Guru sebagai Pelita Kehidupan: Pesan Moral di Balik Pernyataan Menteri Agama, Oleh Prof. DR. H.Maimun Zubair, M.Pd

                                     Hikmah Jum'at, 12 September 2025

Pernyataan Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar yang sempat viral di kalangan guru Indonesia sesungguhnya menyimpan pesan moral yang amat dalam. Beliau menegaskan bahwa profesi guru tidak semestinya dipandang semata sebagai ladang mencari nafkah, melainkan sebagai panggilan jiwa yang mulia dan ladang amal jariyah. 

Meskipun redaksinya sempat menimbulkan salah paham, jika ditelaah lebih dalam, pesan tersebut sejatinya mengingatkan kita pada dimensi spiritual dan filosofis profesi seorang guru. Dalam perspektif Islam, ilmu yang diajarkan oleh seorang guru akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir bahkan setelah ia wafat, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW bahwa amal manusia terputus kecuali tiga, salah satunya ilmu yang bermanfaat. 

Dari sisi filosofis, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penuntun jiwa dan pembentuk peradaban. Oleh karena itu, pesan Bapak Menteri Agama dapat dimaknai sebagai ajakan moral untuk menghidupkan kembali kesadaran bahwa mengajar adalah panggilan hati, sebuah pengabdian yang menghubungkan dimensi profesi dengan dimensi ibadah.

Dengan kesadaran ini, guru akan senantiasa menjaga keikhlasan, sementara negara dan masyarakat tetap berkewajiban menguatkan kesejahteraan mereka agar pengabdian itu dapat berlangsung dengan penuh martabat.

Al-Qur’an menegaskan bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh ilmu. ”Yarfa‘illâhulladzîna âmanû mingkum walladzîna ûtul-‘ilma darajât”. Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS. al-Mujādilah: 11). Ay at ini menegaskan bahwa ilmu merupakan pilar kemuliaan, dan guru sebagai penyampai ilmu menempati posisi istimewa dalam pandangan Tuhan. 

Jika seorang guru menjadikan niat utamanya untuk mendidik, maka profesinya berubah menjadi ibadah. Inilah yang ingin ditekankan Bapak Meneteri Agama, bahwa guru bukan pedagang ilmu, melainkan penyalur hikmah dan pencerahan. Tentu hal ini tidak berarti guru tidak boleh sejahtera, justru Islam mengajarkan keseimbangan antara ikhlas mengabdi dan hak hidup yang layak.

Mengajar dengan niat ikhlas sejatinya menempatkan profesi guru pada dimensi ibadah, di mana setiap kata, bimbingan, dan nilai yang ditanamkan menjadi amal jariyah yang pahalanya tak terputus, namun hal ini sama sekali tidak berarti guru harus mengabaikan hak kesejahteraannya.

Pesan Bapak Meneteri Agama sesungguhnya adalah ajakan moral untuk memuliakan profesi guru sebagai ibadah yang bernilai transendental, sembari tetap memastikan bahwa kesejahteraan mereka terjamin, agar semangat pengabdian itu dapat terus menyala dengan penuh martabat.

Imam al-Ghazali dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn menyebutkan bahwa guru sebagai pewaris para nabi (waratsat al-anbiyā’). Ia menekankan bahwa tugas guru bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membersihkan jiwa anak didiknya, menanamkan akhlak mulia, dan membimbing mereka mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalam perspektif ini, guru hadir sebagai penuntun jalan spiritual yang membantu para murid menemukan hakikat hidup dan tujuan penciptaannya. Pandangan al-Ghazālī juga sejalan dengan sabda Nabi SAW, ”Al-ulama waratsatul anbiya’.

Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. (HR. Abu Dawud). Artinya, guru tidak hanya berfungsi sebagai agen intelektual, tetapi juga sebagai agen transformasi jiwa dan peradaban. Statemen ini sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua bahwa profesi guru harus ditempatkan pada posisi terhormat, karena melalui tangan merekalah lahir generasi yang berilmu, beradab, dan beriman.

