Janji: Tagihan Atas Komitmen Diri

 


Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd  (30 November 2023)

SAAT ini kita sedang menapaki tahun—yang menurut sebagian orang bahwa tahun ini adalah tahun politik, dan biasanya suatu yang paling layak dikedepankan untuk meraih perhatian dan simpati publik adalah janji. Janji merupakan komitmen atau pernyataan yang menjadi keputusan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu di masa yang akan datang.

Janji itu melibatkan tanggung jawab moral dalam artian bertanggung jawab untuk memenuhi komitmen, karena pemenuhan janji dapat memengaruhi kepercayaan dan stabilitas hubungan kemanusiaan, dan sebaliknya pelanggaran terhadap janji dapat merusak kepercayaan dan menyebabkan konsekuensi tak nyaman.

Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan pengetahuan, dan kebiasaan masyarakat, di mana janji-janji sering kali terurai bak rajutan kain yang diurai menjadi benang, menyebabkan munculnya gejala baru di tengah masyarakat yang mulai abai dari norma dan nilai-nilai terkait dengan janji.

Kita seakan-akan tidak lagi memiliki editor moral atas janji yang kita ikrarkan, di mana masyarakat biasanya sangat sensitif dengan prinsip bahwa janji adalah utang, kini prinsip tersebut sudah masuk ke kantong amnesia, dikarenakan masyarakat merasa skeptis terhadap janji-janji yang sering diumbar tanpa komitmen untuk memenuhinya.

Menyikapi kondisi ini, maka kejujuran, integritas, kesadaran, dan kepercayaan dirilah hendaknya menjadi dasar dalam menjalankan janji, kitalah yang harus berfungsi sebagai CCTV atas janji-janji yang kita ikrarkan, agar terekam dan tidak berlagak lupa atas janji-janji kita sendiri.

Intinya, ketika berjanji, selalu mempertimbangkan kemampuan dan kewajaran diri agar dapat memenuhi komitmen tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain. Menjaga konsistensi antara kata-kata dan tindakan merupakan langkah penting dalam membangun kepercayaan diri.

Penting untuk diingat bahwa membuat janji itu sesungguhnya kita sedang membangun komitmen tidak saja dengan diri sendiri, tetapi dengan sesuatu di luar diri secara vertikal dan horizontal, artinya janji bukan hanya komitmen pada tingkat manusiawi, tetapi juga pada tingkat spiritual dan moral. Sehingga untuk melanggar komitmen atas janji seharusnya sungkan untuk kita lakukan.

Dengan demikian apabila terjadi ikrar janji yang terbangun dengan itikad buruk atau tanpa niat untuk memenuhinya, dapat mencederai reputasi kemanusiaan. Di sini lah pentingnya kita harus menyadari bahwa janji itu boleh dilakukan dengan standar-standar manusawi, bahwa janji yang diikrarkan sudah sesuai dengan takaran diri, sesuai kemampuan diri, sesuai pemahaman diri, dan sesuai dengan kapasitas diri.

Ketika membuat janji senantiasalah mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan diri yang dapat menjadi jaminan untuk bisa memenuhi janji tersebut. Ini pastinya melibatkan pemahaman yang jelas tentang batasan, kemampuan, tanggung jawab, dan waktu yang kita miliki. Dengan berjanji sesuai takaran diri, sesungguhnya kita sedang mendidik diri sendiri tentang kesadaran overcommitting dan membantu menjaga keseimbangan hidup agar tidak mengalami stres yang berlebihan karena beban janji yang terlalu berat.

Jadi dengan berupaya menimbang janji sesuai dengan takaran diri, kemampuan diri, pemahaman diri, dan sesuai dengan kapasitas diri sebelum melakukan transaksi, akan dapat dipastikan bahwa setiap janji akan dapat dipenuhi atau ditepati.

Namun apabila dalam mengikrarkan janji tidak ditimbang dengan takaran diri, tetapi dilandasi oleh bayang-bayang mimpi bahwa janji bisa dipenuhi, didasari khayalan, prediksi, coba-coba, dan apalagi dilambari dengan aksi nekat, sangat rentan terhadap kegagalan atau ketidakmampuan untuk memenuhi komitmen diri. Sebelum berjanji kiranya sangat penting untuk mempertimbangkan secara bijaksana, memahami konsekuensi, dan tanggung jawab yang mungkin muncul.   

Intinya, ketika berjanji, selalu mempertimbangkan kemampuan dan kewajaran diri agar dapat memenuhi komitmen tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain. Menjaga konsistensi antara kata-kata dan tindakan merupakan langkah penting dalam membangun kepercayaan diri. Dengan memberi janji sesuai takaran diri, seseorang dapat membangun reputasi yang positif dan menjaga hubungan interpersonal yang sehat.

Kalimat kunci dalam konsep Islam bahwa orang yang berjanji tidak berdosa, akan tetapi orang yang melanggar janjinya akan dikenakan dosa besar. Maka mengikrarkan janji menjadi tagihan terhadap komitmen diri.

 “Wa aufụ bi’ahdillāhi iżā ‘āhattum wa lā tangquḍul-aimāna ba’da taukīdihā wa qad ja’altumullāha ‘alaikum kafīlā, innallāha ya’lamu mā taf’alụn”. Terjemahannya: Dan tepatilah perjanjian dengan Tuhan apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Tuhan sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Tuhan mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. An-Nahl ayat 91)

Sebagai catatan akhir, berlaku selektiflah kita dalam memberi janji, memang janji sering kali dijadikan sebagai alat pencitraan diri, sebagai komitmen yang diucapkan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu atau memenuhi suatu kewajiban di masa depan. Pencitraan diri di sini suatu upaya seseorang memperlihatkan dirinya kepada orang lain, sering kali dengan tujuan membangun reputasi atau kesan positif.

Ketika seseorang membuat janji, terutama di depan publik, hal tersebut dapat menjadi strategi untuk membangun citra positif. Janji-janji yang diucapkan bisa mencakup berbagai hal, seperti komitmen untuk berperilaku etis, berkontribusi pada masyarakat, atau mencapai tujuan tertentu. Ini memberikan kesan tanggung jawab dan dapat diandalkan.

Namun, janji juga memiliki risiko. Jika seseorang gagal memenuhi janjinya, hal tersebut dapat merusak citra dirinya. Oleh karena itu, penting untuk dengan sangat serius menimbang kapasitas diri sebelum membuat janji dan memastikan bahwa janji tersebut dapat dipenuhi. Konsistensi antara pikiran, perkataan, dan tindakan sangat penting dalam membangun kepercayaan dan memelihara pencitraan diri yang positif di bumi dan di langit.

Penulis : Adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri – UIN – Mataram 


0 Komentar