Khutbah Jum`at, Rasa Malu Pada Diri Jadikan Sebagai Perisai dari Liarnya Nafsu


Disampaikan Oleh :  
Ustadz DR.H. Maimun Zubair, M.Pd, pada Khutbah Jum`at, 25 November 2022 di masjid Al Achwan Griya Pagutan Indah Mataram - NTB

BidikNews, Mataram, NTB - Marilah kita memanjatkan puji syukur kehadlirat Allah SWT yang telah memberikan kita kesempatan dan kesehatan untuk dapat hadir dalam majlis yang mulia ini untuk menunaikan kewajiban shalat Jum’at. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. 

Pada kesempatan yang mulia ini, khatib berwasiat kepada diri khatib sendiri dan kepada kita semua yang hadir untuk berusaha meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Karena janji Allah SWT dan balasan kenikmatan yang besar hanya akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang berbekal takwa.

وَنَجَّيْنَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ 

“Kami Selamatkan orang-orang yang mu’min karena mereka adalah orang-orang yang bertaqwa” (QS.41 Fushilat : 18)

Hadirin sidang jum’at rahimakumullah

Mengawali khutbah kita pada jum’at kali ini, khatib menyitir potongan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, al Hakim dari Abu Hurairah, yang berbunyi:

اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ

“Malu adalah bagian dari iman”. 

Hadis tersebut menerangkan bahwa sebagai hamba yang beriman, malu itu hendaknya sebagai prisai atau tabir yang menghalangi kita dari melakukan hal-hal yang tidak pantas menurut agama dan akhlak. Dan sifat malu itu merupakan warisan kenabian dan orang-orang shaleh yang amat berharga. 

Berkaitan dengan hal tersebut, maka tema khutbah kita kali ini adalah “Malu sebagai Ciri Manusia Hidup”. 

Hadirin sidang jum’at rahimakumullah

Jika kita membaca diri kita masing-masing secara sadar, benar, dan mendalam, diiringi dengan membaca perasaan dan membaca hati kita, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya di dalam diri ini ada fitrah bawaan dari Allah SWT yang berfungsi mengendalikan kita dari berbuat sesuatu yang dilarang oleh Allah, yakni rasa malu.

Malu adalah suatu kondisi di mana kita merasa bersalah, merasa terbebani jika melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama, atau bertentangan dengan konsep kebenaran. Dengan bahasa yang sederhana, bahwa kita merasa terganggu oleh adanya rasa bersalah sebagai dampak dari rasa malu yang Allah tanamkan didalam diri kita. 

Rasa malu bila benar-benar berfungsi pada diri kita masing-masing, maka sesungguhnya ia akan menjadi penciri bahwa kita itu masih hidup, karena hanya orang yang hidup yang memiliki rasa malu untuk berbuat yang tidak benar, untuk berbuat tidak baik, dan untuk berbuat tidak pantas. Dan rasa malu yang kita miliki bisa jadi sebagai pagar pengaman dari liarnya hawa nafsu.

Karena malu berfungsi sebagai perisai atau pagar yang menghalangi kita dari berbuat tidak benar, Nabi saw dengan tegas mengatakan:

إِذَا لَمْ تَسْتَحِي فَاصْنَعُ مَا شِئْتَ. )رواه البخاري

Jika engkau sudah tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.

Hadis di atas memiliki kandungan makna yang sangat dalam, yakni apabila kita tega melakukan sesuatu yang tidak pantas dari sudut pandang kebenaran, maka kita sudah tidak memiliki rasa malu.

Hadirin sidang jum’at rahimakumullah

Mari kita telusuri lorong kehidupan di sekitaran kita, pasti akan kita temukan tindakan yang bertentangan dengan fitrah malu sebagai penciri manusia hidup.   

Aksi atau tindakan kejahatan misalnya, sering kita dengar telah terjadi dalam interaksi kehidupan manusia, baik kejahatan sosial, kejahatan kemanusiaan, kejahatan agama, sampai kepada kejahatan keluarga.

Sebagai manusia yang hidup, seharusnya kita malu untuk melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun, di mana pun, dan dalam situasi yang bagaimanapun, karena tidak ada satu jalan pun dari aturan agama yang membenarkan kejahatan. 

Dan manusia atau kita semua ditakdirkan hidup oleh Allah dengan bekal fitrah untuk berbuat baik dan benar, maka dalam hidup yang kita jalani, pastinya kita harus condong kepada kebaikan atau kebenaran dan anti kepada kejahatan.

