Ceramah Ramadhan Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd di Masjid Al Achwan GPI “Berpuasa Berlatih Untuk Patuh”

 


Puasa yang kita jalankan selama tiga puluh di bulan suci Ramadhan, sesungguhnya proses pelatihan atau diklat tentang kepatuhan, keteraturah, dan kesimbangan hidup. Allah dengan kasih sayangnya memberikan satu program untuk mengedukasi kita dalam latihan yang Panjang. 

BidikNews.net,Mataram – Hal tersebut diuaraikan Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd mengawali ceramah subuh hari ke 8 Ramadhan 1445 H, Selasa, 19 Maret 2024 di masjid Al Achwan Griya pagutan Indah (GPI) Mataram- NTB 

Dalam uraian ceramahnya, Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd mengatakan Puasa yang kita jalankan selama tiga puluh di bulan suci Ramadhan, sesungguhnya proses pelatihan atau diklat tentang kepatuhan, keteraturan, dan kesimbangan hidup. Allah dengan kasih sayangnya memberikan satu program untuk mengedukasi kita dalam latihan yang Panjang. jelasnya.

Selama tiga puluh hari kata Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd, kita ditempa untuk menjadi manusia tangguh dalam menahan diri untuk tidak makan dan minum, sehingga pasca Ramadhan kita tidak menjadi hamba-Nya yang rapuh dan banyak mengeluh tatkala menghadapi situasi yang tidak baik-baik saja. 

Begitu pula selama tiga puluh hari kata Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd bahwa kita ditempa dengan syariat ibadah agar pasca Ramadhan kita menjadi hamba-Nya yang teratur dan seimbang antara aktivitas ukhrowi dan dunawi.” Terang Guru Besar UIN mataram itu.

Ibadah yang kita lakukan selama tiga puluh hari jika merujuk kepada ayat al-qur’an didalam surat Al An'am ayat 160:

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا

"Siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya. Siapa yang berbuat keburukan, dia tidak akan diberi balasan melainkan yang seimbang dengannya”.

Maka ibadah kita terang Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd nilainya dilipatgandakan sepuluh kali tiga puluh hari sama dengan tiga ratus hari, ditambah dengan nilai ibadah pada malam hari, maka nilainya sama dengan ibadah satu tahun.” Urainya.

Wajar kalau Nabi bersabda bahwa akan mengampuni dosa setahun yang lalu bagi hamba yang berpuasa di siang hari dan berdiri di malam hari. 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari no. 2014)

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang mendirikan shalat malam pada Bulan Ramadhan karena iman dan pengharapan pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk mencapai nilai ibadah yang begitu tinggi seperti didalam sabda nabi di atas, ujar Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd perlu kita menjalankannya semata-mata karena Allah SWT, sehingga kita benar-benar serius, benar-benar ikhlas dan benar-benar hati-hati.

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd juga mengisahkan dialog dan tanya jawab antara seorang Santri dengan Sang Guru (Kiyai) Sebagai i’tibar dari ibadah yang kita lakukan benar-benar serius karena Allah, kita bisa mengambil ibrah dari sebuah kisah hikmah berikut:

Alkisah, suatu ketika seorang santri telah menyelesaikan hafalan al-qur’annya 30 juz dan menghadap kepada gurunya untuk muroja’ah. Sang kiyai mengatakan, nak, bisakah kamu mengulang hafalanmu sendirian selama 24 jam dari subuh hingga subuh esok hari? Sang santri mengatakan, akan saya usahakan pak kiyai. Keesokan harinya santri menghadap kiyainya dan melapor, bahwa saya bisa menyelesaikan hafalan tuntas 30 juz. 

Kiyainya memintanya untuk kembali menghafal dalam durasi waktu yang sama (24 jam), tetapi saat menghafal santrinya diminta menghadirkan wajah kiyainya dalam proses murojaah. Esok harinya, si santri datang, dan melapor bahwa saya hanya bisa menyelesaikannya separuh al qur’an. 

Kata kiyainya lagi, ulangi murojaah lagi dalam durasi yang sama, tetapi kali ini hadirkan wajah para nabi saat kamu murojaah, karena para nabi pernah menyimak Rasulullah SAW. Keesokan harinya santrinya datang dan melapor kepada kiyai bawa saya hanya bisa menyelesaikan sepertiga dari 30 juz.

Kiyai meminta lagi santrinya melakukan hal yang sama, tetapi tatkala murojaah harus menghadirkan Rasulullah sebagai nabi yang menerima wahyu ini dari Allah SWT. Keesokan harinya santri itu datang kepada kiyai dan mengatakan bahwa saya hanya bisa menyelesaikan hafalannya saya hanya 1 juz.

Kiyai meminta untuk yang terakhir, ulangi murojaah dalam durasi waktu yang sama, tetapi kali ini hadirkan Allah sebagai penyimak kamu, keesokan harinya sang santri tidak datang kepada kiyainya, lantas kiayi mencarinya ke rumahnya. Ternyata santrinya jatuh sakit dan sedang menangis di tempat tidur. Wahai pak kiyai, saya tidak bisa murojaah di hadapan Allah, saya hanya bisa menyelesaikan satu surah saja yakni al-fatihah, itu pun baru sampai iya kana’ budu, dada saya mulai sesak di hadapan Allah, saya malu, karena selama ini saya tidak hanya mengabdi kepada-Nya, tetapi mengabdi kepada yang lain-lain juga.

Sang kiyai, ikut menangis dan memeluk santrinya dengan mengatakan, hari ini kamulah yang menjadi guru saya.

Dari kisah singkat di atas, mengertilah kita bahwa bila beribadah tanpa menghadirkan Allah, bisa saja kita beribadah semau kita, terburu-buru, atau bahkan tidak serius, dan bisa jadi ibadah yang kita lakukan terasa hambar. Akan tetapi tatkala kita hadirkan Allah dalam ibadah kita, maka ibadah itu akan kita jalankan dengan serius, hati-hati, dan tentunya dengan khusyu’ termasuk ibadah puasa.

Pewarta: Dae Ompu


0 Komentar