Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd
Pernahkah kita memperhatikan satu kalimat pengingat saat kita berada didalam pesawat menjelang waktu take off ?, pramugari mengingatkan ”Jika oksigen tiba-tiba berkurang, maka pasanglah maskermu terlebih dahulu, baru membantu orang lain”. Prinsip ini berasal dari instruksi keselamatan dalam penerbangan, tetapi memiliki implikasi yang sangat luas dalam kehidupan kita. Kalimat tersebut sekilas terdengar biasa-biasa saja, namun bila direnungkan, kita akan menemukan makna filosofis yang sangat mendalam.
Inti dari kalimat ini adalah bahwa untuk bisa membantu orang lain dengan efektif, kita harus memastikan bahwa diri kita sendiri berada dalam kondisi yang baik dan stabil. Jika kondisi kita sedang tidak baik-baik, maka kemampuan untuk membantu orang lain akan sangat terbatas. Jika kita sendiri sedang mengalami stres, kecemasan, atau masalah emosional misalnya, kita mungkin tidak bisa memberikan bantuan yang efektif. Oleh karenanya, penting untuk menyeimbangkan dan menenangkan diri sebelum memberikan bantuan kepada orang lain.
Hakikat dari kalimat tersebut sesungguhnya pernah disuarakan nabi SAW dalam salah satu hadisnya yang cukup singkat namun penuh makna, ”Ibda’ binafsik”, yang berarti "Mulailah dari dirimu sendiri”. Dalam Islam, tazkiyah atau penyucian diri adalah langkah pertama yang harus diambil oleh setiap individu sebelum mereka bisa membantu menyucikan orang lain. Ini mencakup penyucian hati dari penyakit-penyakit batin seperti iri hati, kesombongan, dan dendam. Ini menunjukkan bahwa tindakan dan perilaku yang baik harus dimulai dari diri sendiri untuk memberikan contoh nyata kepada orang lain. Dengan kata lain, kita harus menjadi teladan sebelum bisa mengajak orang lain mengikuti jejak kita.
Jadi prinsip "Pasanglah maskermu terlebih dahulu sebelum membantu orang lain" dengan bercermin kepada "Ibda' binafsik" menekankan pentingnya memulai dari diri sendiri sebelum membantu atau mengajak orang lain terutama dalam ranah perbuatan baik. Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya introspeksi, keteladanan, dan tanggung jawab pribadi. Dalam ajaran Islam, ini bukan hanya sebuah nasihat praktis tetapi juga sebuah prinsip moral yang mendalam yang membentuk dasar bagi kehidupan yang bermakna dan berkontribusi positif kepada orang lain dan masyarakat.
Jika kita menggeret prinsip kalimat ” Pasanglah maskermu terlebih dahulu sebelum membantu orang lain" pada ranah kehidupan yang lebih luas, maka kita akan menemukan suatu yang harmoni dalam semua elemen kehidupan yang kita jalankan, dan ini penting untuk kita jadikan resep praktis yang tidak hanya berdampak positif bagi diri sendiri, akan tetapi berdampak posistif bagi hubungan kemanusiaan dan spiritual.
Tatkala kita berhadapan dengan keharusan untuk berbuat kebaikan misalnya, maka idealnya kita memulai dari diri sendiri, hal ini menekankan betapa pentingnya mengambil inisiatif untuk menjadi agen kebaikan dengan memulai dari perubahan dan tindakan positif pada diri sendiri. Luangkan waktu untuk merenung tentang tindakan dan sikap kita sehari-hari. Evaluasi apakah tindakan kita sudah mencerminkan nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran, integritas, dan kasih sayang.
Dengan memulai kebaikan dari diri sendiri, kita menciptakan fondasi yang kuat untuk perubahan positif dalam kehidupan kita sendiri dan sekitar kita. Tindakan kecil yang konsisten dan penuh komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan akan dapat berdampak besar terutama akan menginspirasi dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama, dan pastinya akan menciptakan lingkaran kebaikan yang terus meluas.
Kemudian tatkala ada hasrat untuk harus menilai orang lain, baiknya kita mulailah dari menilai diri sendiri, hal ini menggarisbawahi betapa pentingnya introspeksi dan refleksi diri sebelum membuat penilaian tentang orang lain. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa penilaian kita adil, objektif, dan tidak dipengaruhi oleh bias atau prasangka. Sebelum menilai orang lain, tanyakan pada diri sendiri apakah kita pernah melakukan hal serupa?, kesadaran ini akan membantu kita memahami kelemahan dan kekuatan kita sendiri?. Apakah kita pernah membuat kesalahan atau berada dalam situasi yang sulit?, karena pengalaman pribadi akan dapat membantu lebih efektif didalam upaya memahami orang lain.
