Hikmah Jum`at, Goresan Singkat untuk Cinta yang Panjang, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd


“Bagai melempar batu ke tengah danau… yang nampak hanya riak-riak gelombang akibat dari hentakan batu di permukaan air, sementara batunya sudah karam entah di mana”. 

Itulah perumpamaan dari proses pesta demokrasi yang sudah kita ikuti sepuluh hari yang lalu. Ghirah dari pesta demokrasi telah kehilangan aromanya, bersamaan dengan lesu dan lunglainya segala bentuk aksi dan perhatian. Dan saatnyalah diri ini rehat untuk menemukan kembali semangat juang dalam mengikuti kompetisi kehidupan yang semakin hari semakin menantang.

Saat api tungku dari pesta demokrasi mulai meredup, percikan arangnya adalah segala macam kesan dan citra yang terurai menjadi kisah menarik yang bertebaran di mana-mana, entah di ruang-ruang diskusi, di kantin-kantin, di ruang-ruang kerja, tak terkecuali di berbagai media sosial. Sebagai orang bijak, hendaknya kita membiarkan cerita itu mengalir bagai air, bagai angin, dan bagai cahaya, yang akan menemukan ujungnya yang pasti akan semakin meredup mengikuti jauhnya perjalanan masa.

Masing-masing kita punya kisah tentang pesta demokrasi yang menarik untuk kita bagikan, punya kesan yang indah untuk kita ceritakan, dan punya jejak yang rasanya sangat sayang untuk tidak dikabarkan.

Sadarkah kita, bahwa semua kisah, semua kesan, dan semua jejak yang berserakan tentang pesta demokrasi itu lahir dari rasa cinta yang sangat mendalam kepada tanah air dan bangsa. Sebagai pencinta, maka semua kejadian tidak ada yang cela, semua permasalahan tidak ada yang tak menarik, dan semua gejala tidak ada yang tak terpantau.     

Jangan ada respons negatif dari siapa pun di antara kita, karena semua kita memiliki rasa cinta yang begitu mendalam kepada negeri ini, hanya saja ekspresi dari masing-masing pencinta yang berbeda.

Cinta dapat dianggap sebagai kekuatan jiwa karena ia memiliki dampak yang mendalam pada berbagai aspek kehidupan, termasuk cinta rakyat dan bangsa kepada negara dan tanah airnya. Itulah sebabnya semua bentuk luapan emosi dan asa selalu mendapat respon, dan masing-masing pencinta akan memberi respon sesuai kapasitas dan volume cintanya.  

Cinta dapat menjadi sumber inspirasi yang kuat, di mana seseorang sering kali merasa terdorong untuk meluapkan dan mengungkapkan suatu keadaan yang dialami melalui apa saja yang dapat mengungkapkan keberadaan dirinya, yang memiliki cinta yang begitu membara kepada negerinya. Dalam posisi ini, maka apapun yang ditampakkan oleh siapapun tentang apa dan siapa saja yang berkaitan dengan negeri yang dicintainya, hendaknya kita respons dengan damai, sekalipun kadang terkesan tidak rasional.


Memang begitulah luapan cinta yang tak terbendung, sering kali tidak rasional dalam narasi, aksi, sikap, dan perilaku, seperti yang terbaca dalam catatan cinta Qays dan Layla (dalam buku Layla Majnun) yang memperlihatkan sikap dan perilaku di luar nalar.

Qays membuang dirinya ke padang pasir untuk hidup bersama dengan binatang. Dia merasa terhibur dengan kehidupan barunya ini. Di alam liar, Qays tidak pernah makan cukup hingga dirinya menjadi kering kerontang.

Kemudian pernah suatu hari Qays jatuh sakit, dan mesti harus dioperasi dan dibedah. Akan tetapi Qays merasa takut untuk menjalani operasi, bukan karena pisau yang akan menyayatnya, akan tetapi kata Qays , “aku takut sayatan di tubuhku ini akan menyakiti si Layla juga, karena di daging dan di dalam darahku telah tumbuh cintaku pada Layla”, kata Qays penuh haru.

Ketika Qays begitu rindu kepada Layla, tersebarlah berita bahwa ada pesta di rumah Layla. Qays pun ikut mengantri untuk mengambil hidangan, hingga ia berada tepat di hadapan Layla, pandangan mata mereka bersetatap seketika sampai ke relung sulbi. Tetiba Layla menjatuhkan piring yang mestinya ia berikan kepada Qays. Sontak hadirin terkaget, dan menyangka Layla sudah mulai membenci Qays, atau Layla telah sadar bahwa Qays tidak sepadan dengannya. Tetapi Qays malah tersenyum bahagia, “itu berarti aku harus antri lagi dari awal untuk mendapatkan piring. Dan itu akan membuatku lebih lama melihat Layla”, katanya berbisik ke orang yang berada di sebelahnya.

Karena perilakunya yang eksentrik itulah, Qays dikenal sebagai Majnun (orang gila). Itulah luapan cinta dengan berbagai atraksi dan suara yang tak wajar, namun perilaku dan sikap itu tidak salah.

Seperti inilah kira-kira nuansa dan suara yang kita baca dan kita dengar, baik di dalam berita maupun di medsos tentang cintanya anak bangsa terhadap negerinya pasca pesta demokrasi. Oleh karenanya, selagi ruang publik  belum sesak oleh tumpukan narasi dan atraksi, silahkan kita bernarasi tentang cinta kita kepada negeri, seperti narasi dan aksinya Qays terhadap Layla. 


Jangan ada respons negatif dari siapa pun di antara kita, karena semua kita memiliki rasa cinta yang begitu mendalam kepada negeri ini, hanya saja ekspresi dari masing-masing pencinta yang berbeda. Selayaknya rasa cinta itu memberikan kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, yang dapat menciptakan empati yang kuat, di mana kita mesti dapat merasakan kegembiraan, kesedihan, ataupun kegalauan orang lain.

Luapan cinta memang dapat menggelorakan berbagai bentuk pembelaan dan ekspresi. Ketika seseorang mencintai dengan tulus, maka asa itu akan bisa memicu keinginan kuat untuk menolong, membela, dan bahkan mendukung apa yang ia cintai.  

Yang perlu disadari diantara kita, jangan sampai kita berlebih di dalam meluapkan rasa cinta, namun jangan pula berlebih dalam mengungkapkan kebencian kepada pencinta yang tidak sefrekuensi dengan kita, karena semua kita sebagai anak bangsa memiliki cinta yang sama-sama besar terhadap negeri ini.

Pesan Nabi saw, “Ahbib habibaka haunam ma, ‘asa an yakuuna baghidloka yaumam ma. Wa abghidl baghidloka haunam ma, ‘asa an yakuuna habibaka yaumam ma”. Terjemahannya: Cintailah kekasihmu sekadarnya saja, sebab bisa jadi suatu saat kelak kamu akan membencinya, dan jika kamu benci, bencilah dengan sewajarnya saja, sebab mungkin kelak suatu saat kamu akan mencintainya. (HR. Tirmidzi).

Penulis : Adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram


0 Komentar