Kita berada di penghujung Ramadhan, tepatnya tanggal 26 Ramadhan 1444 H. Dalam tradisi Rasul SAW bersama para sahabatnya, bila memasuki sepuluh akhir Ramadhan, Rasul memerintahkan para sahabat untuk mengencangkan ikat pinggangnya, artinya dalam sepuluh terakhir, ibadah itu harus dilakukan lebih serius, lebih maksimal, dan tidak boleh dengan semangat yang kendor.
Demikian DR. H. Maimun Zubair, M. Pd mengawali ceramah subuhnya di masjid Al Achwan Griya Pagutan Indah Mataram pada Senin, 18 April 2023.
Pada kesempatan kali ini, saya akan mengingatkan kita semua, akan kesadaran Rabbani atau kesadaran Spiritual yang kita kobarkan selama di bulan Ramadhan.” Tutur H.Maimun Zubair.
Ustadz H.Maimun Zubair mengutarakan, Kesadaran yang mungkin tidak banyak dari kita yang menyadarinya, antara lain: Ternyata kita mampu berpuasa—menahan lapar dan dahaga di siang hari selama sebulan penuh, ternyata kita mampu berdiri shalat tarawih dengan jumlah rokaat yang banyak setiap malam selama satu bulan penuh, ternyata kita mampu membaca al-qur’an di sela-sela waktu luang setiap hari setiap malam selama satu bulan penuh, dan ternyata kita mampu bangun di pertengahan malam untuk santap sahur dan shalat malam setiap malam selama satu bulan penuh.” Katanya di hadapan jamah sholat subuh itu.
Kesaadaran rabbani ini kata Dosen Senior UIN Mataram ini, hendaknya kita pelihara pasca ramadhan. Misal, kita mampu manahan lapar dan dahaga selama sebulan lamanya di bulan Ramadhan, masak kita tidak mampu menghidupan suasana ramadhan itu dengan menahan lapar dan dahaga dua hari saja dalam satu seminggu (Senin dan Kamis) untuk melakukan puasa sunnah?.
“Mari kita warisi kebiasaan mulia itu untuk berpuasa sunnah Senin dan Kamis setiap minggu, agar nuansa ramadhan itu tetap hidup dalam jiwa dan raga kita.” Ajaknya yang diamini jamaah sholat subuh masjid Al Achwan GPI Mataram.
Kesadaran berikut, urainya, kita mampu berdiri shalat tarawih dalam jumlah rakaat yang banyak selama satu bulan lamanya di bulan Ramdhan, masak setelah Ramadhan kita tidak bisa hadir di shaf-shaf shalat, minimal magrib dan isyak setiap malam? Supaya nuansa tarawih itu tetap terasa hidup dalam ghirah shalat setiap waktu.
Kemudian kita mampu membaca al-qur’an setiap ada waktu luang di siang dan malam hari Ramadhan, maka mari pasca Ramadhan kita biasakan membacanya sekadar satu muka dari halaman al-qur’an, tetapi rutin walau hanya sedikit.” Tutur Ketua Takmir Masjid Al Achwan ini.
Dengan demikian al-qur’an menjadi literasi dalam kehidupan kita secara berkelanjutan, karena al-qur’an tidak akan mengintervensi kita kalau kita tidak membacanya.” Katanya meningatkan.
Lalu kesadaran berikut, beber Ustadz Maimun adalah kita ternyata mampu bangun di pertengahan malam setiap malam selama satu bulan di bulan Ramadhan untuk sahur dan shalat malam (qiyamullail), saya kira kita bangun bukan karena kita hanya ingin makan—karena kita kadang sering tidak enak makan di saat waktu sahur, kita bangun semata-mata ingin menghidupkan sepertiga malam.
Kiranya pasca Ramadhan kita bisa teruskan kebiasaan itu untuk terjaga di sepertiga malam, supaya kita tetap terasa dalam nuansa kepatuhan dan ketundukan sebagai hamba Allah, sebagai mana saat kita berada dalam bulan Ramadhan.” Pesannya kepada jamaah.
Kita harus ingat, bahwa Allah sangat senang kepada hamba-Nya yang bangun di pertengahan malam hanya untuk berkomunikasi dengan-Nya, berkeluh kesah atas masalah dan problem kehidupan yang kita rasakan.” Tutur Doktor yang murah senyum ini.
Semua kesadaran rabbani itu hendaknya kita jadikan warisan untuk kita wujudkan sebagai karakter dan penciri kita sebagai hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya.”
