Mencapai “Mahabbah” Dalam Beribadah Oleh : Prof. DR. H. maimun Zubair, M.Pd


Memasuki Hari ke 23 Puasa Ramadhan, 1445 H/2024 M, Panitia Ramadhan Masjid Al Achwan tetap eksis melaksanakan serangkaian ibadah selama Bulan Ramadhan dengan berbagai kegiatan salah satunya Tausiah usai sholat subuh berjamaah.  

Kali ini, Panitia Ramadhan kembali menghadirkan Guru Besar UIN Mataram untuk menyampaikan ceramah terkait tingkatan level dalam beribadah yang terangkum dalam sebuah uraian dengan tema "Mencapai Mahabbah Dalam Beribadah”. 

Berikut materi lengkap ceramah yang disampaikan oleh Pro. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd., pada Rabu 03 April 2024 usai shoalat subuh berjamaah di masjid Al Achwan Griya Pagutan Indah Mataram,NTB. 

Ada empat level dari tingkatan ibadah yang kita jalankan dalam hidup ini; level terpaksa, level kewajiban, level kebutuhan, dan level mahabbah. 

Level terpaksa, apabila dalam menjalankan ibadah, seseorang merasa berat, merasa terbeban, dan bahkan menjalankannya pun tidak sepenuh hati alias tidak ada keikhlasan sama sekali. 

Level kewajiban, apabila dalam menjalankan ibadah, seseorang merasa masih berat sekalipun tidak seperti level terpaksa, artinya andai ada celah yang bisa mentolerir untuk tidak menjalankannya, maka dia pasti memilih untuk tidak menjalankan ibadah tersebut, masih lebih menang egonya ketimbang patuhnya. 

Level kebutuhan, apabila dalam menjalankan ibadah masih ada pamrih, seperti melaksanakan tahajjud karena ada keperluan yang harus Tuhan penuhi, melaksanakan shalat dhuha karena ingin mendapatkan banyak rizki, melakukan puasa karena ingin kurus (diet), dan sebagainya. 

Level tertinggi adalah Mahabbah, yakni menjalankan ibadah dengan sangat tulus tanpa ada tendensi apapun, dia beribadah semata-mata karena cintanya kepada Allah, sehingga ibadah yang dijalankan terasa sangat nikmat, sangat tulus, dan tentunya sangat Ikhlas.

Di dalam kalangan sufi, kenikmatan ibadah yang didapatkan dari rasa cinta kepada Allah itu, namanya Dzauq, yakni tatkala melakukan ibadah, dia merasakan ada kenikmatan yang tidak bisa diceritakan. Namanya pekerjaan yang dilandasi mahabbah (cinta) pasti terasa nikmat (Dzauq), karena orang cinta pasti akan memberikan sesuatu yang terbaik kepada yang dicintainya dan persembahannya pasti sangat tulus dan Ikhlas.

Keadaan yang dialami oleh para ahli ibadah yang lahir dari rasa cinta atau Dazuq itulah sesungguhnya yang dilatih oleh puasa selama satu bulan penuh. Bisa jadi di awal Ramadhan, kita mungkin berpuasa masih merasa malas-malasan, kemudian pada pertengahan puasa kita merasa melaksanakan ibadah hanya ingin melebur kwajiban. Pada pertengahan kedua dari puasa ibadah yang kita jalani dibersamai dengan adanya keinginan dan kebutuhan yang harus Tuhan penuhi (ada imbalan), dan pada akhir Ramadhan. 

Setelah melewati dua puluhan dari latihan yang kita jalani, kita harus sampai kepada titik mahabbah (Dzauq), kita harus merasakan bahwa ibadah puasa yang kita jalani saat ini sampai di penghujung Ramadhan harus sangat nikmat, tidak lagi menghitung jam untuk waktu berbuka, tidak lagi melihat jam tatkala tarawih, tidak lagi menghitung jumlah rakaat dari shalat tarawih yang masih tersisa, tidak lagi merasa bahwa imsak itu sangat cepat datangnya, dan sebagainya. Artinya, di penghujung Ramadhan ini, kita harus sudah sampai kepada level untuk benar-benar menjalankan seluruh ibadah dengan penuh kenikmatan.

Apabila kita sudah sampai kepada level mahabbah (Dzauq=kenikmatan) dalam melakukan ibadah, maka itqun minannar (terbebas dari neraka) itu sudah dapat kita raih, artinya surga bukan lagi dikejar, tetapi sebaliknya surgalah yang merindukan kita.