Syekh Muhammad Abduh, tokoh pembaharu Islam Mesir, menegaskan bahwa kemajuan umat sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan guru. Menurutnya, guru adalah al-quwwah al-hayawiyyah (kekuatan vital) bagi sebuah bangsa, tanpa guru yang tulus dan berkualitas, masyarakat akan kehilangan arah.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa guru bukan hanya sosok pengajar, tetapi juga penentu arah peradaban. Tanpa guru yang tulus dan berkualitas, masyarakat akan terombang-ambing tanpa kompas moral maupun intelektual. 

Pandangan Abduh ini lahir dari kesadaran bahwa kemunduran umat Islam kala itu bukan semata disebabkan oleh lemahnya ekonomi atau politik, melainkan karena rapuhnya fondasi pendidikan. Guru dengan integritas, keikhlasan, dan kecakapanlah yang mampu menyalakan obor peradaban, menanamkan nilai agama, ilmu, dan akhlak mulia.

Statemen Abduh ini sekaligus menjadi kritik sosial, bahwa membangun bangsa tidak cukup dengan infrastruktur fisik, melainkan harus dimulai dari pembangunan manusia melalui pendidikan yang bermutu dan guru yang berjiwa pengabdian. Dalam kerangka ini, guru bukan hanya profesi, tetapi pilar peradaban yang menentukan maju mundurnya sebuah umat.

Di Indonesia, KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim mengingatkan bahwa guru harus meneladani keikhlasan para ulama terdahulu dan pentingnya adab murid dan masyarakat dalam menghormati guru, termasuk dalam memperhatikan kesejahteraannya.

Guru dalam pandangan KH. Hasyim Asy‘ari sebagai penjaga ilmu yang harus menjaga kemurnian niat dan keluhuran akhlak, sebab dari merekalah lahir generasi penerus umat. 

Beliau juga mengingatkan bahwa tanggung jawab memuliakan ilmu bukan hanya berada pada guru, melainkan juga pada murid dan masyarakat. Murid dituntut beradab dalam menuntut ilmu, menghormati guru, dan menjaga hubungan spiritual dengannya. Sementara masyarakat memiliki kewajiban memperhatikan martabat serta kesejahteraan guru, agar mereka dapat menjalankan tugas mulia tanpa beban hidup yang menghambat.

Pandangan ini menunjukkan kearifan KH. Hasyim Asy‘ari, bahwa beliau tidak hanya menekankan idealisme keikhlasan, tetapi juga realisme kebutuhan hidup. Dengan demikian, terbangunlah sebuah harmoni di mana guru berjuang dengan ikhlas, murid beradab dalam belajar, dan masyarakat hadir sebagai penopang kesejahteraan, sehingga ekosistem pendidikan dapat melahirkan generasi yang berilmu sekaligus berakhlak.

Sebagai catatan pinggir, bahwa pernyataan Bapak Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar tentang profesi guru sejatinya merupakan seruan moral yang mengembalikan makna keguruan yang pada hakikatnya sebagai panggilan jiwa, ibadah, dan ladang amal jariyah. 

Jika dilihat dari perspektif hadis Nabi SAW, ajaran al-Ghazālī, pemikiran Syekh Muhammad Abduh, dan nasihat KH. Hasyim Asy‘ari, maka guru tidak semata agen transfer ilmu, melainkan pewaris para nabi, penjaga ilmu, penuntun jiwa, dan pilar peradaban.

Keikhlasan guru tidak boleh dimaknai sebagai alasan untuk mengabaikan hak kesejahteraannya, justru sebagaimana diingatkan oleh para ulama, keseimbangan harus dijaga—guru beramal dengan niat ikhlas dan penuh pengabdian, sementara masyarakat dan negara berkewajiban memberikan penghormatan dan kesejahteraan yang layak. 

Dengan harmoni ini, profesi guru akan menjelma menjadi pelita kehidupan yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga membentuk jiwa dan mengarahkan umat menuju peradaban yang beradab dan bermartabat.

Penulis:adalah Guru Besar dan Wakil Rektor II UIN Mataram


0 Komentar