Dalam era teknologi saat ini, setiap komentar, unggahan, atau bahkan like adalah cerminan diri yang bisa berdampak pada orang lain dan bisa saja akan dikenang lebih lama daripada kata-kata lisan. Apa yang kita sebarkan di ruang digital dapat membentuk persepsi, memengaruhi pikiran, bahkan menuntun tindakan orang lain—positif maupun negatif. Karena itu, jejak digital bukan sekadar data, melainkan rekaman moral yang akan kita pertanggungjawabkan, baik secara sosial, profesional, maupun spiritual.
Dalam perspektif Islam, setiap amal manusia sekecil apa pun tidak akan luput dari catatan Tuhan. ”Mâ yalfidhu ming qaulin illâ ladaihi raqîbun ‘atîd”. mâ yalfidhu ming qaulin illâ ladaihi raqîbun ‘atîd (QS. Qaf ayat 18). Kemudian firman yang lain, “Fa may ya’mal miṡqāla żarratin khairay yarah, wa may ya’mal miṡqāla żarratin syarray yarah”. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya pula) (QS. Az-Zalzalah ayat 7–8).
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa tidak ada tindakan yang sia-sia, termasuk aktivitas kita di dunia maya. Setiap kata yang kita tulis, unggahan yang kita sebarkan, atau komentar yang kita tinggalkan adalah bagian dari amal yang tercatat dan akan diperlihatkan kembali kepada kita di hadapan Tuhan.
Secara sosial, jejak digital membentuk reputasi dan kepercayaan orang lain; secara profesional, ia bisa menjadi penentu integritas dan kredibilitas di dunia kerja; dan secara spiritual, ia akan tercatat dalam “kitab amal” yang akan dibuka pada hari hisab (Baca QS. Al-Isra ayat 14). Maka menyadari bahwa jejak digital adalah bagian dari tanggung jawab moral yang membuat kita lebih berhati-hati, menimbang manfaat dan mudarat sebelum mengetik atau mengunggah sesuatu.
Bijak di ruang digital sejatinya adalah perpanjangan dari menjaga lisan, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Man kāna yu’minu billāhi wal-yaumi al-ākhir, falyaqul khairan aw liyaṣmut.” Barangsiapa beriman kepada Tuhan dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dunia digital sering dipandang hanya sebagai ruang virtual yang tidak nyata, padahal setiap aktivitas kita di dalamnya—baik berupa tulisan, gambar, komentar, atau bahkan ekspresi sederhana seperti tanda suka—mencerminkan nilai, sikap, dan integritas diri. Jejak tersebut tersimpan bukan hanya dalam sistem algoritma atau server, tetapi juga dalam kesadaran kolektif masyarakat yang membacanya dan dalam hati nurani kita sendiri.
Ketika sebuah konten melukai, menebar kebencian, atau menyesatkan, dampaknya tidak hilang hanya karena kita menghapusnya; ia sudah terpatri dalam ingatan dan pengalaman orang lain. Sebaliknya, ketika kita menebar kebaikan, inspirasi, dan pengetahuan yang bermanfaat, jejak itu bisa menjadi amal jariyah yang terus hidup meski kita sudah tiada.
Karena itu, jejak digital adalah cermin akhlak dan moralitas yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, baik di hadapan sesama maupun di hadapan Tuhan. Maka berhati-hatilah kita dalam setiap sentuhan jari di layar, sebab ia bukan sekadar aktivitas teknologi, tetapi perbuatan yang berdampak pada moral dan spiritual.
Dengan menyadari hal ini, kita diajak untuk lebih bijak, menimbang setiap interaksi digital sebagaimana kita menjaga tutur kata dan perbuatan dalam kehidupan nyata. Artinya, dengan menyadari bahwa jejak digital akan dipertanggungjawabkan, kita sesungguhnya sedang diingatkan bahwa ruang virtual tidak berbeda dengan ruang nyata dalam hal etika dan tanggung jawab moral.
Dunia digital hanyalah perpanjangan dari kehidupan kita, bukan ruang kosong tanpa hukum dan nilai. Setiap kata yang kita tulis, setiap gambar yang kita unggah, setiap komentar yang kita lontarkan akan meninggalkan bekas yang bisa mempengaruhi diri sendiri maupun orang lain.
Kesadaran ini menuntut kita untuk menimbang dengan hati-hati sebelum berinteraksi: apakah yang kita sampaikan menebarkan kebaikan atau justru menyakiti? Apakah yang kita bagikan bermanfaat atau sekadar menambah kebisingan?. Dalam konteks inilah, kebijaksanaan digital menjadi laku hidup yang tak kalah penting dibanding menjaga lisan dan perilaku di dunia nyata. Sebagaimana tutur kata dan tindakan, jejak digital pun harus kita pertanggungjawabkan—karena keduanya adalah cermin integritas dan akhlak kita.
Sebagai catatan pinggir, bahwa setiap tindakan kita di ruang digital bukanlah sekadar aktivitas teknis yang meninggalkan data dalam sistem, tetapi juga rekaman moral yang melekat pada diri. Jejak digital ibarat bayangan yang tak bisa dipisahkan dari langkah kita: algoritma menyimpan data, sementara hati nurani, masyarakat, dan Tuhan mencatat nilai moral dari apa yang kita sebarkan.
Dengan demikian, dunia maya bukan ruang kosong tanpa hukum, melainkan perpanjangan dari kehidupan nyata yang menuntut etika, kebijaksanaan, dan tanggung jawab. Setiap kata yang kita tulis, gambar yang kita unggah, atau komentar yang kita tinggalkan adalah refleksi dari integritas kita; ia bisa menjadi sumber kebaikan yang menebar manfaat atau justru sebaliknya, menjadi rekaman keburukan yang kelak menghadirkan penyesalan.
Kita memang makhluk yang diberikan kemerdekaan untuk memilih, tetapi ingatlah, bahwa kita selalu terikat oleh konsekuensi moral dari setiap jejak yang kita tinggalkan, baik dalam dunia nyata maupun dunia maya (digital).
Penulis: adalah Guru Besar dan Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri-UIN Mataram
0 Komentar