Sebagai penutup kultum, ada kisah dari seorang hamba yang sudah melampaui tingkatan Dzauq dalam aktivitas ibadahnya. Dikisahkan seorang laki-laki ahli ibadah yang tidak menemukan jodohnya sekalipun sudah berikhtiar maksimal, dia berusaha mencari dan mendekati beberapa orang tua gadis, tetapi tak satupun yang berhasil disuntingnya, akhirnya diapun munajat kepada Allah, wahai Tuhanku, jika jodohku bukan di dunia, karena Engkau mungkin telah menyiapkannya di Surga, maka mohon tunjukkanlah kepadaku siapakah dia dan di manakah tinggalnya.


Allah menjawab do’anya, kata Allah dalam mimpi pemuda itu, Jodohmu sudah Aku siapakan di syurga, namanya Fulanah binti Fulan di negeri Fulani. Dengan tidak disengaja, tiba-tiba beberapa hari kemudian ada undangan untuk mengisi kajian agama di wilayah Fulani, dan pemuda itu bertanya kepada para jamaah, adakah yang kenal dengan Fulanah binti Fulan di negeri Fulani ini?, tak seorang pun jamaah yang mengenal nama tersebut. 

Akhirnya beberapa hari lagi sang pemuda soleh itu mendapat jadwal kajian agama di wilayah yang lebih terpencil lagi di wilayah Fulani, di Tengah jamaah juga pemuda soleh itu menanyakan hal yang sama, adakah dari para jamaah yang mengenal Fulanah binti Fulan di negeri Fulani ini?, ternyata jamaah yang paling belakang mengatakan kenal ya syekh. Dia seorang gadis yang tidak pernah bergaul dengan siapapun, dia hanya menggembala kambing ke padang rumput setiap hari, dan sepulang menggembala tidak pernah keluar rumahnya.

Singkat cerita, pemudah soleh itu mendatangi rumah gadis yang bernama Fulanah binti Fulan di negeri Fulani. Sesampai di depan rumah gadis tersebut pemuda itu melihat kambing yang begitu banyak, dan pemuda itu melihat pula bahwa ada seekor singa yang hidup akur dengan kambing-kambing itu. 

Melihat pemandangan seperti itu, didalam hati pemuda itu bergumam, andai tidak ada berkah dan rahmat Allah kepada penghuni rumah ini, mustahil singa bisa bersahabat dengan kambing. Kemudian pemuda itu mengetuk pintu sang gadis sambil mengucapkan salam. 

Assalamu alaikum ya Fulanah binti Fulan, dari dalam rumah menjawablah gadis itu, waalaikum salam ya Fulan binti Fulan dari negeri Fulani, pemuda itu kaget karena sang gadis itu sudah tahu nama pemuda itu. 

Gadis itu kemudian mengatakan dari dalam rumahnya, pergilah engkau dari depan pintuku, nanti kita ketemu di syurganya Allah!. 

Baiklah kata pemuda itu, saya akan pergi asal engkau memberitahuku tentang amalan apa yang kamu lakukan, sehingga Allah begitu memuliakanmu?. 

Sang gadis solehah itu menjawab, baiklah akan aku beritahu kamu tentang amalanku. 

“Apabila aku merasakan udara sangat panas, aku tidak pernah berharap udara itu dingin. 

Apabila aku mendapatkan udara dingin, aku tidak pernah berharap udara itu panas. 

Apabila aku mendapati hujan, aku tidak pernah berharap kemarau. 

Apabila aku mendapati kemarau, aku tidak pernah berharap hujan. 

Apabila aku sakit, sakit, aku tidak pernah berharap sehat. 

Apabila aku sehat, aku tidak pernah berharap sakit. 

Apabila aku lapar, aku tidak berharap ada makanan. 

Apabila aku kenyang, aku tidak pernah membayangkan lapar. Aku menerima apa pun yang Allah takdirkan kepadaku tanpa ada rasa perlawan dar egoku”.

Rasa seperti yang ada didalam kisah tersebut di atas itulah sesungguhnya ingin dilatih oleh Allah kepada kita melalui syariat ibadah puasa di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam. (TIM)

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd hingga saat dipercaya ummat sebagai Ketua Umum Takmir Masjid Al Achwan Griya Pagutan Indah Mataram, NTB.


0 Komentar