Pemimpin itu Sudah Tercatat: Sebuah Renungan Teologis Oleh: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

Hikmah Jum`at, 01 Agustus 2025

Dalam riuhnya suasana demokrasi, mekanisme musyawarah, atau proses seleksi yang ketat, kita sering melihat munculnya sosok-sosok pemimpin yang seakan-akan lahir dari hasil kerja manusia semata. Dari kacamata iman, ada satu keyakinan yang selalu menyertai pandangan spiritual umat beragama, bahwa siapa yang menjadi pemimpin sesungguhnya sudah tercatat di sisi Tuhan.

”Qulillāhumma mālikal-mulki tu`til-mulka man tasyā`u wa tanzi’ul-mulka mim man tasyā`u wa tu’izzu man tasyā`u wa tużillu man tasyā`, biyadikal-khaīr, innaka ‘alā kulli syai`ing qadīr”. Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. (QS. Ali Imran: 26)

Ini bukan klaim fatalistik, melainkan sebuah kesadaran teologis bahwa setiap jabatan adalah bagian dari takdir ilahi, dan setiap kekuasaan adalah bagian dari skenario Tuhan.

Ayat di atas menjadi pilar kesadaran bahwa kekuasaan bukan sekadar hasil pilihan manusia, tetapi juga perwujudan kehendak Tuhan. Seorang pemimpin tidak sekadar muncul karena kampanye yang kuat, jaringan politik yang luas, atau kecakapan manajerial yang unggul. Semua itu adalah bagian dari proses yang pada akhirnya, penetapan akhir tetap berada di tangan Tuhan.

Pernyataan “bahwa kekuasaan bukanlah sekadar hasil pilihan manusia, tetapi juga perwujudan kehendak Tuhan” mengandung pesan teologis yang dalam, yakni mengajak kita melihat kepemimpinan bukan hanya dari sisi rasional dan prosedural, tetapi juga dari dimensi spiritual dan metafisis. 

Dalam dunia modern yang sangat menjunjung tinggi proses demokrasi, kita mudah terjebak dalam pandangan bahwa kekuasaan adalah murni produk usaha manusia. Padahal, dalam pandangan iman, setiap kekuasaan hakikatnya merupakan amanah yang telah ditentukan Tuhan sejak sebelum manusia dilahirkan.

Benar bahwa kampanye yang kuat, jaringan politik yang luas, dan kecakapan manajerial adalah syarat-syarat penting untuk meraih kekuasaan, namun itu semua hanyalah asbab—penyebab lahiriah yang tidak mutlak. 

Di balik semua itu, ada iradah ilahiyah (kehendak Tuhan) yang menentukan siapa yang akhirnya dipilih, siapa yang diberi kesempatan memimpin, dan siapa yang ditakdirkan menjadi pelayan umat—Kemenangan seorang pemimpin bukan semata hasil kerja tim sukses, tetapi juga bagian dari skenario ilahi yang bekerja dalam sunyi.

Pandangan ini tidak menghilangkan pentingnya ikhtiar dan kompetensi, tetapi justru menyeimbangkan antara usaha manusia dan pengakuan akan kehendak Tuhan. Konsep ini menanamkan kesadaran kepada kita bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hadiah. Bukan pula puncak pencapaian, tetapi awal dari pertanggungjawaban. Maka, semakin tinggi kekuasaan, semakin besar pula beban spiritual dan moral yang harus ditanggung.

Oleh karena itu, siapa pun yang dipercaya memegang kekuasaan hendaknya rendah hati, karena jabatan itu bukan karena kehebatan semata, melainkan karena Tuhan sedang menguji dengan peran yang besar. 

Dan bagi sebagian kita, kesadaran ini dapat membimbing kita untuk tidak terjebak dalam kebencian atau kekecewaan berlebihan terhadap hasil pemilihan, karena boleh jadi, di balik keputusan manusia yang tampak, Tuhan sedang menyiapkan jalan terbaik untuk umat, dengan cara-Nya yang misterius.

Keyakinan bahwa kepemimpinan telah tercatat di sisi Tuhan bukan berarti bahwa manusia harus pasrah tanpa usaha. Justru ini adalah pengingat bahwa setiap pemimpin yang lahir di tengah masyarakat membawa amanah yang besar dan pertanggungjawaban yang berat. Jika Tuhan telah menetapkan seseorang menjadi pemimpin, maka sesungguhnya Dia juga telah menakar kesanggupannya untuk memikul beban itu.

