Polisi Zaman Now! Lelucon Gus Dur Serta Keteladanan Jenderal Polisi Hoegeng


Gus Dur Sebut di Indonesia hanya ada Tiga Polisi yang baik. Kala itu, Gus Dur melontarkan lelucon ketika menyinggung masalah pemberantasan korupsi pada masa itu. Tiga polisi itu kata Gus Dur yakni, pertama, mantan Kepala Polri, almarhum Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Kedua, patung polisi, dan ketiga adalah polisi tidur.


BidikNews, Mataram - Institusi kepolisian adalah salah satu lembaga penting dengan tugas utama sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan penegakan hukum, sehingga lembaga kepolisian ada di seluruh negara berdaulat.

Ketika membuka Situs resmi Polri, di sana tertera jelas tulisan berbunyi “Rastra Sewakottama” yang berarti “Polri adalah Abdi Utama dari pada Nusa dan Bangsa”.

Sungguh mulia memang. Apalagi melihat slogan Polri “melindungi, mengayomi, melayani masyarakat”. Slogan-slogan Polri juga banyak ditemukan di mobil-mobil dinas polisi yang lalu lalang disetiap ruas jalan atau iklan –iklan dengan spanduk terpampang besar di kantor-kantor kepolisian.

Pertanyaannya, apakah anggota polisi sejak hadir di negara tercinta ini sudah menjalankan secara sungguh-sungguh slogan ataupun lambang institusi yang begitu mulia di atas?

Beragam jawaban pun kerap ditemukan. Ada yang menjawab kinerja polisi sudah cukup maksimal melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat dan yang menyakitkan lagi ketika muncul jawaban “Sungguh jauh panggang dari api ”.

Saat ini publik terus disuguhkan dengan berita soal polisi tembak polisi yang melibatkan seorang jenderal berbintang sekaligus menduduki posisi jabatan tinggi di institusi Kepolisian.

Dampaknya citra polisi di mata publik Indonesia menjadi kian memburuk dari hari ke hari. Tak salah juga jika masyarakat ramai-ramai menggaungkan tagar PercumaLaporPolisi sebagai bentuk sindiran kepada institusi Polri yang tidak menjalankan fungsi dan tugas utamanya sebagai abdi atau pelayan masyarakat.

Belum lagi tuduhan yang paling menyakitkan ketika kinerja polisi dianggap tidak profesional, minim integritas, mudah disogok, jadi alat pihak yang berkepentingan dan lain sebagainya.

Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana seorang polisi melakukan smackdown seorang mahasiswa yang tengah berdemo di Tangerang atau seorang Kapolsek di Sulawesi meniduri paksa anak gadis tersangka dan tak terhitung tindakan semena-mena lainnya.

Belajar Keteladanan dari Jenderal Polisi Sugeng


Mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri pernah mengingatkan kita semua bahwa ada dua sosok Kapolri yang bisa menjadi panutan bagi anggota kepolisian yaitu mantan Kapolri Jenderal Hoegeng dan Awaloedin Djamin. Megawati mengaku sangat menaruh hormat kepada dua Jenderal Poliosi itu.

Orangnya merakyat. Dia naik sepeda. Sedangkan, Kapolri Awaloedin, dia profesor,” kata Megawati ketika memberikan pembekalan kepada peserta didik Sekolah Staf dan Pimpinan Pertama, Menengah dan Tinggi Polri secara daring beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu, putri Proklamator Soekarno tersebut meminta setiap anggota Polri bisa memastikan bagaimana menjalankan fungsi sesuai amanah yang diberikan. Terlebih, Megawati mengharapkan fungsi sebagai pengayom masyarakat sudah ada dalam benak masing-masing ketika sebelum masuk Polri.

Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang kerap disebut sebagai panutan bagi institusi Polri itu digambarkan secara jelas bagaimana ia menjaga integritasnya sehingga menjadikannya sebagai polisi sejati, yang menjalankan amanah sesungguhnya.

Jenderal Hoegeng digambarkan sebagai manusia langka yang belum ada padanannya dari dulu hingga kini.

Bagaimana tidak! Sejumlah posisi strategis dan basah pernah dijabatnya. Namun ia mampu mempertahankan prinsip, menjaga integritas, dan dedikasi. Itulah warisan yang ditinggalkannya, adalah Keteladanan.


Hoegeng sebagai seorang suami, Hoegeng sebagai ayah bagi anak-anaknya, dan Hoegeng adalah kakek buat acucu-cucunya hadirkan keteladanan sebagai jenderal polisi hingga mencapai titik paripurna. Bahkan ia tak sendiri, ia juga mengajak serta keluarganya untuk terjun memasuki kehidupan yang penuh idealisme dan anti kompromi yang sesunggunya sangat sulit untuk dijalankan.

Hoegeng tidak mau berkhianat dan berkongsi dengan kebohongan. la menjaga nama baik dan bersumpah dengan perbuatan nyata bukan sekadar kata-kata.

Sepak terjang Hoegeng yang tak bisa disetir membuat gerah para ‘tuan besar’ sehingga ia kehilangan jabatannya. Namun, Hoegeng tak pernah menyesali langkahnya.

Hugeng terus berusaha unatuk menginternalisasi nilai-nilai ideal ke dalam tubuh Korps Baju Cokelat. Hoegeng juga ibarat cermin besar bahwa pernah ada, dan bisa, seorang pejabat tinggi, hidup dengan benar.

Hoegeng bukan dongeng dan bukan ceritaq fiksi belaka. la menciptakan standar nilai yang tinggi. Baik nilai moral, sikap, dan perbuatan di institusi kepolisian Republik Indonesia.

Hoegeng, yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, bukan tipe Kapolri yang hobi main golf – karena tidak mampu beli stik. Dia juga tidak mampu membeli rumah dan mobil pribadi dan akhirnya pensiun dini menjelang usia 50 tahun setelah dicopot sebagai Kapolri. (dirangkum dari berbagai sumber).

Pewarta : Dae Ompu
Editor    : BN-007

0 Komentar