiliki kemampuan untuk sembuh, Indonesia pun menyimpan daya tahan dan kekuatan yang luar biasa. Obat bagi sakitnya bangsa ini tidak semata-mata terletak pada kebijakan pemerintah atau kekuatan politik, tetapi juga pada kesadaran kolektif warganya untuk kembali merawat nilai kejujuran, persaudaraan, keadilan, dan cinta tanah air.
Seperti untaian bait kedua dari lagu ibu pertiwi membuka harapan, “Kami datang berbakti, lihatlah putra-putrimu menggembirakan Ibu” adalah ajakan moral bahwa generasi bangsa tidak boleh tinggal diam. Setiap warga negara memiliki kewajiban menjaga pusaka alam dan nilai luhur bangsa, agar Ibu Pertiwi kembali tersenyum.
Inilah pesan mendalam—meski bangsa ini sedang dalam duka dan tantangan, masih ada harapan jika kita bersatu, menjaga tanah air, dan mengabdi dengan kesetiaan.Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd ( Guru Besar UIN Mataram)
Lagu ”Ibu Pertiwi” bukan hanya sekadar nyanyian patriotik, tetapi juga doa dan seruan abadi agar Indonesia tidak kehilangan arah, dan anak-anaknya tetap setia menjaga serta membahagiakan Sang Ibu.
Jika seluruh elemen bangsa mampu bergandengan tangan, sakitnya negeri kita saat ini bisa menjadi momentum penyembuhan, bahkan kebangkitan. Dengan demikian, rasa sakit yang dialami Indonesia hari ini bukanlah tanda kehancuran, melainkan peringatan agar bangsa ini tidak lupa pada akar nilai luhur yang menjadi sumber kekuatan sejatinya.
Kita menyaksikan banyak gejolak—dari ketimpangan sosial, politik yang kadang dipenuhi kepentingan sempit, hingga masalah ekonomi yang menghimpit rakyat kecil. Alam pun seakan ikut menjerit melalui bencana yang kerap datang, menegur kita agar tidak abai terhadap keseimbangan.
Lebih dari itu, yang paling menyedihkan adalah munculnya krisis moral; kejujuran sering dikalahkan oleh kepentingan, solidaritas terkikis oleh individualisme, dan kebijakan tidak selalu berpihak pada rakyat.
Indonesia sebenarnya adalah rumah besar yang penuh kekayaan, baik alam maupun budaya, namun rumah kita yang besar ini, sekarang terasa retak karena penghuninya lupa menjaga nilai-nilai kebersamaan, keadilan, dan kasih sayang.
Di tengah kondisi yang tidak baik-baik saja saat ini, kita semua dituntut untuk tidak hanya mengeluh, tetapi kembali menyalakan cahaya harapan melalui tindakan kecil yang jujur, peduli, dan berpihak pada kebaikan bersama. Karena Indonesia bukan hanya milik penguasa hari ini, tetapi warisan untuk generasi mendatang.
Ketika rakyat turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi, sejatinya itu adalah wujud cinta kepada bangsa. Namun saat demonstrasi berubah menjadi anarkis—merusak fasilitas umum, melukai sesama, dan menebar ketakutan—di situlah air mata Ibu Pertiwi seakan kembali berlinang.
Demonstrasi adalah hak demokrasi, tetapi anarkisme adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Pesan lagu ”Ibu Pertiwi” mengingatkan, bahwa tugas generasi bangsa adalah “datang berbakti” dan “menggembirakan Ibu”, bukan menambah kesusahannya dengan tindak kekerasan.
Oleh karenanya, setiap kali bangsa ini dirundung konflik sosial dan demonstrasi anarkis, kita seakan mendengar suara lirih Ibu Pertiwi; sebuah seruan agar anak-anaknya kembali menata hati, menyuarakan aspirasi dengan damai, dan menjaga negeri sebagai pusaka yang harus diwariskan dengan kasih sayang.
Sebagai catatan pinggir, bahwa Air mata Ibu Pertiwi dalam lirik lagu ”Ibu Pertiwi” adalah simbol tangisan tanah air yang menunggu kesadaran anak-anaknya untuk kembali menjaga warisan pusaka.
Meski negeri ini tampak sakit, selalu ada daya sembuh yang tersimpan, asalkan seluruh elemen bangsa bersatu, menyalakan kembali nilai kejujuran, solidaritas, dan cinta tanah air.
Demonstrasi, kritik, dan perjuangan boleh dilakukan, tetapi bukan dengan anarkisme yang justru melukai Sang Ibu. Pesan abadi lagu ”Ibu Pertiwi” mengingatkan kepada semua elemen bangsa, bahwa Indonesia akan pulih dan bangkit bila setiap putra-putrinya setia berbakti, menggembirakan Ibu pertiwi, dan mewariskan negeri ini dengan cinta, bukan dengan amarah.
Jika bangsa ini komitmen untuk menegakkan kejujuran, persaudaraan, dan kepedulian sosial, maka rahmat dan keberkahan akan turun sebagaimana janji Allah dalam al-qur’an surat Al-A’raf ayat 96, bahwa negeri yang beriman dan bertakwa akan dilimpahi keberkahan dari langit dan bumi, tentunya dengan kesadaran mendalam bahwa kondisi Indonesia akan pulih hanya mungkin melalui perbaikan hati, akhlak, dan amal kolektif.
Penulis: Guru Besar dan Wakil Rektor II UIN Mataram
0 Komentar