Jangan sekali-sekali kita menjadikan Idul Fitri dalam makna kembali kepada perilaku sebelum Ramadhan, tetapi betul-betul kita kembali kepada kesucian (menjadi manusia terbarukan) setelah melakukan riadhan (latihan) selam sebulan lamanya.” Kata H.Maimun
Apabila kita kembali melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk pasca ramadhan, setelah kita ditempa oleh ritual Ramadhan selama satu bulan, maka kita sama saja dengan kisah seorang wanita pemintal benang yang mengurai kain yang sudah dipintalnya menjadi benang kembali.” Jelas H.Maimun
Kisah Rithah, Wanita Kaya Pemintal Benang
Dr.H.Maimun Zubair juga mengisahkan, ada seorang perempuan sholihah yang taat lagi kaya, Dia menjadi perawan tua, dan setiap hari merundung nestapa, karena tak seorang pun laki-laki datang melamarnya. Setelah menjadi perawan tua, atas doa-doa yang dipanjatkan setiap malam, tiba-tiba seorang kerabatnya dari Bani Tamim mengunjunginya. Bukan kunjungan biasa, sang kerabat membawa serta seorang pria muda bernama Sukhr yang akan melamar Rithah.
Betapa girang hati Rithah. Penantian panjangnya telah terjawab, kesendiriannya akan berakhir sudah. Rithah pun menikah dengan Sukhr dan menjadi wanita paling bahagia. Ia kemudian menemui berhala-berhala di Ka’bah untuk mempersembahkan korban sebagai bentuk rasa syukurnya.
Namun ternyata kebahagiaan Rithah hanya sekedipan mata. Suaminya tiba-tiba menghilang bak di telan bumi. Sukhr kabur membawa harta yang sangat banyak milik Rithah. Ia pun lantas mencari suaminya. Namun ternyata Sukhr telah diusir oleh masyarakat kampungnya karena berbuat jahat bersama sekumpulan pemuda.
Dalam hatinya, tak masalah jika suaminya adalah seorang penjahat, asalkan ia tak hidup seorang diri. Rithah pun mencari dan terus mencari. Setelah sekian lama mencari, ia pun bertemu dengan Sukhr suaminya.
Namun betapa menyakitkan hati, ternyata Sukhr justru menolak kembali, dengan alasan Rithah terlalu tua untuk dirinya. Sukhr mengaku menikahi Rithah hanya karena ingin mengambil hartanya saja.
Mendengar itu, betapa hancur hati Rithah. Ia pulang ke rumahnya untuk kembali menjadi seorang wanita yang kesepian. Hari demi hari berlalu, Rithah menyendiri di rumahnya yang megah dengan harta yang tak kunjung habis meski sudah banyak yang dicuri oleh suaminya.
Setiap hari Rithah hanya bisa meratapi jalan hidupnya. Ia menangis siang dan malam tanpa henti. Hingga suatu hari, Rithah memegang alat pintal benang milik ibunda. Ia kemudian memintal benang dengan alat tersebut.
Keesokan harinya, Rithah nampak tak lagi berduka. Ia pergi ke pasar membeli banyak benang dan memintalnya. Hasil pintalan itu tak pernah ia jual ataupun ia kenakan pribadi. Karena ternyata setiap malam, Rithah selalu mengurai benang yang telah dipintal kencang. Keesokan harinya, ia memintal benang kembali. Namun malam hari Rithah akan menguraikan benang itu lagi dan lagi. Demikianlah aktivitas Rithah sehari-hari.
Kisah Rithah si wanita pemintal benang ini, ternyata Allah abadikan dalam Al Qur’an sebagai sebuah perumpamaan yang sangat indah bagi siapa saja yang sudah melakukan amal ibadah, lalu kembali melakukan aktivitas yang buruk.
Maka jika kita kembali melakukan kebiasaan buruk setelah Ramadhan usai, malas membuka lembaran al qur’an, malas merapat di shaf-shaf shalat, malas qiyamullail di pertengahan malam, enggan memberi kelebihan rizki, sulit untuk menahan diri, maka sama artinya kita telah memintal benang untuk menjadi kain, lalu setelah menjadi kain kita urai lagi menjadi benang.
“Wala takunu kallati naqadhat gazlaha min ba’di quwatin ankatsa”. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali... (QS. An Nahl: 93)
Jikalau amalan yang sudah dilaksanakan maksimal di bulan Ramadhan tidak dipertahankan, atau malah kembali lagi dengan kebiasaan lama bermalas-malas dan lalai dalam beribadah, maka tidak ubahnya seperti pemintal benang yang mengurai hasil pintalannya menjadi benang lagi.
Di kalangan ulama salaf ada satu untaian menarik, “Kun rabbaniyan, wala takun Ramadhaniyah”. Jadilah kamu sebagai hamba Allah yang rabbani sepanjang waktu, jangan kamu menjadi hamba Allah yang rabbani hanya di bulan Ramadhan.
Semoga kita dapat menjadikan kebiasaan Ramadhan yang sudah kita praktikkan selama sebulan lamanya menjadi identitas kita sebelas bulan ke depan. “tutup Ustadz yang beberpa waktu lagi akan dinobatkan sebagai Guru Besar ( Profesor) di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram itu.
Pewarta: Dae Ompu
0 Komentar