NAFSU YANG DIRAHMATI

 


   Oleh: Prof. Dr. H. Ahmad Amir Aziz, M.Ag
             Guru Besar Universitas Negeri Islam (UIN) Mataram

           

Disampaikan pada Kultum subuh Selasa 19 April 2022/17 Ramadhan 1433 H di Masjid Al    Achwan Lingkungan Griya Pagutan Indah Mataram - NTB

BidikNews - Hari ini cukup istimewa karena kebetulan tanggalnya bertepatan dengan suatu kejadian penting dalam sejarah Islam, yaitu perang badar, yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 2 H. 313 pasukan muslim dengan senjata pas-pasan berhadapan dengan lebih 1000 orang dengan perlengkapan perang yang sangat memadai.

Namun dengan pertolongan Allah, dalam pertempuran yang sengit tersebut kaum muslim tampil sebagai pemenang yang seolah tidak mungkin mereka akan bisa menang.

Sepulang Rasulullah dan para sahabat dari perang Badar tersebut, beliau berkata,"Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.” (raja’na min al-jihad al-ashghar ila al-jihad al-akbar). Para sahabat sempat heran dengan statemen beliau karena bukanlah peperangan yang baru terjadi itu sungguh dahsyat, sementara beliau mengganggapnya sebagai jihad kecil dan masih ada jihad lain yang jauh lebih besar lagi.

Maka mereka bertanya,"Jihad apa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab,"Jihad melawan hawa nafsu.” Riwayat ini meskipun dinilai lemah secara sanad oleh para ahli hadis, namun secara makna bernilai positif (shahih) karena tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Foto : Ilustrasi BidikNews

Setiap manusia memiliki nafsu yang menjadi ciri khas kemanusiaannya yang membedakannya dengan malaikat. Nafsu (Arabnya Nafs, artinya Jiwa) itu pula yang menjadi dasar atas segala urusan atau perbuatan yang dilakukannya, apakah itu perbuatan baik atau perbuatan buruk.

Nafsu seringkali diidentikkan dengan segala yang buruk seperti nasfu hayawaniyah (kebinatangan), emosi, dan hasrat yang berhubungan dengan seksual. Sesuai asal maknanya, sebenarnya kata Nafs itu sangatlah luas dan mencakup banyak hal.

Menurut Imam al-Ghazali, dalam beribadah kepada Allah Swt, seorang ‘abid (orang yang beribadah) disibukkan oleh penghalang-penghalang yang terdiri dari empat macam, yaitu dunia, makhluk, setan dan nafsu.

Si ‘abid tentulah harus menghilangkan penghalang-penghalang itu dari dirinya dengan cara apa pun, supaya dia sampai pada kedudukan yang dekat dan dicintai Allah. Sebagai salah seorang ulama yang terdepan dalam ilmu tasawuf, Al-Ghazali pun mengakui bahwa nafsu merupakan yang paling berat dan paling dahsyat dibandingan dengan yang lain. Ia tidak mampu dikalahkan dengan satu kali saja.

Mari kita renungkan firman Allah Swt dalam Surat Yusuf, yang artinya:

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (12: 53)

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa keinginan hawa nafsu manusia selalu mengajak kepada kejahatan, artinya suka mendorong perilaku-perilaku hewani, bahkan syaitoni, yang jauh dari akal sehat, logika dan hukum-hukum sosial. 

Menurut sebagain mufassir, kata-kata dalam ayat tersebut adalah ucapan Yusuf as, yang mana beliau ucapkan dalam rangka tawadhu dan menyatakan suatu kenyataan bahwa dirinya adalah sama dengan manusia lain, yang juga memiliki hawa nafsu amarah, yang mengajak kepada kejahatan. Meskipun beliau mampu menundukkan hawa nafsu tersebut.

Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa satu-satunya jalan yang mencegah kemenangan hawa nafsu jahat ialah adanya rahmat atau Allah Swt dan pertolongan-Nya, yang akan menjaga seseorang dari penyelewengan dan maksiat.

Foto : Repro BidikNews

Ada satu pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat tersebut, yaitu jangan sekali-kali seseorang menganggap bahwa dirinya terbebas dari kesalahan dan dosa, dan jangan mengira bahwa dirinya suci dan bersih. Karena dosa, penyimpangan dan kesesatan selalu menyelimuti kita. Merasa diri bersih dan tidak pernah bersalah akan memunculkan watak angkuh dan sombong pada diri seseorang.

Ada sejumlah term dalam al-Quran ketika menyebut nafsu itu. Kaum sufi mengidentifikasi ada 7 tingakatan nafsu itu, kami sebut di sini empat diantaranya, yaitu:

Pertama, "nafs al-ammarah" (Qs. Yusuf 53), yaitu yang selalu mengajak kepada kejahatan dan pemuasan nafsu hewani dan syaitoni. Manusia yang dikuasai nafsu ini berada dalam tingkatan terendah.

Yang kedua ialah "nafs al-lawwamah" (Qs. al-Qiyamah 2), yang selalu menyatakan penyesalan atas dosa yang telah dilakukan. Nafsu ini sudah mulai menjalankan perintah Allah, namun masih banyak terpeleset dalam perbuatan maksiat, sehingga membuatnya selalu menyesali diri.

Yang ketiga, "nafs al-mulhamah" (Qs. asy-Syams 8), yang sudah mulai dapat menyingkirkan sebagian besar dari sifat-sifat keji karena sudah terilhami atau mendapat rahmat. Nafsu ini banyak mendapatkan bimbingan/bisikan yang suci. Nafsu Mulhamah sudah bisa memunculkan sifat-sifat tenang, lapang dada, walaupun bisa muncul lagi sifat-sifat tercela (mazmumah) yang halus.

Yang keempat, "nafs al-muthmainnah" (Qs. al-Fajr 27-30), yaitu nafsu atau jiwa yang tenang, kuat dan mantap, yang tidak pernah tersentuh oleh keinginan melakukan kejahatan dan dosa. Nafsu muthmainnah ini dimiliki oleh para Nabi, wali, dan orang-orang mukmin yang saleh.

Foto : Repro BidikNews

Level ini sungguh istimewa karena iman, takwa serta pengetahuan mereka yang sedemikian tinggi, sehingga menghantarkan mereka kepada kekuatan jiwa yang sangat besar dan tidak ada hawa nafsu jahat yang menjerumuskannya.

Sebaliknya mukmin yang tingkatan nafsu ini akan selalu tenang, bahagia bersama Allah, bersih dari kotoran-kotoran halus dan berganti dengan sifat-sifat mulia.

Pada akhirnya, momen bulan Ramadhan ini dapat dijadikan media intropeksi dan perbaiki moral dalam rangkan melepas nafsu-nafsu rendah dan menaikkannya ke nafsu-nafsu yang dirahmati oleh Allah Swt. Puasa bukan semata sebagai ibadah rutin tahunan, melainkan sebagai training-spiritual bersama dalam melatih jiwa menuju Muthmainnah.


Pewarta : Dae Ompu
Editor  : BN-007

0 Komentar