Bagai Membeli Rumah di Atas Angin


Sejumlah tulisan yang di jadikan buku sebagai satu karya besar yang sangat dinamis dari pria kelahiran 
di Desa Mamben Lauk Lombok Timur Provinsi NTB itu, telah dihimpun dalam sebuah buku yang diberi judul “ Tetes Hikmah dari Langit Kampus” diterbitkan oleh Alamtara Institute. Tulisan Guru Besar UIN Mataram ini sedikitnya telah telah menghipnotis para pembaca untuk mengetahui lebih banyak makna yang dikandung. 

Sebuah Tulisan yang sangat menarik kata Ustadz Drs. H. Ahmad Zumri dalam kolom komentarnya. Ulasan ini membangkitkan kesadaran sebagai makhluk, muncul kembali. Sadar akan adanya sandaran Yang Maha tak terbatas, Yang Mampu melihat yang terang dan tersembunyi “innahu ya’lamul jahra wama yakhfa (al-a’la:7).

Jika kita terlena dengan nilai dari sesama makhluk, kata Ustadz Drs. H. Ahmad Zumri maka sesungguhnya kita sedang sibuk mengumpulkan pepesan kosong. Sibuk meraih debu yang beterbangan (haba an mantsura). Semoga kita kembali kepada petunjuk dan kepada Tuhan yang sesungguhnya pemberi nilai yang hakiki. Aamiin.

Berikut Ulasan Guru besar UIN Mataram itu yang dirilis BidikNews dari website Alamtara Institut.

NILAI suatu aktivitas bukan pada banyak dan sedikitnya item kegiatan yang kita lakukan, bukan pula pada tinggi atau rendahnya volume kerja yang kita jalankan, akan tetapi nilai dari sebuah karya atau amaliah terletak pada ketulusan dalam menjalankannya.

Banyak yang bisa dan dapat melakukan berbagai macam kegiatan, berbagai macam amalan, berbagai macam perbuatan baik, akan tetapi sangat sedikit  orang yang bisa membersamai setiap kegiatan, amalan, dan perbuatan baiknya dengan ketulusan dan keikhlasan.

Dalam ruang-ruang muamalah dan ruang-ruang publik lainnya dikenal satu istilah yakni “pencitraan”, suatu upaya membangun image positif dari orang lain terhadap dirinya dengan memperlihatkan diri sebagai seorang yang sangat baik, sangat sopan, sangat tulus, dan bahkan sangat amanah di antara orang-orang yang baik lainnya. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan simpati, pengakuan, dan tentunya nama baik.

Pencitraan sesungguhnya suatu aktivitas yang didasari oleh rasa ketidaktulusan dalam beraktivitas (dalam konsep agama disebut riya’), padahal kalau di dalam dirinya sudah ada rasa tulus, maka sebenarnya seseorang tak perlu membangun pencitraan diri dalam aktivitas hidupnya, sebab sikap tulus yang dikedepankan sesungguhnya sudah menjadi citra dirinya.

Kalau kita amati gejala kehidupan di sekitaran kita, pencitraan itu tidak hanya ada dan terjadi di ruang-ruang publik atau ruang-ruang negosiasi, terkadang pencitraan itu tanpa disadari telah merambah ke ruang-ruang privasi, seperti kesalehan, ketaatan, dan bahkan ruang ibadah.

Pencitraan dalam ruang-ruang ibadah akan menggeret pelakunya kepada sikap riya’, tidak terlalu puas dengan mencantolkan nilai ibadahnya hanya kepada Tuhan, sehingga dia membutuhkan cantolan lain selain Tuhan untuk mengamankan nilai-nilai amaliah yang dia lakukan.

Kita sering sekali mendapatkan nasehat dan dalam keadaan tertentu kita pun juga menyadari bahwa mencantolkan nilai amaliah kepada selain Tuhan tidak akan terabadikan, akan tetapi kita sering tidak konsisten dalam keyakinan kita sendiri.

Maka berhati-hatilah kita dengan amalan yang bermuatan keinginan untuk pencitraan diri, baik dalam sikap, perilaku, omongan, dan tindakan—di samping akan menjadikan kita riya’, juga akan melatih kebiasaan berbohong dalam setiap aktivitas yang kita jalankan.

