Menyoal Kepala Daerah yang Terjerembab dalam “Kubangan” Korupsi


Tahun 2024 masyarakat NTB disuguhi kabar yang menyedihkan atas vonis 7 tahun penjara untuk eks walikota Bima H. Muhammad Lutfi yang terjerat korupsi. Putusan Hakim pengadilan Tipikor Mataram itu membuka lembaran hitam sekaligus menambah daftar panjang kasus korupsi kepala daerah di Indonesia.

BidikNews.net,Mataram - Sudah menjadi rahasia umum praktik rasuah yang mengemuka ibarat fenomena gunung es bahwa akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik. Mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik dan jual beli suara.

Menurut kajian sejumlah sumber yang dihimpun media ini menyebutkan, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 – 100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode. 

Modus yang digunakan sangat umum, mulai dari korupsi proyek pengadaan barang dan jasa, suap untuk menerbitkan izin dan juga jual beli jabatan. Sebagian besar tertangkap karena korupsi dalam proses pengadaan. Wajar saja, sektor pengadaan memang lahan basah korupsi karena anggaran yang dikucurkan sangat besar.

Kasus korupsi kepala daerah dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, tata kelola partai politik dan kebutuhan modalitas kontestasi elektoral. Kedua, lemahnya fungsi pengawasan, baik dalam praktik pengadaan barang, proses perizinan dan pengisian jabatan. Ketiga, rendahnya hukuman bagi pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera. 

Peneliti ICW, Tibiko Zabar dalam tulisannya melaui website Indonesia Corupsi Watch, 7 February 2022  menyebutkan sumber utama merebaknya korupsi tak berkesudahan oleh kepala daerah ada pada partai politik. 

Untuk mengatasinya, setidaknya dua upaya bisa diambil. Pertama, perbaikan tata kelola partai mulai dari kaderisasi hingga pendanaan partai politik. 

Yang disampaikan Tiboko Zabar ada benarnya, karena Partai tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Mencuatnya politik berbiaya tinggi acap kali terjadi karena partai tak ubahnya sebagai mesin pengumpul dana jelang pemilu.” Kata Tiboko Zabar

Alhasil, partai dikelola tidak demokratis, kader instan bermunculan dengan modalitas besar bisa menyingkirkan kader potensial dari internal partai.

Kasus korupsi seolah tak ada matinya di negeri ini. Satu belum tuntas, menyembul perkara baru. Ibarat serial telenovela nan menguras amarah dan air mata, begitulah yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kepala daerah di Indonesia.

Terakhir di NTB dihebohkan dengan vonis 7 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Mataram terhadap walikota Bima H. Muhammad Lutfi yang yang terherat korupsi pengadaan barang dan jasa.

Ditempat lain juga KPK melakukan tangkap tangan terhadap Wali Kota Bandung,Yana Mulyana terkait indikasi suap pengadaan kamera pemantau (CCTV) dan jasa penyedia jaringan internet di Kota Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya medio Maret silam, KPK menahan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat yang juga diduga korupsi. Syahdan, awal April lalu, KPK jua menangkap Bupati Kepulauan Meranti, Riau, M Adil disebabkan rasuah.

Tidak menutup kemungkinan KPK dalam kapasitasnya sebagai lembaga anti rasuah akan memproses  terhadap para kepala daerah yang terindikasi melakukan perbuatan korup di sejumlah daerah yang saat ini tengah disorot berbagai elemen masyarakat termasuk di wilayah NTB.

Tentu gebrakan KPK dalam perihal pemberantasan korupsi di negara ini termasuk pencegahan hadirnya pemimpin culas, pantas diapreasiasi tinggi. Deretan Kepala daerah terjerembap dalam ‘kubangan’ korupsi pun kian memilukan dan memalukan. 

Dari preseden buruk perkara-perkara Korupsi, para kepala daerah tersebut telah menyandera akal sehat politik rakyat via praktik korupsi. Mereka memotong hak rakyat agar mereka bisa hidup sentosa. 

Pertanyaannya, mengapa tindakan KPK tak jua menjerakan, padahal institusi ini sudah getol menggalakkan gerakan pencegahan korupsi? Penulis mensinyalir beberapa factor menjadi musababnya. 

Dosen Tetap Fakultas Syari’ah & Hukum, Yulianta Saputra, S.H., M.H. Prodi Ilmu Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam tulisannya melalui website Kampusnya, 27 April 2023 mengatakan beberapa factor yang mendorong para Kepala Daerah berbuat korup antara lain sebagai berikut :

Pertama, tak bisa dimungkiri ihwal itu imbas dari tuntutan mahalnya biaya politik. Maka, mereka harus memanfaatkan kans dan probabilitas selama menjabat tak hanya untuk mengembalikan segala biaya yang dikeluarkan, melainkan mesti untung agar bisa menyiapkan harta bagi terjaminnya hidup enak kala purnatugas serta guna persiapan menghadapi pertarungan politik berikutnya lantaran prinsipnya tak boleh kalah harta.

Kedua, ada asumsi bahwa tertangkap KPK hanyalah soal nasib karena praksis korupsi talah menjadi kebiasaan buruk hampir seluruh pejabat bangsa ini. 

KPK sendiri tak memiliki kantor di daerah, sementara pihak kepolisian dan kejaksaan yang dalam tupoksinya ada tugas pemberantasan korupsi masih dianggap bisa berkolaborasi, saling pengertian. Apalagi sudah jadi kerabat dalam forum pimpinan daerah. Dus, dianggap tahu sama tahu, kondisi ‘simbiosis mutualisme’ atau saling menguntungkan.

Ketiga, penjara bagi para koruptor sudah tak menakutkan lagi. Santer kita dengar dan mafhumi, di dalam lembaga permasyarakatan mereka dapat menikmati kehidupan biasa. 

Sudah seyogianya kerja serius dan sinergis KPK, PPTAK, KPU, juga Bawaslu dalam mengontrol mobilisasi ekonomi-politik para calon kepala daerah akan sangat membantu proteksi tahapan sakral pilkada dari bayang hitam politik koruptif yang menggurita.” tulis Yulianta Saputra, S.H., M.H.  

Diinsafi integritas pilkada dan kemenangan demokrasi akan muskil digapai jika elemen-elemen tersebut malah menggadaikan otoritasnya cuma demi tawaran kenikmatan sesaat. 

Pewarta: TIM



  


0 Komentar