Hikmah Jum`at : Tak Sadar sebagai Pemeran Pengganti


Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd 

PEMERAN pengganti dalam film atau sinetron (stuntman) yang menggantikan aktor atau aktris utama dalam suatu adegan berbahaya, seperti adegan melompat dari satu gedung ke gedung  yang lain, melompat dari atas tebing, atau adegan berbahaya lainnya. Aksi-aksi yang  dimainkan memang berbahaya, dan yang jelas ada risiko yang bakal terjadi atas profesi tersebut.

Sebagai pemeran pengganti dari seorang aktor atau aktris sedapat mungkin memberikan kesan bahwa yang melakukan adegan itu adalah aktor atau aktris aslinya. Dan memang demikian komitmen dari skill seorang pemeran pengganti. Peran seorang pengganti bisa menjadi seperti bermain peran dalam suatu drama kehidupan. Ketika seseorang mengambil peran pengganti, mereka diharapkan untuk menggantikan seseorang atau sesuatu dengan sebaik mungkin. Ini bisa terjadi dalam berbagai konteks, mulai dari dunia hiburan hingga kehidupan sehari-hari.

Seorang pemeran pengganti tidak serta merta melakukan apa saja tanpa membangun konsep diri, paling tidak bagi pemeran pengganti melibatkan beberapa langkah kunci agar transisi dari peran yang digantikannya berjalan lancar. Paling tidak pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab dan tugas peran yang akan diambil sangat penting dimiliki.

Yang jelas kemampuan untuk belajar dan penyesuaian diri dengan cepat menjadi kunci bagi kesuksesan pemeran pengganti, karena sering kali dihadapkan pada tantangan baru dan perubahan mendadak. Komitmen pemeran pengganti tidak hanya melibatkan aspek tugas dan tanggung jawab, tetapi juga melibatkan aspek interpersonal, teknis, dan adaptabilitas.

Tatkala kita sedang melakukan aktivitas tidak jujur, dusta, dan manipulasi apa saja dengan cara mengemasnya se-profesional mungkin sehingga terkesan memang seperti  orang paling jujur dan apa adanya, padahal sesungguhnya sedang melakukan kebohongan, maka saat itu kita sesungguhnya sedang memerankan pemeran pengganti dari orang-orang yang tidak jujur alias pendusta.

Setelah membaca tentang konsep pemeran pengganti di atas, pernahkan kita membayangkan atau paling tidak merenung bahwa dalam aktivitas kehidupan yang kita jalani, entah berkaitan dengan tugas profesi atau berkarya formal maupun non formal, suatu aktivitas di mana kita harus menjunjung tinggi integritas, atau saat melakukan aktivitas  yang berkaitan dengan amaliah dalam ranah ibadah dan muamalah, kita sering tidak menyadari bahwa kita terkadang telah dan sedang mengambil peran pengganti pada elemen-elemen tertentu yang membahayakan dari sikap dan perilaku kita.

Tatkala kita sedang melakukan aktivitas tidak jujur, dusta, dan manipulasi apa saja dengan cara mengemasnya se-profesional mungkin sehingga terkesan memang seperti  orang paling jujur dan apa adanya, padahal sesungguhnya sedang melakukan kebohongan, maka saat itu kita sesungguhnya sedang memerankan pemeran pengganti dari orang-orang yang tidak jujur alias pendusta.

Tatkala kita tiba-tiba lalai, terasa malas, dan ogah-ogahan (bahasa milenial: mager, malas gerak) baik dalam aktivitas harian maupun dalam aktivitas amal ibadah, seakan-akan  aktivitas untuk sosialisasi itu tidak penting, amal ibadah itu tidak menjadi tuntutan, maka saat itu kita sesungguhnya sedang memerankan pemeran pengganti dari orang-orang yang lalai dalam hidupnya.

Tatkala di dalam hati ada rasa sombong, kemudian kesombongan itu dipertegas dengan perilaku dan omongan yang angkuh dan membangga-banggakan diri atas apa yang kita miliki dan capai, maka saat itu sesungguhnya kita telah dan sedang memerankan pemeran poengganti dari orang-orang yang benar-benar sombong dan angkuh.

