Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd,
Setiap kali banjir datang menerjang, kita sering buru-buru mencari penyebab teknis: curah hujan ekstrem, sistem drainase yang buruk, atau hutan yang gundul. Namun di balik semua itu, alam seolah sedang berbicara—mengirim pesan yang lebih dalam, sebagai sebuah peringatan atau bisa juga sebuah ajakan untuk kembali merenung. Di sinilah ekoteologi hadir sebagai lensa spiritual untuk membaca ulang bencana alam sebagai bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi juga peristiwa moral dan spiritual.
Berikut tulisan Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd, Guru Besar dan Wakil Rektor II UIN Mataram yang dilansir dari Alamntara.co. 7 Juli 2025
Ekoteologi adalah cabang pemikiran yang menyatukan kesadaran spiritual dan tanggung jawab ekologis. Ia lahir dari kesadaran mendalam bahwa hubungan manusia dengan alam tidak semata-mata bersifat praktis atau ekonomis, melainkan juga bersifat spiritual dan etis. Ia juga mengajarkan bahwa alam bukan sekadar latar kehidupan manusia, bukan pula sekadar panggung pasif tempat manusia memainkan perannya, melainkan bagian integral dari ciptaan Tuhan yang mengandung nilai sakral untuk dijaga dan dihormati.
Ketika pohon ditebang sembarangan, ketika sungai dicemari limbah, kerusakan itu tidak hanya berarti kehilangan sumber daya atau ancaman krisis ekologi—tetapi juga mencerminkan retaknya relasi iman manusia kepada Sang Pencipta, sebab menghargai alam berarti menghargai kebijaksanaan Tuhan yang mencipta dengan keseimbangan sempurna.
Ekoteologi mengajak kita memandang bumi dengan mata hati, melihat setiap gunung, hutan, dan lautan bukan semata objek eksploitasi, tetapi entitas yang memiliki hak untuk dihormati dan dijaga. Tanggung jawab ekologis di sini berakar pada pengakuan bahwa manusia adalah khalifah—penjaga amanah Tuhan di muka bumi. Maka tindakan merawat lingkungan bukan hanya soal kepatuhan hukum atau sains lingkungan, tetapi juga bagian dari kesalehan spiritual dan ekspresi iman yang autentik.
Dengan kata lain, ekoteologi menjadi jembatan penting yang menghubungkan etika keberlanjutan dengan dimensi religius. Ia menegaskan bahwa krisis ekologi pada hakikatnya juga krisis moral dan spiritual—sebuah panggilan bagi kita untuk memulihkan bukan hanya lingkungan, tetapi juga kesadaran akan kesucian ciptaan.
Saat banjir melanda, kita menyaksikan lebih dari sekadar meluapnya air, kita sesungguhnya juga sedang melihat konsekuensi dari gaya hidup yang rakus, pembangunan yang abai terhadap daya dukung bumi, serta budaya membuang sampah sembarangan. Banjir dalam sudut pandang ekoteologi adalah refleksi dari ketidakharmonisan antara manusia dan alam, bahkan mungkin juga teguran lembut dari Sang Pencipta.
Dalam perspektif ekoteologi, banjir bukan hanya persoalan hidrologi, tetapi juga persoalan etika dan spiritualitas. Ia adalah simbol retaknya hubungan antara manusia dan alam, bahkan bisa dimaknai sebagai teguran lembut dari Sang Pencipta agar kita meninjau ulang sikap kita terhadap bumi. Ketika kita merusak ekosistem, menebang pohon tanpa tebusan regenerasi, atau menindih tanah dengan beton tanpa ruang resapan, kita sedang mencederai tatanan yang diciptakan Tuhan dalam keseimbangan yang sempurna.“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”(QS. Ar-Rum ayat 41)
Ayat ini bukan sekadar narasi keagamaan yang dikutip saat khotbah atau peringatan bencana. Ia adalah pengingat mendalam bahwa kerusakan lingkungan adalah buah dari pilihan kita sendiri. Banjir yang memporakporandakan rumah, menenggelamkan jalan, dan memutus mata pencaharian tidak datang tanpa tanda. Sesungguhnya setiap bencana membawa pesan: alam dan Tuhan sedang mengingatkan kita bahwa keseimbangan tidak bisa diperlakukan sewenang-wenang. Banjir menjadi momen refleksi kolektif untuk bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah memenuhi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, atau justru menjadi perusak yang lalai?
Maka di balik air yang menggenang dan kerugian yang ditimbulkan, banjir adalah kesempatan untuk kembali menata niat, meneguhkan komitmen ekologis, dan memperbaiki relasi spiritual dengan alam. Sebab merawat bumi bukan hanya tuntutan etika modern, tetapi juga panggilan iman dan amanah ilahi yang tak bisa diabaikan.
