![]() |
Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd |
Dalam pelaksanaan setiap event atau Festival seperti FORNAS, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya, muncul sejumlah catatan kritis—mulai dari tumpang tindih cabang lomba, hingga kurangnya pemahaman publik terhadap esensi olahraga rekreasi itu sendiri. Beberapa mata lomba bahkan memicu perdebatan: apakah ini benar-benar olahraga atau sekadar hiburan?
Namun di balik semua kritik itu, ada lembaran lain yang patut kita buka: lembaran filosofis yang mendasari kelahiran FORNAS. Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (FORNAS) tahu 2025 yang dipusatkan di Nusa Tenggara Barat yang berlangsung dari tanggal 26 Juli hingga 1 Agustus 2025 adalah ajang nasional yang diinisiasi oleh Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI) untuk mewadahi berbagai cabang olahraga rekreasi atau olahraga masyarakat.
Berbeda dari olahraga prestasi yang berorientasi pada medali dan kompetisi, FORNAS mengusung filosofi “Sport for All” (olahraga untuk semua), dengan nilai-nilai utama: Pertama, Olahraga sebagai gaya hidup sehat dan bahagia. FORNAS berangkat dari keyakinan bahwa olahraga bukan sekadar alat pencetak prestasi, tapi juga sarana membentuk kualitas hidup masyarakat melalui kebugaran jasmani, kesehatan mental, dan keceriaan sosial.
Inilah esensi mendasar dari olahraga masyarakat, menjadikannya milik semua orang, bukan hanya para atlet profesional. Dalam FORNAS, olahraga tidak dibatasi oleh podium atau medali, melainkan menjadi panggung kebersamaan, ruang bagi siapa pun untuk bergerak, tersenyum, dan merasa hidup.
Aktivitas fisik yang dilakukan dengan gembira diharapkan tidak hanya memperkuat tubuh, tetapi juga meredakan stres, memperbaiki suasana hati, dan mendorong hubungan sosial yang sehat. Dengan begitu, FORNAS menjadi lebih dari sekadar festival—ia adalah perayaan hidup sehat, perwujudan solidaritas sosial, dan ekspresi kolektif akan semangat hidup yang positif.
Di tengah tantangan zaman modern yang kerap membuat manusia terasing dan pasif, FORNAS menghidupkan kembali nilai-nilai dasar—bahwa tubuh yang sehat, jiwa yang riang, dan hubungan sosial yang hangat adalah fondasi masyarakat tangguh.
Kedua, Kebersamaan dan Gotong Royong. Festival ini menekankan kebersamaan antar individu dan komunitas, mendorong partisipasi lintas usia, latar belakang, dan daerah. Hal ini mencerminkan semangat Bhineka Tunggal Ika dan budaya gotong royong sebagai jati diri bangsa.
Inilah wajah inklusif dari olahraga masyarakat yang ditampilkan pada FORNAS—setiap orang berhak ambil bagian, dari anak-anak hingga lansia, dari pesisir hingga pegunungan, dari yang berprofesi sebagai petani, guru, hingga pedagang kaki lima. Tidak ada batasan kasta sosial dalam semangat bergerak bersama.
Melalui FORNAS, perbedaan bukanlah jurang pemisah, melainkan warna-warni yang memperindah harmoni kebangsaan. Semangat Bhineka Tunggal Ika bukan hanya menjadi semboyan, tapi diwujudkan dalam gerakan kolektif yang saling menyemangati. Budaya gotong royong pun terasa hidup kembali, komunitas saling mendukung, saling menyemangati, dan merayakan pencapaian bersama, bukan sekadar individu.
FORNAS bukan hanya ajang olahraga, melainkan simbol kekuatan sosial yang menyatukan bangsa dalam langkah dan irama yang sama—bergerak bersama demi kesehatan, kebahagiaan, dan persatuan.
Ketiga, Pelestarian budaya dan tradisi lokal. Banyak cabang olahraga yang ditampilkan di FORNAS merupakan bagian dari warisan budaya (misalnya tarian tradisional, pencak silat tradisional, tarik tambang, hingga permainan rakyat). Ini menegaskan filosofi bahwa olahraga juga berperan dalam melestarikan identitas budaya bangsa yang saat ini sudah mulai luntur.
Jadi FORNAS bukan sekadar kompetisi fisik, tetapi perayaan atas identitas dan akar budaya bangsa. Dalam setiap gerakan pencak silat, setiap langkah dalam tarian, dan setiap tawa dalam permainan tradisional, tersembunyi nilai-nilai luhur—ketangkasan, kerja sama, kedisiplinan, dan keberanian. FORNAS menjadikan olahraga sebagai medium pelestarian budaya, bukan sekadar aktivitas jasmani. Di tengah arus globalisasi yang kerap mengikis tradisi lokal, FORNAS dapat menjadi benteng yang menjaga nyala budaya dari berbagai daerah tetap hidup dan relevan.