Pernyataan ini tidak hanya menegaskan bahwa kepemimpinan adalah bagian dari takdir Tuhan, tetapi juga penegasan bahwa tidak ada satu pun amanah yang diberikan tanpa pertimbangan ilahi. 

Tuhan Yang Maha Tahu tidak akan menempatkan seseorang dalam posisi strategis tanpa keyakinan bahwa hamba-Nya mampu, setidaknya memiliki potensi untuk menjalankan amanah itu dengan baik.

Dalam tradisi pemikiran Islam klasik, para ulama sering menyebut pemimpin sebagai zillullah fil ard—bayangan Tuhan di muka bumi. Ini bukan pengultusan, tetapi penegasan bahwa tugas pemimpin mencerminkan nilai-nilai ketuhanan—keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan keberpihakan kepada yang lemah.

Dengan kesadaran ini, kita semua tidak sekadar melihat pemimpin dari sisi teknokratis, tetapi juga dari sisi moral dan spiritual. Kepemimpinan yang baik bukan hanya soal pencapaian target, tetapi juga soal membawa nilai-nilai kebaikan ke dalam kehidupan.

Jika pemimpin adalah takdir Tuhan, maka rakyat pun memiliki peran spiritual—menerima dengan lapang, mendukung dengan doa, dan mengoreksi dengan santun. Keyakinan ini mengajarkan kita untuk tidak larut dalam fanatisme politik, tetapi menjaga kesadaran bahwa siapa pun yang ditetapkan menjadi pemimpin—itulah yang Tuhan kehendaki untuk masa itu.

Jika kita percaya bahwa seorang pemimpin diangkat bukan semata karena hasil suara terbanyak, kekuatan lobi, atau kekuasaan modal, melainkan karena takdir dan kehendak Tuhan, maka sebagai masyarakat, kita tak boleh bersikap pasif, justru kesadaran bahwa pemimpin adalah titipan Tuhan harus menumbuhkan tanggung jawab spiritual dalam diri kita; 

Pertama, membuka hati kita bahwa siapa pun yang diberi amanah adalah bagian dari skenario ilahi yang harus dijalani bersama. Penerimaan ini menjauhkan kita dari fanatisme buta dan permusuhan yang berlebihan. Ia menumbuhkan kedewasaan dalam berdemokrasi dan menghindarkan diri dari keterbelahan sosial yang tidak perlu.

Kedua, Mendoakan pemimpin sebagai wujud cinta dan tanggung jawab kolektif. Seorang pemimpin tidak akan mampu berjalan sendiri tanpa doa dan restu dari yang dipimpinnya. 

Dalam al-qur’an banyak dikisahkan bahwa para nabi pun memohon doa dan dukungan dari kaumnya agar tugas dakwahnya dimudahkan, demikian pula dalam realitas kepemimpinan moderen, dukungan spiritual dari rakyat adalah energi yang tak terlihat yang menopang langkah-langkah besar seorang pemimpin.

Sebagai catatan pinggir, bahwa kepemimpinan dalam perspektif iman adalah amanah ilahi yang lahir dari keseimbangan antara ikhtiar manusia dan takdir Tuhan. 

Pemimpin memang muncul melalui mekanisme demokrasi, musyawarah, dan usaha manusia, tetapi penetapan akhirnya berada di tangan Tuhan, yang menakar kemampuan hamba-Nya untuk memikul beban tersebut. Kesadaran ini menuntun pemimpin agar rendah hati, menjadikan jabatan sebagai ladang tanggung jawab moral dan spiritual, bukan sekadar prestise duniawi. 

Bagi kita, keyakinan ini melahirkan kedewasaan berdemokrasi—menerima dengan lapang, mendukung dengan doa, dan mengoreksi dengan santun. Dengan demikian, kekuasaan dipahami bukan sekadar puncak pencapaian manusia, tetapi bagian dari skenario ilahi yang harus dijalani bersama dengan kesadaran, doa, dan tanggung jawab kolektif.

Penulis : adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram


0 Komentar