Masalahnya, kita sudah terlalu terbiasa memisahkan antara “iman” dan “lingkungan”. Seakan-akan menjaga bumi adalah urusan aktivis saja, bukan urusan iman. Padahal, dalam banyak tradisi agama—Islam, Kristen, Hindu, bahkan kepercayaan lokal—alam adalah bagian dari kesucian hidup. Ketika kita merusaknya, sejatinya kita melukai tatanan sakral kehidupan itu sendiri.
Jika kita menengok ke dalam tradisi agama-agama besar—hubungan manusia dengan alam adalah jantung ajaran spiritual itu sendiri. Dalam Islam misalnya, bumi disebut sebagai amanah, titipan yang harus dijaga. Dalam Kekristenan, kitab Kejadian memuat konsep stewardship, bahwa manusia ditugaskan untuk memelihara ciptaan, bukan menguasainya dengan semena-mena. Dalam Hindu dan Buddha, ada keyakinan mendalam tentang kesucian seluruh makhluk hidup sebagai bagian dari harmoni kosmis. Dalam banyak kearifan lokal Nusantara seperti sasak Lombok, bahwa hutan, sungai, dan gunung bukan sekadar “sumber daya”, tetapi saudara tua yang dihormati dan dirawat.
Kerusakan lingkungan bukan hanya soal krisis ekologis, tetapi juga cerminan krisis spiritual, retaknya rasa hormat kita kepada Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Tetapi ironisnya, banyak dari kita mengaku beriman, tetapi memandang penjagaan bumi hanya sebagai “opsi tambahan” atau sekadar tren gaya hidup hijau. Padahal dalam perspektif teologi dan etika lintas agama, merawat lingkungan adalah bagian integral dari ekspresi iman yang autentik. Bagaimana mungkin kita mencintai Tuhan, sementara kita acuh pada bumi yang diciptakan-Nya dengan penuh kebijaksanaan?
Karena itu, penting untuk menyadari bahwa iman dan kepedulian ekologis bukan dua jalur paralel yang tak pernah bertemu. Keduanya saling meneguhkan. Ketika kita merawat alam, kita sedang merawat jiwa iman kita sendiri. Ketika kita mencemari lingkungan, kita sedang menodai kesucian yang telah Tuhan titipkan.
Mengembalikan kesadaran bahwa bumi adalah bagian dari ruang sakral iman adalah langkah pertama untuk menyembuhkan luka ekologis dan spiritual yang semakin menganga. Ini bukan hanya tugas aktivis lingkungan, tetapi panggilan hati setiap orang yang mengaku beriman. Ekoteologi mengajak kita untuk kembali menyatukan hati, akal, dan bumi, bahwa setiap tindakan terhadap lingkungan harus dilandasi oleh cinta, kesadaran, dan rasa tanggung jawab spiritual.
Ekoteologi memberi harapan bahwa kita masih bisa memperbaiki hubungan kita dengan bumi, dan sekaligus memperbaiki hubungan spiritual kita dengan Tuhan. Banjir memang bencana, tetapi juga bisa menjadi momen pertobatan kolektif, panggilan bagi manusia untuk berhenti sejenak, merenung, dan mendengar pesan alam yang selama ini kita abaikan. Sebab setiap banjir adalah tanda bahwa keseimbangan telah terganggu, dan setiap tanda adalah ajakan untuk kembali menata cara hidup.
Kita sering membayangkan pertobatan hanya sebatas ritual doa dan penyesalan batin, padahal dalam ekoteologi, pertobatan sejati berarti perubahan nyata dalam perilaku—berhenti mencemari sungai, mengurangi kerakusan mengambil dari bumi, memulihkan hutan yang kita rusak, dan menumbuhkan budaya hormat kepada ciptaan. Semua tindakan ini bukan hanya etis dari sudut pandang ekologi, tetapi juga sakral—wujud pengakuan bahwa bumi adalah amanah, bukan properti tak bernyawa.
Sebagai catatan pinggir, bahwa harapan yang ditawarkan ekoteologi adalah pengingat bahwa relasi manusia dengan lingkungan tak harus terus-menerus berjalan menuju jurang kehancuran. Kita masih punya peluang memperbaiki tatanan yang retak. Justru saat bencana datang dan membuat kita tersadar betapa rapuh sistem yang kita ciptakan, di situlah titik balik bisa bermula.
Dalam bahasa iman, memulihkan bumi berarti memulihkan jiwa kita sendiri, karena setiap langkah kecil untuk menjaga alam—mengurangi sampah, menanam pohon, mengelola pembangunan secara bijak—adalah langkah mendekat kepada kehendak Tuhan yang menciptakan bumi dalam keseimbangan.
Banjir memang bencana, tetapi juga cermin yang memantulkan sejauh mana kita telah lalai, juga menegaskan bahwa kesadaran bisa tumbuh dari luka. Jika kita bersedia mendengar pesan alam dengan rendah hati, kita akan menemukan bahwa harapan itu masih ada—dan tanggung jawab untuk mewujudkannya adalah milik kita bersama.
Pewarta: Dae Ompu
0 Komentar