Di antara pilar dalam Islam yang diwajibkan kepada umat Islam adalah melaksanakan haji ke Baitullah (Makkah). Ibadah ini merupakan rukun kelima dalam Islam dan dilakukan jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Berikut penjelasan Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd (Wakil Rektor II Universitas Islam negeri (UIN) Mataram dalam tulisannya dengan tema “Al Hajju Arafah”
Menjadi Dhuyufullah atau tamu Allah (Dhuyufurrahman) bukanlah orang sembarangan, akan tetapi umat yang memang terpilih dari Allah dari sekian banyak hamba-Nya. Oleh karenanya menjadi tamu Allah harus memahami etika bertamu di Baitullah. Kata Allah, etika menjadi tamu Allah adalah berbekal taqwa, “Tazadwddu, fainna khairuzzadit taqwa”. Berbekallah, bekal terbaik (menjadi tamu Allah) adalah ketaqwaan.
Taqwa sebagai bekal itu tercermin pada tiga konsep moral, La rafatsa, la fusuqa dan la jidala. Sebagaimana firman Allah di surah al baqarah ayat 197, “Alhajju asyhurun ma’lumat, faman faradha fihinnal hajja, fala rafatsa, wala fusuqa, wala jidala fil hajji”. (Musim) hajji itu pada bulan-bulan yang ditentukan.
Barangsiapa mengerjakan (ibadah) hajji, dalam bulan-bulan itu, maka janganlah berkata jorok (rafatsa), maksiat (fusuqa), dan berbantah-bantahan (jidala) dalam melakukan ibadah hajji.
Sebagai tamu Allah harus menjaga diri dari tiga godaan tersebut, itulah etika bertamu selama berada di musim hajji. Jaga lisan untuk tidak berkata yang jorok dan porno, jaga diri untuk tidak berlaku maksiat dan dosa lainnya, dan menjaga diri untuk tidak bertengkar dan bantah-bantahan.
Kemudian hajji itu napak tilas dari tiga tokoh tauhid, yakni Nabi Adam AS, Ibrahim AS, dan Muhammad SAW. Pertama, Nabi Adam, diuji oleh Allah untuk tidak memakan satu buah pohon didalam surga yang diberi nama pojon khuldi, dan tatkala beliau melanggar sesuatu yang dilarang Tuhan untuk tidak memakan buah khuldi tersebut, maka Allah menghukumnya dengan cara memisahkan antara Nabi Adam dengan Siti Hawa kurang lebih selama 350 tahun lamanya, segtelah berpisah 350 tahun itulah baru dipertemukan di Arafah (di salah satu lembah gunung yang bernama (jabal Rahmah) sebagai wujud pengampunan Allah.
Itulah sebabnya dalam ritual hajji, kita harus bermunajat selama kurang lebih 6 sampai 7 jam di Arafah, khusus dalam aktivitas mengakui kesalahan di hadapan Allah, dan berharap agar Allah mengampuni kita, sebagai wujud napak tilas perjalanan Nabi Adam AS dan Siti Hawa yang mencari pengampunan selama 350 tahun dan arafah sebagai lambang pengampunan Allah baginya.
Kedua, Nabi Ibrahim AS diuji oleh Allah dengan memintanya untuk mengasingkan istri yang disayanginya (Siti Hajar) yang tengah mengandung putra yang ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun, diminta mengasingkan istrinya ke suatu tempat yang tandus dan tak berpenghuni. Sesampai disuatu tempat yang Allah tentukan, Ibrahim AS harus meninggalkan istrinya sendirian.
Siti Hajar bertanya, apakah engkau akan meninggalkanku sendirian di tempat ini wahai Ibrahim? Ibrahim menjawab iya—sambil membelakangi istrinya, karena Ibrahim saat itu sedang menangis terharu, Ibrahim tidak ingin memperlihatkan kesedihannya kepada istrinya. Pertanyaan yang sama diulang sampai 3 kali oleh Hajar, dan Ibrahim tetap menjawab iya seperti pada jawaban pertanyaan pertama. Lalu Hajar bertanya yang keempat kalinya, apakah ini perintah Allah wahai suamiku?, mendengar pertnyaan itu, Ibrahim langsung balik kanan menghadap istrinya dengan hati yang mantap tanpa sedih beliau menjawab, iya, ini perintah Allah jawab Ibrahim mantap. Ibrahim telah melihat bahwa istrinya telah memiliki iman yang setara dengan imannya untuk mampui berserah diri kepada Allah.
Ujian Ibrahim itulah yang kita napak tilasi dengan rangkaian Sa’i dan melontar tiga Jumrah. Maka dengan memahami latar sejarah inilah, kita pasti akan melakukan aktivitas hajji itu dengan penuh kekhsysukan.
Yang ketiga, Nabi Muhammad SAW diuji dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya yang tengah berada dalam praktik syirik dan kekafiran yang nyata, dan beliau harus mempertahankan kesucian ka’bah yang telah ternodai oleh perilaku jahiliah, beliau harus membersihkan ka’bah dari perilaku syirik, membersihkan ka’bah dari berhala orang-orang Kafir Quraisy dan mengembalikan keyakinan mereka kepada agama tauhid. Tantangan yang sangat berat itu yang harus kita napak tilasi dengan aktivitas mengambil miqat dan berthawaf mengelilingi ka’bah sebagai bentuk aktivitas menjaga kesucian ka’bah sebagai baitullah.
Kemudian Nabi Muhammad SAW merangkai ritual hajji itu dengan menempatkan titik-titik penting yang harus dikunjungi sebagai wujud napak tilas ketiga tokoh tauhid di atas.
Tatkala para hujjaj melakukan wuquf di Arafah, Allah memanggil para Malaikat, wahai para malaikat, lihatlah hambaku yang mana dahulu tatkala aku bercerita kepadamu akan menciptakan khalifah, kamu memperlihatkan ketidaksetujuanmu dengan alasan mereka akan melakukan pertumpahan darah dan membuat kerusakan. (Baca surah al baqarah ayat 30). Sekarang lihatlah!, kata Allah.
Maka tatkala kita sedang wuquf, karena aktivitas itu sedang disaksikan dan dibanggakan oleh Allah di hadapan para Malaikat, maka beraktivitaslah dengan aktivitas yang sesuai dengan tuntunan syariah, hanya 5 sampai 6 jam untuk mengakui kekhilafan dan kesalahan di hadapan Allah yang selama ini kita telah lakukan, jangan melakukan hal-hal di luar ketentuan syariah, karena saat itu Allah sedang membanggakan kita di hadapan para Malaikat. Seriuslah dan fokuslah untuk mengakui kekerdilan diri di hadapan-Nya.
Dengan demikian, maka apa yang dijanjikan Allah tentang hajji mabrur yang tak ada balasan lain kecuali surga akan dapat kita raih, tentunya melalui pelaksanaan aktivitas hajji dengan serius dan dengan ilmu yang disyariatkan oleh agama kita, dan untuk mencapai tingkat keseriusan dan kekhusyuan itulah kita harus memahami latar dari simbol-simbol pelaksanaan ritual ibadah hajji.
Penulis adalah : Guru Besar dan Wakil Rektor II UIN Mataram
0 Komentar