Selanjutnya tatkala ada kecondongan untuk ingin mengevaluasi seberapa baik kinerja orang lain, mulailah dengan melihat kinerja diri sendiri, ini akan membantu memastikan bahwa penilaian kita adil, obyektif, dan bermanfaat. Tinjau pencapaian dan area yang perlu perbaikan dalam kinerja kita sendiri, apakah kita sudah mencapai target yang ditetapkan?, apakah ada keterampilan atau area yang perlu kita tingkatkan?. Dengan melihat kinerja diri sendiri terlebih dahulu, kita sesungguhnya telah membangun pondasi yang kuat untuk menilai kinerja orang lain dengan adil, obyektif, dan pastinya introspeksi ini akan membantu kita menjadi lebih empatik, mendukung, dan konstruktif dalam umpan balik terhadap diri kita sendiri dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif, produktif, dan kolaboratif.
Berikutnya, tatkala kita menemukan celah untuk harus menggibah orang lain, maka memulailah dari menilai diri sendiri terlebih dahulu sebelum berbicara tentang orang lain. Menggibah, menggunjing, atau berbicara tentang orang lain dengan cara yang negatif atau tidak adil, dapat merusak keharmonisan dalam hubungan sosial kemanusiaan. Sebelum berbicara tentang orang lain, tanyakan pada diri sendiri, mengapa kita ingin melakukannya?, apakah niat kita baik atau hanya ingin mencari kesalahan orang lain?. Pikirkan tentang tindakan dan sikap kita sendiri, apakah kita pernah membuat kesalahan yang serupa?. Cobalah untuk memahami situasi dan perasaan orang yang akan kita bicarakan, tentunya dengan penuh rasa empati, maka sesungguhnya kita dengan tidak sengaja akan membangun karakter yang kuat dan hubungan yang lebih baik dengan orang-orang di sekitar kita.
Begitu pula tatkala kita ingin membuat kesimpulan tentang orang lain, memetakan kondisi diri sendiri terlebih dahulu merupakan langkah penting yang sering kali terabaikan. Langkah ini menghadirkan kesadaran akan bias-bias yang mungkin kita miliki, terutama dalam upaya mengenali dan memahami emosi, pikiran, dan nilai-nilai pribadi. Setiap individu memiliki bias bawaan yang terbentuk dari pengalaman hidup, budaya, dan lingkungan sosial, yang dapat mempengaruhi cara kita menilai orang lain, hal ini sering sekali abai dan tidak kita sadari. Dengan memulai memetakan kondisi diri sendiri terlebih dahulu, kita bisa mengidentifikasi dan mengatasi bias tersebut, sehingga penilaian kita kepada siapapun menjadi lebih obyektif.
Melalui refleksi diri, kita bisa mengevaluasi apakah penilaian kita terhadap orang lain didasarkan pada fakta atau hanya persepsi subyektif. Misalnya, apakah kita menilai seseorang berdasarkan tindakan mereka yang sebenarnya atau hanya berdasarkan prasangka kita?. Pengalaman pribadi kita, baik positif maupun negatif, memiliki pengaruh besar terhadap cara kita menilai orang lain. Dengan memetakan kondisi diri sendiri, kita bisa mengenali bagaimana pengalaman masa lalu mempengaruhi penilaian kita, yang tentunya sangat membantu untuk tidak membuat kesimpulan yang tidak adil.
Sebagai catatan pinggir, sungguh apabila kita memulai segala sesuatu dari diri sendiri berarti kita sedang berproses untuk mendidik diri sendiri dalam menghindari sifat munafik, yakni menyerukan untuk perbuatan baik tetapi kita sendiri tidak melakukannya. Dalam Al-Quran kita diiingatkan agar tidak hanya memfokuskan pandangan kepada orang lain tetapi juga penting untuk internalisasi diri. ”Ata'murûnan-nâsa bil-birri wa tansauna anfusakum wa antum tatlûnal-kitâb, a fa lâ ta‘qilûn”. Mengapa kamu menyuruh orang lain untuk (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab suci?. Tidakkah kamu mengerti? (QS. Al Baqarah ayat 44).[]
Penulis: Adalah Wakil Rektor II UIN Mataram
0 Komentar