Dengan menjadikan permainan rakyat sebagai bagian dari festival olahraga nasional, FORNAS menegaskan bahwa identitas budaya tidak boleh dilupakan, tetapi harus dirayakandengan semangat, gerak, dan gembira.
Olahraga bukan hanya soal keringat yang menetes dan tubuh yang bergerak, tetapi bahasa universal yang mampu menyatukan, menyembuhkan, dan menggerakkan perubahan sosial. Ketika olahraga dilakukan dengan kesadaran nilai dan kebermanfaatan, ia menjadi sarana transformasi—membangun karakter, memperkuat solidaritas, dan menumbuhkan semangat kebangsaan.
FORNAS mendorong masyarakat untuk lebih aktif secara fisik, sekaligus mendukung upaya nasional dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan produktivitas masyarakat, ia hadir sebagai pemantik semangat hidup sehat di tengah masyarakat modern yang kian akrab dengan gaya hidup sedentari—yakni gaya hidup minim gerak yang diam-diam menjadi akar berbagai penyakit kronis seperti obesitas, diabetes, hipertensi, hingga gangguan jantung.
Melalui beragam aktivitas fisik yang dikemas secara rekreatif dan menyenangkan, FORNAS mendorong masyarakat untuk kembali bergerak: berjalan, melompat, menari, bermain, dan bersosialisasi secara aktif. Inilah bentuk intervensi sosial yang tidak kaku, namun berdampak besar dalam mengubah pola hidup masyarakat menjadi lebih sehat dan dinamis. Lebih dari itu, masyarakat yang sehat secara fisik dan mental juga menjadi modal penting dalam meningkatkan produktivitas nasional, membentuk generasi yang bertenaga, kreatif, dan siap menghadapi tantangan zaman.
Kemudian dengan menampilkan olahraga dan permainan rakyat, FORNAS menjadi media pelestarian budaya non-benda, dan memberikan ruang eksistensi bagi komunitas olahraga tradisional yang terpinggirkan oleh arus globalisasi. Di tengah gempuran budaya populer dan olahraga modern yang mendominasi ruang publik, banyak tradisi lokal mulai kehilangan tempat dan maknanya.
FORNAS hadir sebagai ruang hidup baru bagi komunitas olahraga tradisional yang selama ini berjalan dalam senyap—komunitas pencak silat tradisional, tarian tradisional, hingga pelestari permainan rakyat. Dengan menampilkan mereka di level nasional, FORNAS bukan hanya memberi pengakuan, tapi juga menghidupkan kembali kebanggaan lokal yang sempat terlupakan.
Lebih dari sekadar tontonan, olahraga tradisional yang tampil dalam FORNAS menjadi bentuk ekspresi budaya yang utuh—mengandung nilai sejarah, filosofi kehidupan, serta kebijaksanaan komunitas. Inilah bukti bahwa olahraga tidak hanya mendidik tubuh, tetapi juga menjaga ingatan kolektif bangsa, menghubungkan masa lalu dengan masa depan melalui gerakan, permainan, dan semangat kebersamaan.
Sebagai catatan pinggir, bahwa FORNAS bukan sekadar ajang olahraga, melainkan sebuah gerakan kebudayaan dan sosial berskala nasional. Ia melampaui batas-batas kompetisi fisik, menjelma menjadi ruang kolektif di mana nilai-nilai bangsa diteguhkan melalui gerakan tubuh, tawa bersama, dan semangat partisipatif.
Dalam filosofi dasarnya, olahraga diposisikan sebagai alat pemersatu bangsa—menghubungkan yang berbeda dalam satu irama kebersamaan. Di saat yang sama, FORNAS menjadi penjaga kesehatan publik, membangkitkan kesadaran masyarakat untuk hidup aktif dan bugar.
Lebih dalam lagi, FORNAS juga berfungsi sebagai pelestari budaya, dengan mengangkat olahraga tradisional dan permainan rakyat ke panggung nasional, menyuarakan bahwa tradisi adalah identitas yang tak boleh dilupakan.
Oleh karena itu, FORNAS 2025 mengusung slogan Slogan Fornas 2025 “Kalah Menang, Semua Senang” mencerminkan semangat sportivitas, kebersamaan, dan kegembiraan kolektif di atas sekadar hasil akhir pertandingan. Ia menegaskan bahwa nilai utama sebuah ajang bukan pada siapa yang keluar sebagai pemenang, tetapi pada pengalaman bermain dengan jujur, saling menghargai, dan merayakan momen bersama.
Penulis: adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
0 Komentar