BidikNews.net - Radit bukan hanya konsisten sejak awal, tetapi juga menjelaskan detail yang sesuai dengan kondisi lapangan. Menurut teori Statement Validity Assessment (Undeutsch, 1982) dan Verifiability (Vrij, 2005), konsistensi yang berulang kali muncul serta dapat diverifikasi dengan kondisi nyata lebih sering ditemukan pada korban dibandingkan cerita yang direkayasa. Tersangka Radit saat Rekontruksi di TKP
Artinya,konsistensi Radit dari rumah sakit hingga rekonstruksi adalah indikator kuat kredibilitas.” Kata Indra Therashov Kusuma merasa termotivasi terhadap kasus pembunuhan di Pantai Nipah Kabupaten Lombok Utara Provinsi NTB yang diunggah melalui akun Fbnya .
Sebelum ia dipukul, terdapat indikasi adanya material longsoran kecil berupa tanah berbatu (gravelly soil atau tanah bercampur kerikil/batu) yang jatuh dari atas. Fenomena ini secara ilmiah menandakan adanya pergerakan di atas tebing, baik karena ada pihak yang berjalan maupun ada benda yang sengaja dilempar dari atas.
Rekonstruksi yang kita lihat hari ini bukanlah akhir dari proses hukum. Ini hanyalah bagian dari penyidikan untuk menyusun ulang peristiwa.
Sorakan publik tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena yang berlaku di pengadilan adalah bukti sah menurut KUHAP: saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Kita perlu ingat asas praduga tak bersalah setiap orang tetap dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Bahkan para guru besar hukum Indonesia sudah lama mengingatkan, lebih baik seribu orang bersalah bebas daripada satu orang tak bersalah dihukum.
Rekonstruksi hanyalah satu tahap, bukan penentu akhir. Rekonstruksi itu biasanya mengikuti arah versi penyidik, bukan kebenaran final. Tentunya ini masih berada dalam asas praduga tak bersalah. Justru dari analisis ilmiah, banyak celah yang membuat ia lebih tepat diposisikan sebagai korban, bukan pelaku.
Sejarah mencatat banyak kasus, baik nasional maupun internasional, di mana seseorang sempat dianggap pelaku setelah rekonstruksi, tetapi akhirnya terbukti tidak bersalah.
Contoh Kasus
1. Kasus Sengkon & Karta (Indonesia, 1977)
Dua petani asal Bekasi divonis bersalah atas pembunuhan, padahal mereka berulang kali memberikan keterangan konsisten bahwa bukan mereka pelakunya. Bertahun-tahun kemudian, pelaku asli mengaku, dan Sengkon–Karta baru dibebaskan. (Sumber: Komnas HAM, Laporan Sengkon-Karta; Tempo (2017).Sengkon dan Karta Korban Salah Tangkap Polisi ketika disidang
2. Kasus Baiq Nuril (NTB, 2017–2019)
Baiq Nuril memberikan penjelasan konsisten sejak awal tentang pelecehan verbal yang dialaminya. Namun aparat justru menjeratnya dengan UU ITE. Konsistensinya akhirnya diakui publik, hingga Presiden memberi amnesti. (Sumber: Kompas, BBC Indonesia, The Jakarta Post (2019).
3. Central Park Five (AS, 1989)
Lima remaja kulit hitam dituduh memperkosa seorang jogger di Central Park. Mereka sejak awal konsisten menyatakan tidak bersalah, meski ditekan penyidik. Butuh waktu 13 tahun hingga bukti DNA membebaskan mereka. (Sumber: The New York Times, Washington Post (1989–2002).
4. Timothy Cole (AS, 1985)
Cole berulang kali menegaskan konsistensinya bahwa ia tidak memperkosa seorang mahasiswa. Meski dipenjara bertahun-tahun, bukti DNA kemudian membuktikan ia tidak bersalah — sayangnya ia sudah meninggal di penjara. (Sumber: Innocence Project USA, Case Files Timothy Cole.
5. Stefan Kiszko (Inggris, 1975)
Kiszko konsisten menyangkal tuduhan pembunuhan seorang anak. Namun rekonstruksi dan penyidikan saat itu mengabaikannya. Setelah 16 tahun dipenjara, bukti medis dan forensik membuktikan ia tidak bersalah. (Sumber: BBC News, The Guardian, Arsip Kasus Stefan Kiszko.
Melalui akun Fbnya Indra Therashov Kusuma mengatakan, dalam filsafat hukum, kata kebenaran tidak cukup dipahami dari sisi prosedur formal, melainkan juga dari esensi keadilan. Gustav Radbruch menegaskan bahwa ketika aturan positif bertentangan dengan rasa adil, maka prioritas harus diberikan pada hukum yang memenuhi keadilan. konsisten Baiq Nuril sejak awal tentang pelecehan verbal yang dialaminya. akhirnya Presiden memberi amnesti.
Artinya, menempatkan Radit sebagai pelaku tunggal tanpa mempertimbangkan keadilan substantif berpotensi menjerumuskan sistem hukum pada kesalahan yang sama berulang kali.
Jeremy Bentham melalui gagasan utilitarianismenya menekankan bahwa hukum seharusnya memberi manfaat terbesar bagi kebahagiaan masyarakat. Jika seseorang yang sejatinya korban, seperti Radit, justru diperlakukan sebagai pelaku, maka fungsi utiliter hukum hilang: rasa aman publik melemah, sementara ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan semakin menguat.
Lon L. Fuller berbicara tentang inner morality of law atau moralitas internal hukum. Menurutnya, aturan hanya memiliki legitimasi jika dijalankan dengan prinsip moral seperti kejujuran, konsistensi, dan keterbukaan.
Kasus Radit menjadi ujian apakah penyidik menegakkan hukum dengan nilai moral itu, atau sekadar menjalankan prosedur kaku yang justru menyingkirkan keadilan substantif.
Keterangan Radit yang tetap selaras dari awal hingga tahap rekonstruksi Kata Indra Therashov Kusuma memperlihatkan, kejujuran yang lebih sering melekat pada korban, bukan pelaku. Sejarah kasus di tingkat nasional maupun internasional juga menunjukkan banyak orang pernah keliru diposisikan karena aparat gagal membaca konsistensi seorang korban.Radit ketika Rekontruksi di Pantai Nipah
Dengan demikian, kasus Radit seharusnya menjadi pengingat bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks prosedural, melainkan berfungsi sebagai instrumen untuk menghadirkan keadilan, menjaga moralitas, dan memulihkan kepercayaan publik.
Jangan terburu-buru menghakimi hanya dari apa yang tampak di permukaan. Kebenaran sejati tidak takut pada ujian, karena justru semakin kuat ketika diuji. Jika hari ini Radit bisa diposisikan keliru, maka besok siapa pun bisa berada di tempat yang sama."Kata Indra Therashov Kusuma melalui akun Fbnya.
Hukum sejatinya ada untuk melindungi korban, bukan menambah korban baru. Maka, bijaklah membaca, mendengar, dan menilai, karena keadilan bukan hanya milik satu orang, tetapi milik kita semua.
Proses hukum harus hati2, karena kesalahan menetapkan tersangka adalah kesalahan terhadap martabat manusia. Mari kita tunggu pembuktian di pengadilan, bukan di keramaian." tutup Indra Therashov Kusuma.
Pewarta: TIM
0 Komentar