Menjadi Lukisan Hidup, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd

 


“Tersenyumlah di mana saja ada ruang komunikasi, karena semua orang akan menyimpulkan tentang kita dari apa yang dia lihat, bukan dari apa yang kita rasa”

NASIHAT kelasik ini dapat menjadi petuah bagi diri yang mengandung makna yang sangat mendalam, bahwa segala apa yang nampak dari kita, baik omongan, prilaku, sikap dan busana sekalipun, menjadi perhatian orang-orang yang ada di sekitar kita. Dan seringkali simpulan orang lain tentang diri kita, ditarik dari apa yang nampak.

Dari persepsi di atas inilah, maka muncul satu label bahwa manusia itu sesungguhnya “lukisan hidup”. Lukisan hidup maksudnya lukisan yang keindahan dan ekspresi seninya tervisualisasikan dari apa yang kita perlihatkan dalam elemen kehidupan yang kita jalani, di manapun dan kapan pun, yang tentunya harus indah dan memikat bagi siapa saja. Keindahan budi pekerti ini mencakup nilai-nilai moral, sikap positif, empati, kesabaran, dan sifat-sifat baik lainnya.

Manusia menjadi karya seni yang Tuhan produksi dengan penciptaan yang paling sempurna, kemudian untuk menambah keindahan dan keelokan karya seni itu, Tuhan celupkan diri ini kedalam cat kehidupan dengan berbagai elemennya sebagai warna yang mempertegas keindahan lukisan hidup. Analogi lukisan hidup ini menggambarkan bahwa seluruh sepak terjang yang kita lakoni, baik omongan, pikiran, dan prilaku merupakan lukisan yang dapat dinikmati oleh siapa saja. 

Dalam konteks ini, manusia dianggap sebagai lukisan hidup yang dipahat dengan indah oleh Sang Pencipta, di mana setiap detail kehidupan yang kita jalani dianggap sebagai bagian dari desain yang membentuk lukisan hidup menjadi lebih sempurna.

Bagi seorang pelukis kanvas misalnya, lukisannya dapat menjadi media atau jembatan untuk mengantarkan pesan. Hal ini dikarenakan bagi pelukis, bahwa lukisan merupakan karya seni yang indah, bebas, dan lebih mudah untuk diterima. Dengan kata lain, bahwa seorang pelukis cenderung akan menuangkan perasaan, pikiran, dan juga emosi melalui karyanya. Terkadang lukisan itu diciptakan untuk memberikan pesan dan kesan tersendiri bagi penikmat lukisan atau bahkan bagi orang awam sekalipun.

Tidak jauh beda dengan kita sebagai lukisan hidup, kitalah yang menghiasi diri ini dengan pesan-pesan moral yang dapat memberikan kesan indah dan terpuji bagi orang-orang yang ada di sekitar kita, sebagaimana para pengamat lukisan kanvas akan sangat nikmat mengamati detil-detil lukisan apabila pesan dari lukisan itu sampai di hati dan perasaannya. 

Demikian pula dengan kita sebagai lukisan hidup, hendaknya memberikan kesan indah dan terpuji bagi siapa saja yang mengamati kita. Itulah sebabnya dalam konsep keagamaan seringkali memberikan penekanan kepada kita untuk “Fakkir qablal kalam”, berpikirlah sebelum berbicara. “Fakkir qobla an ta’zima”, berpikirlah sebelum bertindak, dan masih banyak penegasan-penegasan lain yang mengarah kepada bagaimana proses pewarnaan dari lukisan hidup harus dilakukan dengan hati-hati dan terjaga.

Kemudian melukis kanvas adalah proses mencurahkan ide, gagasan dan juga perasaan yang dituangkan ke dalam media dua dimensi, mengutamakan pengungkapan kesan batin daripada pribadi seorang pelukis dengan kreativitasnya sendiri. Demikian seharusnya kita didalam menampilkan diri sebagai lukisan hidup, maka apa yang nampak dari kita harus senantiasa bersumber dari pancaran hati, sehingga siapapun yang mengamati akan tersentuh hatinya.   

Sebagai lukisan hidup, di mana perilaku akan mencerminkan keindahan, maka dalam menjalani kehidupan ini sedapat mungkin kita memupuk perilaku yang positif, yang dapat memperindah kesan dari orang lain sebagai pengamat dari lukisan hidup yang kita goreskan dalam kanvas perilaku.


Kalau para pelukis kanvas menggambar dengan imajinasi dan khayalannya yang menghasilkan lukisan yang indah, maka kita sebagai pelukis diri yang menghasilkan lukisan hidup dengan kesadaran penuh, hendaknya menghasilkan gambar diri yang jauh lebih indah dan lebih memesona bagi pengamatnya.

Penting diingat bahwa untuk menjadikan lukisan hidup yang memukau, sejatinya tercermin dalam akhlak dan budi pekerti yang terpuji. Ketika seseorang menunjukkan sikap yang terpuji seperti kejujuran, kebaikan, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama, sesungguhnya dia sedang menambah sentuhan-sentuhan estetik yang akan menambah keindahan dari lukisan hidup.

Kemampuan untuk memastikan sikap dan perilaku senantiasa berada pada koredor dan rel kebenaran dan kabaikan, akan menjadikan diri ini sebagai lukisan hidup yang mempesona. Demikian juga kesanggupan menggunakan bahasa yang baik dan santun akan dapat meningkatkan daya tarik dan dampak pesan yang meneyentuh hati, akan menjadikan diri ini sebagai lukisan hidup yang memikat, karena orang yang mampu mengungkapkan pemikiran dan perasaannya dengan bahasa yang indah dan bijak seringkali dapat memengaruhi orang lain.

Di samping budi pekerti dan bahasa, yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam menambah keindahan lukisan hidup adalah memakai busana yang pantas. Kepantasan dalam berbusana semakna dengan memantaskan diri  menjadi lukisan hidup di hadapan siapapun.

Dengan memadukan keindahan budi pekerti, keindahan bahasa, dan kepantasan berbusana, kita dapat menjadi seperti lukisan hidup yang elegan dan tentunya mempesona, karena keindahan budi, bahasa, dan busana merupakan unsur-unsur yang saling melengkapi dalam mewujudkan harmoni dalam kehidupan manusia.

Sebagai catatan akhir dari kolom hikmah ini, penting untuk kita renungkan, bahwa keindahan budi, bahasa, dan busana yang disinergikan dengan baik, akan menjadikan kita sebagai sebuah lukisan hidup yang memancarkan keindahan dari dalam dan luar diri. Ini tidak hanya menciptakan keindahan fisik, tetapi juga menciptakan daya tarik pada sikap yang bersumber dari nilai-nilai positif.

Penulis: adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram


0 Komentar