Hikmah Jum`at : Menjadi Manusia Biasa

 


Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

ADA satu diksi yang dipilih Tuhan untuk menegaskan keberadaan dan posisi Nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah di tengah-tengah umat yang dipimpinnya, yakni “Muhammad adalah manusia biasa”, sebagaimana firman-Nya di surah al-Kahfi ayat 110, “Qul innamā ana basyarum miṡlukum yụḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid, fa mang kāna yarjụ liqā`a rabbihī falya’mal ‘amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi’ibādati rabbihī aḥadā”.

Terjemahannya: Katakanlah, sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa, barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.

Konsep manusia biasa yang disematkan kepada Nabi saw apabila kita telusuri makna yang dikandung, sungguh sangat luar biasa. Manusia biasa adalah orang yang memiliki kepribadian tidak menyembunyikan atau memalsukan dirinya di hadapan siapa pun yang membersamainya. Dia tampil sebagaimana adanya, tanpa menyembunyikan kelemahan atau kelebihan dirinya, dan orang yang seperti itu biasanya jujur dan autentik dalam segala tindak tanduk dan tutur katanya, tidak berusaha memainkan peran apalagi mencoba menjadi sesuatu yang bukan dirinya.

Keaslian adalah nilai utama bagi pribadi seorang yang menjadi manusia biasa, menerima dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan, tanpa berusaha menutupi atau mengubah bagian-bagian dari dirinya untuk memenuhi harapan orang lain. Dan orang-orang yang menjadi manusia biasa seringkali mudah didekati dan membuat orang lain merasa nyaman berada di sekitarnya, karena ketulusannya dalam menciptakan hubungan yang lebih kuat dan lebih mendalam dengan orang lain.

Menjadi manusia biasa paling mungkin untuk merasakan kedamaian dalam diri, karena apa yang dilakoninya dilalui dengan biasa-biasa saja,  tidak terlalu dipengaruhi oleh tekanan sosial atau harapan orang lain, sehingga dapat merasakan kebebasan dan autentisitas dalam hidupnya.

Menjadi manusia biasa bukan berarti mengabaikan tanggung jawab atau mengabaikan norma sosial. Ini lebih tentang keterbukaan dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan. Pribadi manusia biasa senantiasa mampu menghargai diri sendiri dan orang lain dengan lebih autentik, menciptakan lingkungan yang penuh kepercayaan dan saling pengertian. Top of Form Dia hidup dengan apa adanya dan biasanya menerima dirinya seutuhnya, tanpa berusaha berpura-pura atau merubah diri untuk memenuhi harapan orang lain.

Sebagai manusia biasa akan melakoni hidup ini dengan biasa-biasa saja dan menyadari bahwa setiap diri memiliki kelebihan dan kekurangan, tatkala merasa memiliki kelebihan, dia menyikapinya dengan wajar, tidak memperlihatkan dirinya lebih dari orang lain, karena dia sadar bahwa pada sisi yang lain pasti ada kekurangannya. Apabila dia rajin dalam bekerja,  ia tidak merasakan dirinya sangat profesional, karena dia menyadari bahwa dalam setiap usaha pasti ada risiko dan kendalanya.

Demikian pula dalam aktivitas ibadah yang dijalaninya, dia rajin mendatangi tempat ibadah, akan tetapi dia tidak memosisikan dirinya sebagai orang saleh, sehingga suara azan yang bersaut-sautan tidak pernah mengganggu kedamaian hidupnya, dia menyikapinya dengan biasa saja, karena dia menyadari bahwa setiap diri memiliki kekhilafan dan kealpaan. Tatkala berada dalam satu majlis, seorang yang menjadi manusia biasa tidak berpura-pura tahu di saat orang membutuhkan argumennya, demikian pula sebaliknya tidak berpura-pura tidak tahu padahal dia mengetahui.

Kemudian seorang manusia biasa menjalani kehidupannya sesuai keadaan dan kondisi dirinya, jika dia sedang tidak berpunya, tidak berpura-pura kaya, sebaliknya jika ia sedang berpunya, tidak berpura-pura miskin. Saat ia sedang berjaya, tidak memperlihatkan sikap sombong, dan saat kejayaannya mengalami kemunduran, tidak sulit baginya untuk rendah hati.  

Menjadi manusia biasa paling mungkin untuk merasakan kedamaian dalam diri, karena apa yang dilakoninya dilalui dengan biasa-biasa saja,  tidak terlalu dipengaruhi oleh tekanan sosial atau harapan orang lain, sehingga dapat merasakan kebebasan dan autentisitas dalam hidupnya. Rasanya seperti menari di sepanjang irama kehidupan tanpa terlalu khawatir tentang penilaian atau ekspektasi eksternal.

Yang jelas menjadi manusia biasa itu lebih mungkin untuk mengalami beban hidup yang lebih ringan dan lebih bebas dengan hidup yang dijalaninya dibandingkan dengan orang-orang yang selalu berusaha untuk memenuhi ekspektasi atau standar tertentu.

Kemudian menjadi manusia biasa lebih mungkin memiliki kepercayaan diri yang stabil dan tidak terlalu terpengaruh oleh tekanan sosial, cenderung fokus pada nilai-nilai dan kebahagiaan internal, daripada terlalu khawatir tentang bagaimana terlihat di mata orang lain. Tentu saja, hidup menjadi manusia biasa bukan berarti mengabaikan pertumbuhan pribadi atau perbaikan diri, akan tetapi lebih pada penerimaan diri yang sejati.

Top of Form

Jadi, menjadi manusia biasa sama artinya seperti memberi izin pada diri sendiri untuk bersinar dalam bentuk asli. Ketika kita menerima diri apa adanya, itu adalah langkah pertama menuju kebahagiaan dan keseimbangan. Bayangkan hidup dalam kejujuran penuh terhadap diri sendiri, tanpa perlu menyembunyikan atau menyamarkan diri, akan sangat merasakan betapa hidup ini begitu memerdekakan.

Kesadaran untuk menjadi manusia biasa membuka pintu untuk terbinanya hubungan yang lebih autentik dengan orang lain. Orang-orang akan dapat mengenal kita seutuhnya, bukan hanya citra yang kita proyeksikan, akan tetapi aksi nyata yang bermuara dari kejernihan hati dan pikiran.

Selain itu, menjadi manusia biasa juga membebaskan kita dari tekanan untuk selalu berusaha menjadi orang lain atau memenuhi ekspektasi orang lain. Ingatlah memakai topeng itu sesungguhnya melelahkan dan akan sangat menyiksa.

Maka menjadi manusia biasa tidak memerlukan rekayasa apalagi topeng, semua yang terlahir dari diri ini berasal dari keinginan internal yang tulus, bukan karena tekanan eksternal. Jadi, marilah kita mencontoh Nabi saw sebagai manusia biasa yang memancarkan aura dan aroma versi terbaik dari diri kita sendiri.

Penulis adalah : Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram (9/11/23)

0 Komentar