Dan setiap aktivitas yang dijalankan dengan kebohongan, tentunya aktivitas itu tidak memiliki kekuatan, tidak berdasar,  dan bahkan tidak memberi kepuasan diri dan kemanfaatan bagi siapa saja.

Beramal atau beraktivitas dengan niatan pencitraan diri di hadapan siapa saja, di mana saja, dan dalam situasi bagaimana saja, sesungguhnya kita telah mengukir fatamorgana nilai, karena apa yang diperbuat hanyalah untuk citra diri. (Bahasa al-Qur’an: “habā`am manṡụrā”, nilai amaliahnya laksana debu yang berterbangan)

Kata orang bijak, aktivitas yang dilandasi dengan pencitraan diri tak memiliki nilai keabadian sama sekali, karena aktivitas itu hanya didasari oleh niatan yang rapuh. Ibarat membeli rumah susun—hanya merasa memiliki rumah, tetapi sesungguhnya kepemilikannya semu dan menipu, karena  rumah itu hanya berdiri di atas angin, tanah dan pondasi bukanlah milik kita. Begitu bangunan rubuh, maka habislah kepemilikan kita. 

Persis seperti iktibar yang diberitakan dalam al-Qur’an, bahwa orang yang melakukan aktivitas tanpa iman dan ketakwaan, ibarat mendirikan bangunan di tepi jurang. “am man assasa bun-yānahụ ‘alā syafā jurufin hārin fan-hāra bihī”, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia… (at Taubah ayat 109)

Saatnya kita harus berhati-hati dalam menata diri, menata pikiran, dan menata hati di setiap aktivitas yang kita jalankan, jangan sampai aktivitas-aktivitas itu sarat dengan muatan pencitraan diri, dan aktivitas yang demikian itu sungguh akan sangat melelahkan.

Ingatlah bahwa apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita, yang melandasi semua aktivitas yang kita lakoni, kitalah yang tahu, jangan sampai kita membohongi diri kita sendiri atas amalan dan aktivitas yang kita jalankan.


Berapa banyak amal perbuatan yang tidak kita sadari nilainya menjadi sia-sia, karena tidak dilandasai oleh ketulusan dan keikhlasan. Dalam aktivitas nyata begitu jelas terlihat ketulusan dalam bekerja, padahal sesungguhnya di dalam hati dan pikiran hanyalah pencitraan.  

Dalam satu riwayat yang dipercaya, dijelaskan bahwa sungguh sangat banyak dari hamba Tuhan di akhirat nanti dari orang-orang yang luar biasa ketaatannya, merasa amalan baiknya sangat banyak yang telah dikumpulkan, ternyata di hadirat Tuhan tidak ada yang tersimpan, karena sebagian besar dari aktivitas dan amalan yang ia jalankan dilandasi oleh pencitraan diri.

Sebaliknya begitu banyak dari orang-orang biasa dari sisi ketaatannya kepada Tuhannya, yang merasa amalannya tidak terlalu banyak, namun ternyata nilai amalannya sungguh sangat banyak yang tersimpan di sisi Tuhan, karena seluruh amalan dan aktivitasnya dilandasi ketulusan.

Kondisi yang demikian itu, telah Tuhan kabarkan kepada kita di surah al Kahfi ayat 110, “fa mankāna yarjụ liqā`a rabbihī falya’mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi’ibādati rabbihī ahada” 

Artinya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.

Sebuah Tulisan yang sangat menarik kata Ustadz Drs. H. Ahmad Zumri dalam kolom komentarnya. Ulasan ini membangkitkan kesadaran sebagai makhluk, muncul kembali. Sadar akan adanya sandaran Yang Maha tak terbatas, Yang Mampu melihat yang terang dan tersembunyi “innahu ya’lamul jahra wama yakhfa (al-a’la:7).

Jika kita terlena dengan nilai dari sesama makhluk, kata Ustadz Drs. H. Ahmad Zumri maka sesungguhnya kita sedang sibuk mengumpulkan pepesan kosong. Sibuk meraih debu yang beterbangan (haba an mantsura). Semoga kita kembali kepada petunjuk dan kepada Tuhan yang sesungguhnya pemberi nilai yang hakiki. Aamiin.

Pewarta: Dae Ompu


0 Komentar