Prof. H. Kadri, M.Si: Puasa Sebagai Metode Belajar "learning by doing"


Salah satu metode belajar yang hingga saat ini dianggap efektif adalah metode “learning by doing” atau “belajar sambil dipraktikkan,”  kata Prof.H. Kadri, M.Si mengawali ceramah subuhnya pada  07 Ramadhan 1444 H atau 29 Maret 2023 yang bertempat di Masjid Al Achwan Griya Pagutan Indah Mataram,NTB. 

BidikNews,Mataram,NTB - Metode belajar seperti ini kata Prof. H.Kadri dirumuskan oleh John Dewey (1859), filsuf asal Amerika, penganut aliran pragmatisme yang belakangan tertarik dengan kajian psikologi pendidikan. 

Dalam ceramahnya Prof. H. Kadri menyebutkan John Dewey merekomendasikan cara belajar sambil praktek, dimana peserta didik diminta untuk melaksanakan sesuatu kemudian memberi refleksi dan mengambil pelajaran dari apa yang dikerjakannya. Dengan metode ini, Guru Besr UIN Mataram ini anak didik mampu memahami setiap pelajaran yang diberikan.  

Profesor H. Kadri mengatakan Puasa yang kita lakukan saat ini adalah bentuk metode belajar yang memiliki esensi makna yang sama dengan metode belajar “learning by doing”.” Ujarnya. 

Lewat belajar sambil mempraktekkan puasa, kaum Muslim dapat merefleksikn diri dan belajar tentang pentingnya kepedulian sosial, dengan merasakan lapar sebagaimana yang dialami oleh fakir miskin, termasuk dilatih untuk berperasaan dan beremosi sebagaimana emosi dan perasaan para kaum dhuafa.” Terang Prof H.Kadri dengan gaya serta senyuman sebagai ciri khasnya.

Dikatakannya, Jika Dewey menggagas teori dan metode belajar tersebut sekira awal tahun 1900 an, ternyata ajaran Islam sejak jauh hari telah memiliki konsep pembelajaran “learning by doing” lewat ibadah puasa. Sebagaimana diketahui bahwa ibadah puasa Ramadhan pertama kali dilaksanakan Nabi di tahun kedua Hijriah atau pada tahun 625 Masehi.” Jelas Guru Besar UIN Mataram yang akrab dengan para kuli tinta ini. 

Berarti 1275 tahun sebelum John Dewey menemukan metode belajar “learning by doing”, ternyata umat Islam telah mengimplementasikannya lewat ibadah puasa. “ jelasnya.

Nilai-nilai solidaritas dan kepedulian sosial dari parktik ibadah puasa harus bermuara pada aksi sedekah atau santunan pada saudara  kita yang masih miskin. Perintah seperti ini secara eksplisit tertuang dalam tiga ayat pertama dari Surat Al-Mau’un:

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin

Diuraikan Profesor Kadri, Perintah bersedekah sebagai wujud aksi kepedulian sosial merupakan perintah yang serius dalam ajaran Islam. tidak cukup dengan perintah dalam ayat sebagaimana yang dikutip di atas (Surat Al Mau’un ayat 1-3), Allah mengajarkan dengan metode “learning by doing” lewat anjuran berpuasa. 

Daerah-daerah yang mayoritas Muslim seperti di NTB, sejatinya tidak seharusnya banyak warga miskin, bila setiap kita sesama Muslim mempraktekkan sedekah sebagaimana anjuran dan pelajaran lewat puasa yang kita lakukan.” Katanya.

Mengutip data BPS, Prof. Kadri mengatakan bahwa 14.10 % penduduk NTB di Maret 2022 masih tergolong miskin. Angka ini melampaui rata-rata data kemiskinan di tingkat nasional yang hanya sekira 9.54 % pada bulan dan tahun yang sama (Maret 2022).


Kepedulian sosial dan kesediaan berbagi seperti ajaran puasa harus dijadikan sebagai bagian dari pendidikan karakter yang diajarkan pada anak di usia dini atau pada pendidikan dasar agar peduli sosial menjadi bagian dari gaya hidup anak bangsa. Jangan sampai pengalaman “buruk” perilaku pelit beberapa santri di salah satu pondok pesantren yang ada di daeah kita tidak terulang. 

Salah seorang kawan saya bercerita tentang pengalamannya di dua tempat yang berbeda. Setelah pulang dari Australia, dia bercerita kalau anak-anak TK di negara tersebut diajarkan untuk membawa makanan kesukaaanya dalam jumlah yang lebih untuk dibagi ke teman kelasnya. Setelah kawan tersebut balik ke Indonesia, dia mengunjungi pondok pesantren. 

Di pondok tersebut, diceritakan oleh pimpinan pondok kalau kamar mandi dan toilet di pondoknya kotor dan banyak sampah sisa makanan. Penyebabnya karena anak-nak pondok selalu makan jajan di kamar mandi karena takut makanannya diminta oleh kawannya. 

Cerita ini menunjukkan dua kondisi yang kontras. Di negara sekuler, anaknya dermawan dan peduli sosial, sementara di pondok tempat diajarkan surat Al-Mau’un, santri-santri pelit. 

Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Mataram ini mengajak kita semua untuk memilki kepekaan sosial dan menjadikan  ibadah puasa di bulan Ramadhan ini untuk membangun tradisi bersedekah. 

“Marilah kewat ibadah puasa ini kita asah kepekaan sosial dan kepedulian sosial kita. Kita jadikan sebagai momentum untuk membangun tradisi bersedekah. Agar puasa kita punya makna sosial dan tidak hanya menyisahkan atau mendapatkan lapar dan haus saja, jelas Profesor Kadri, sembari mengutip sindiran Nabi dalam Hadits-nya:  “Banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, selain lapar dan dahaga”. audjubillahimindjaliq.

Pewarta: Dae Ompu

0 Komentar