Kita juga sering mendengar berita tentang pengkhianatan, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berumah tangga, pertemanan, jabatan, dan bisnis. Sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk hidup, seharusnya manusia malu untuk berkhianat kepada siapa pun, malu untuk melanggar komitmen yang telah disepakati dengan nuansa saling percaya, karena pada hakikatnya manusia diciptakan Allah SWT untuk menegakkan amanah di muka bumi.

Ketidakjujuran di beberapa lini kehidupan juga sangat banyak kita temui, baik itu di pasar, di kantor, dan di tempat-tempat di mana ada proses transaksi. Sebagai makhluk yang dihajatkan untuk hidup bersosialisasi olah Allah SWT, seharusnya manusia itu malu untuk tidak jujur, malu untuk berdusta, dan malu untuk membual dalam menjalin hubungan kemanusiaan dengan siapa pun, karena pada hakikatnya Allah SWT menciptakan manusia dengan fitrah membenci kebohongan.

Kemudian ada pula kasus yang sering terjadi dalam dinamika kehidupan manusia, yakni merampas dan menggerogoti hak orang lain, mengambil keuntungan yang bukan haknya, dan bahkan memanipulasi hanya untuk memindahkan hak orang lain menjadi hak miliknya.

Sebagai bagian dari komunitas sosial, seharusnya kita malu mengambil sesuatu yang bukan hak kita, malu memanipulasi, dan malu mencuri milik orang lain, karena hakikatnya manusia dicitakan Allah SWT dengan kadar rezeki yang cukup, dia akan dicukupkan oleh Allah tanpa harus merampas hak orang lain.

Selanjutnya dalam berkomunikasi atau berbicara dengan orang lain, kita juga sering mendengar perkataan yang kurang pantas, yang dialamatkan kepada sesama. Sebagai makhluk yang memiliki rasa, manusia itu seharusnya malu untuk mengucapkan kata-kata kotor, kasar, dan keras, karena bekas luka yang diakibatkan oleh lisan sangat sulit dihilangkan.

Maka komunikasi santun dan halus harus dikedepankan dalam menghadapi situasi yang bagaimanapun, karena pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan fitrah menyukai kehalusan budi dan ketinggian akhlak.

Begitu pula dengan berdisiplin dalam mengelola diri di dalam harmoni kehidupan, baik kaitannya dengan duniawi maupun ukhrawi, penting kita tegakkan disiplin, dan kita harus malu untuk tidak disiplin dalam segala tindakan, dalam mengikuti ritme waktu, dan dalam menjalani tahapan-tahapan dinamika kehidupan, karena seluruh syariat yang diturunkan Allah pada hakekatnya mendisiplinkan hamba-Nya, dan Allah SWT menciptakan manusia dengan proses penciptaan yang sangat disiplin.

Demikian pula dalam hal ketaatan dan kepatuhan kepada Allah Sang Pencipta. Sebagai hamba yang ditakdirkan hidup dalam genggaman kudrat dan iradah-Nya, seharusnya kita malu untuk tidak taat, tidak patuh, dan tidak tunduk pada aturan Allah, terutama pada ajaran yang disyariatkan, dan pada aturan yang diwahyukan, karena pada proses penciptaan manusia, dihajatkan untuk patuh dan tunduk hanya Allah Tuhan semesta alam.

Hadirin sidang jum’at rahimakumullah

Apabila dalam menjalani kehidupan dengan berbagai dimensi dan dinamikanya, masih terdapat manusia yang tidak malu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan dan kebenaran, tidak malu melanggar aturan, tidak malu berbohong dan membual, maka sesungguhnya ia telah menjemput kematiannya sebelum ajal datang, karena hanya orang-orang yang sudah mati yang hilang rasa malunya.

اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.

Sifat malu dan iman senantiasa bersanding secara bersamaan, jika salah satunya terangkat atau hilang, maka hilang pulalah yang lainnya. HR. Al Hakim

Mari kita telusuri rasa yang ada di dalam diri kita masing-masing, masih adakah rasa malu bersemayam di dalam diri kita? Jika masih ada, peliharalah, pertahankahlah, dan aktifkanlah selama hayat dikandung badan, karena sebagai ciri kita masih hidup adalah adanya rasa malu untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.

Sebagai penutup dari khutbah kita, mari kita tanamkan prinsip dalam hidup kita untuk senantiasa malu kepada Allah. Jikalau seorang filosof Prancis yang bernama Rene Descartes merangkai kalimat yang menjadi prinsip hidupnya “Cogito Ergo Sum”. Aku berpikir maka aku ada”, maka sebagai orang-orang yang beragama, kita harus memiliki prinsip hidup yang lebih dahsyat, “Saya masih hidup, maka saya harus memiliki rasa malu”.

Pewarta : Tim BidikNews




0 Komentar