Hikmah Jum`at, 8 Agustus 2025
DOA adalah jendela dialog antara manusia dan Tuhannya, ruang di mana harapan dipanjatkan, kegelisahan diadukan, dan keyakinan diperteguh. Namun sering kali doa dipahami hanya sebagai sarana untuk meminta apa yang diinginkan, padahal di balik doa ada seni yang lebih dalam, yakni seni menakar harapan agar selaras dengan takdir, seni menyeimbangkan antara usaha, permohonan, dan penerimaan.
Doa pada hakikatnya adalah medium spiritual yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta, sebuah ruang kontemplasi tempat manusia belajar mengenali dirinya sendiri sekaligus menyadari keterbatasan dirinya di hadapan kekuasaan Ilahi.
Ketika doa hanya dipandang sebagai sarana untuk meminta sesuatu, pengalaman spiritual yang terkandung di dalamnya menjadi sempit, bahkan cenderung transaksional. Padahal doa mengandung dimensi edukatif dan transformatif, di mana di dalam proses berdoa, manusia belajar tentang kesadaran diri—apa yang benar-benar dibutuhkan, bukan sekadar diinginkan—serta belajar tentang arti ikhtiar yang diiringi kepasrahan.
Konsep “seni menakar harapan agar selaras dengan takdir” menunjukkan adanya keseimbangan yang harus dijaga, manusia tetap memiliki kebebasan untuk berharap setinggi-tingginya, namun doa yang dewasa akan diiringi oleh pemahaman bahwa tidak semua yang diinginkan membawa kebaikan menurut pandangan Tuhan. Inilah yang menjadikan doa sebagai sarana pendidikan batin—mengolah keinginan pribadi menjadi permohonan yang lebih bijak, menyelaras dengan kehendak Ilahi yang lebih luas dari logika manusia.
Di sisi lain banyak yang memposisikan doa sebagai sarana pelarian dari kerasnya persaingan dunia, padahal doa itu bukan pelarian dari kerja keras, melainkan energi yang menghidupkan usaha. Seseorang yang berdoa tanpa berusaha adalah seperti orang yang menanam tanaman tanpa menyiramnya, sementara orang yang berusaha tanpa doa akan kehilangan dimensi spiritual yang memperkuat makna tindakannya.
Doa tidak dimaksudkan untuk menggantikan kerja keras, tetapi menjadi energi spiritual yang mengarahkan langkah manusia. Dalam Islam, Nabi SAW mengajarkan agar seseorang mengikat untanya terlebih dahulu sebelum bertawakkal kepada Tuhan—sebuah metafora yang menegaskan bahwa doa harus disertai dengan ikhtiar nyata, artinya menakar doa sama artinya memahami bahwa harapan yang dipanjatkan perlu dibarengi tindakan sesuai kemampuan terbaik kita.
Doa bukanlah jalan pintas untuk meraih hasil tanpa usaha, melainkan sumber energi batin yang memberi arah dan makna pada kerja keras. Ajaran Nabi tentang “mengikat unta” sebelum bertawakkal mengingatkan bahwa tawakkal bukan sikap pasrah pasif, tetapi perpaduan antara ikhtiar optimal dan keyakinan pada keputusan Tuhan. Dengan demikian, menakar doa berarti menyadari bahwa setiap harapan yang kita panjatkan harus disertai langkah nyata sesuai kemampuan yang kita miliki.
Setiap doa membawa harapan, tetapi tidak semua harapan sesuai dengan rencana Ilahi. Di sinilah manusia belajar seni menyelaraskan kehendak pribadi dengan ketentuan Tuhan. Harapan tetap boleh besar, tetapi harus dipahami bahwa Tuhan melihat dari sudut pandang yang melampaui nalar manusia. Ketika jawaban doa tidak sesuai ekspektasi, justru di situ ada pelajaran untuk memperluas kesadaran dan kedewasaan imani.
Doa adalah jembatan antara keinginan manusia dan kehendak Tuhan, tempat harapan bertemu dengan kebijaksanaan Ilahi. Tidak semua yang diminta terkabul sesuai bayangan kita, karena Tuhan melihat dengan perspektif yang jauh melampaui keterbatasan nalar kita. Di balik doa yang tak terjawab sesuai harapan, tersimpan pelajaran tentang kerendahan hati, perluasan kesadaran, dan kedewasaan imani—bahwa berdoa bukan sekadar meminta, tetapi belajar menyelaraskan diri dengan rencana Tuhan yang lebih sempurna.
Penerimaan bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan kemampuan untuk menyadari bahwa hasil akhir adalah wilayah Tuhan. “ana urīd, anta turīd, wallāhu yaf‘alu mā yurīd” Aku menginginkan sesuatu, engkau juga menginginkan sesuatu, akan tetapi ketetapan (keinginan) Tuhanlah yang pasti akan berlaku. Dengan kata lain, kita merancang harapan masing-masing, namun keputusan akhir tetap berada di tangan Yang Maha Berkehendak.
Ada tiga jawaban doa yang sering disebut oleh para ulama; dikabulkan segera, diganti dengan sesuatu yang lebih baik, atau ditangguhkan sebagai tabungan kebaikan di akhirat.
Memahami hal ini mengajarkan kita untuk tidak terjebak pada kekecewaan ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana. Penerimaan sejati mengajarkan kita untuk tetap berusaha maksimal sambil menyadari bahwa keputusan akhir ada di tangan Tuhan. Hal ini akan menumbuhkan ketenangan batin, karena setiap doa pasti berbuah kebaikan, meski wujudnya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan.
Menakar doa juga berarti mengenali diri sendiri—apa yang benar-benar dibutuhkan, apa yang berlebihan, dan apa yang bisa membawa kemaslahatan bersama. Doa yang ditakar dengan baik adalah doa yang tidak hanya memohon kebaikan untuk diri sendiri, tetapi juga membawa keberkahan bagi sesama dan alam semesta.
Menakar doa sejatinya adalah proses mengenali diri dan menyaring keinginan agar selaras dengan kebaikan yang lebih luas. Doa yang matang tidak hanya meminta pemenuhan kebutuhan pribadi, tetapi juga memohon keberkahan yang menyentuh sesama dan menjaga keseimbangan alam. Dari sini, doa menjadi bukan sekadar permintaan, melainkan wujud kesadaran akan tanggung jawab spiritual terhadap kehidupan bersama.
Sebagai catatan pinggir, bahwa seni menakar doa adalah perjalanan spiritual yang menggabungkan tiga dimensi: mengerahkan usaha terbaik, memanjatkan permohonan dengan kerendahan hati, dan menerima keputusan Tuhan dengan kelapangan dada.
Dalam keseimbangan inilah manusia menemukan ketenangan, karena ia sadar bahwa hidup adalah kolaborasi indah antara kehendak manusia dan takdir Tuhan.
Doa tidak hanya memperkuat keyakinan, tetapi juga mendidik kita agar mampu menata harapan, bekerja dengan sungguh-sungguh, dan menerima takdir dengan lapang dada. Inilah keindahan doa yang sejati—bukan sekadar meminta, tetapi membentuk pribadi yang matang dalam menyikapi kehidupan.
Penulis: adalah: Guru Besar dan Wakil Rektor II UIN Mataram
0 Komentar