Tatkala kita berlaku tamak atas perolehan  yang kita miliki dan enggan dalam berbagi dari kelebihan kepemilikan kita, dan perilaku itu kita kemas seakan-akan kita tidak berpunya, padahal kita memiliki sesuatu yang lebih, maka saat itu kita sesungguhnya telah dan sedang memerankan pemeran pengganti dari orang-orang yang punya kebiasaan tamak.  

Dari beberapa contoh peran yang dilakoni sebagai pemeran pengganti di atas, penting untuk kita sadari dalam melakukan hal-hal yang negative bahwa kita sesungguhnya tengah dihadapkan pada situasi yang berbeda dengan nurani dan harus beradaptasi dengan perubahan yang bertentangan dengan diri yang sebenarnya. Tantangan dan godaan untuk mengambil peran  sebagai pemeran pengganti  membutuhkan sikap hati-hati, karena risiko dan efek yang ditimbulkan sangat berpengaruh terhadap kepribadian dan karakter diri.

Agar kita selalu hati-hati dalam menyikapi kesempatan yang berusaha menggiring kita sebagai pemeran pengganti dalam hal-hal yang berbahaya (baca: perilaku amoral), perlu kita belajar dari kisah hikmah yang terjadi di zaman Rasul saw, tatkala ayat di surat al-Isra’ ayat 7 turun, “In aḥsantum aḥsantum li`anfusikum, wa in asa`tum fa lahā”. Terjemahannya: Apabila perbuatan baik kamu lakukan, sesungguhnya kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Begitu pula apabila perbuatan buruk yang kamu lakukan, akibatnya akan kembali kepadamu.

Salah seorang sahabat sangat terpukau dengan keindahan makna ayat ini, karena itulah dia selalu membacanya siang dan malam. Kemudian dikisahkan bahwa seorang perempuan Yahudi memendam rasa dengki kepada sahabat tersebut. Kedengkiannya itu begitu membara, sehingga dia berkata kepada dirinya sendiri: “Tunggulah sampai aku lakukan perbuatan ini.”

Perempuan Yahudi itu lalu membuat manisan, kemudian mencampurinya dengan racun. Setelah jadi, dia memberikannya kepada sahabat itu. Sang sahabat menerimanya, lalu membungkusnya untuk dibawa dalam perjalanan.

Sahabat itu lalu pergi ke sebuah padang tandus dan di sana dia melihat dua orang anak muda yang tampak keletihan karena perjalanan jauh. Sahabat itu bertanya kepada kedua orang tadi: “Apakah kalian suka manisan ini?” “Ya”, jawab mereka. Sahabat itu lalu meletakkan manisan tersebut di sisi kedua anak muda itu, beserta sedikit roti.

Setelah anak muda itu menyantap roti dan manisan itu, mereka lalu tersungkur dan mati. Ketika sampai kabar tentang itu ke Madinah, orang-orang Madinah lalu menangkap sahabat itu dan menghadapkannya kepada Rasulullah saw.

Beliau bertanya: “Manisan dan roti itu, dari mana kau mendapatkannya?” Sahabat menjawab: “Seorang perempuan Yahudi yang memberikannya kepada saya.”

Mereka pun lalu mencari perempuan Yahudi itu. Ketika perempuan Yahudi itu tiba, dia melihat dua jenazah anak muda itu di hadapannya. Dua anak muda itu ternyata adalah kedua putranya yang datang dari sebuah perjalanan. Perempuan Yahudi itu lalu menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah saw seraya berkata: “Kebenaran maqammu ini membuat saya paham bahwa apabila perbuatan buruk kulakukan, maka itu berarti aku telah melakukannya kepada diriku sendiri. Akibatnya akan kembali kepadaku, dan akhirnya aku memahami makna sebenarnya ayat itu.”

Dari kisah di atas, berhati-hatilah kita untuk memerankan diri, harus selalu eling bahwa peran apa pun yang kita lakoni, entah peran utama ataupun pengganti, akibatnya akan menimpa diri kita sendiri.

2 November 2023.

Penulis adalah, Guru Besar pada Universitas Islam Negeri - UIN Mataram


0 Komentar