Hikmah Jum`at, 22 November 2024 |
"Ahbib habibaka yaumamma, asa an yakuna bagidhaka haunamma. Wabgidh bagidhaka yaumamma, asa an yakuna habibaka yaumamma." Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya, karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sewajarnya, karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi orang yang kamu cintai.
UNGKAPAN ini adalah nasihat bijak dari Ali bin Abi Thalib yang mengajarkan kita untuk bersikap moderat dalam mencintai maupun membenci, karena hubungan manusia dapat berubah seiring waktu. Dan makna hakiki dari pernyataan ini adalah sebuah pembelajaran tentang pentingnya keseimbangan dalam hubungan antar sesama, baik itu dalam cinta maupun kebencian.
Pesan yang dikandung adalah ingin memberikan pemahaman kepada kita bahwa perasaan manusia itu hal yang sangat dinamis dan bisa berubah kapan saja. Hal ini mengingatkan kita agar tidak terlalu terbawa perasaan didalam mencintai atau membenci seseorang. Cinta yang berlebihan bisa membuat kita kehilangan objektivitas dan menempatkan orang lain di atas segala-galanya, sementara kebencian yang mendalam bisa membutakan kita terhadap potensi kebaikan dalam diri orang lain.
Orang yang kita cintai hari ini bisa saja melakukan hal yang menyakiti kita di masa datang, atau sebaliknya orang yang kita benci hari ini bisa saja berubah menjadi sahabat atau teman di masa depan. Dengan demikian, janganlah kita terlalu terikat pada perasaan ekstrem yang kita miliki yang tumbuh pada saat dan masa tertentu, karena keadaan sewaktu-waktu bisa saja berubah.
Janganlah terjebak dalam perasaan yang berlebihan—terlalu cinta atau terlalu benci, karena hal itu bisa mempengaruhi sikap dan pandangan kita. Tidak ada yang absolut dalam perasaan ini. Oleh karenanya, kita disarankan untuk tidak memberikan perasaan secara ekstrem, baik dalam cinta maupun kebencian, karena hal ini bisa membawa kita pada kekecewaan yang lebih besar.
Penting untuk berempati dan berkemampuan untuk melihat orang lain dari berbagai perspektif. Seseorang yang kita benci mungkin memiliki alasan tertentu atas tindakannya, atau orang yang kita cintai pasti tidak selalu sempurna. Dalam kedua kasus tersebut, kedamaian hati datang dari kemampuan untuk memandang orang lain dengan penuh pengertian dan tanpa terlalu terikat oleh perasaan sementara.
Secara keseluruhan, statemen Ali bin Abi Thalib di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak mendekatkan diri atau menjauhkan diri dari orang lain secara berlebihan, tetapi untuk selalu bersikap bijak, seimbang, dan menerima perubahan dalam relasi yang kita bangun. Dalam hidup, kita harus siap dengan kemungkinan perubahan, baik itu dalam cinta maupun dalam kebencian, dan selalu menjaga hati agar tidak terbawa oleh perasaan yang berlebihan.
Cinta bisa membuat kita cenderung memandang orang yang kita cintai dengan pandangan idealis, terkadang tanpa melihat kekurangan atau kelemahan yang ada. Dan jika kita terlalu mencintai tanpa batas, kita mungkin akan kecewa atau terluka jika orang tersebut melakukan sesuatu yang menyakitkan. Begitu pula dengan kebencian—ketika kita terlalu membenci seseorang, kita sering kali kehilangan kemampuan untuk melihat secara objektif, bahwa jika suatu hari nanti akan berubah menjadi yang sangat baik.
Keseimbangan dalam kedua perasaan ini mengajarkan kita untuk tetap realistis, mengingat bahwa hubungan manusia itu tidak statis. Cinta yang sehat adalah cinta yang tidak mengabaikan kekurangan, dan kebencian yang bijak adalah kebencian yang tidak menghalangi kita untuk melihat kemungkinan terjadinya perubahan.
Keseimbangan mengajarkan kita untuk tetap menjaga jarak yang sehat dengan perasaan kita sendiri. Ketika kita mampu mencintai tanpa melampaui batas kewajaran, sungguh kita sedang memberi ruang bagi hubungan untuk berkembang secara sehat. Begitu pula dengan kebencian—kita dapat membenci tindakan atau perilaku seseorang tanpa harus membencinya sebagai individu. Ini memungkinkan kita untuk tetap objektif dan tidak terperangkap dalam perasaan yang bisa menghalangi kedamaian dan kenyamanan.
Perasaan yang seimbang dalam cinta dan kebencian mencerminkan hidup yang lebih bijak dan tidak terperangkap dalam emosi yang tak terkontrol. Dengan menjaga keseimbangan, kita dapat menghindari keputusan yang tidak dipengaruhi oleh perasaan kebencian yang mendalam atau cinta yang berlebihan, tetapi didasarkan pada pemahaman yang lebih luas dan pertimbangan jangka panjang.
Cinta yang berlebihan dapat menuntun kita pada penyesalan, sementara kebencian yang berlebihan dapat menghalangi kita untuk membuka hati. Dalam kehidupan yang seimbang, kita belajar untuk mencintai dan membenci dengan bijak, tanpa terjebak dalam perasaan yang bersifat sementara.
Pada tataran yang lebih luas, pernyataan Ali bin Abi Thalib di atas, juga mengajarkan kita tentang kewaspadaan dalam berinteraksi, terutama dalam relasi sosial dan politik. Persaingan, konflik, dan perbedaan pendapat sering kali memicu kebencian antar individu atau kelompok. Namun, ingatlah bahwa tidak ada kondisi yang permanen, apa yang kita anggap sebagai musuh hari ini bisa saja menjadi sekutu di masa depan, dan sebaliknya, yang kita cintai hari ini bisa berubah menjadi seseorang yang menyakitkan.
Sebagai catatan pinggir, penting bagi kita untuk senantiasa menjaga keseimbangan terutama dalam mengelola perasaan cinta dan kebencian. Hal ini sejalan dengan prinsip Al-Qur'an, yang mendorong kita untuk tidak terjebak dalam perasaan ekstrem dan untuk selalu bersikap bijaksana dalam hubungan antar sesama. ”
Yâ ayyuhalladzîna âmanû lâ yaskhar qaumum ming qaumin ‘asâ ay yakûnû khairam min-hum wa lâ nisâ'um min nisâ'in ‘asâ ay yakunna khairam min-hunn”.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengejek kaum yang lain, karena bisa jadi mereka (yang diejek) lebih baik dari mereka (yang mengejek), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok)-QS. Al Hujurat ayat 11.
Penulis : adalah Wakil Rektor II UIN Mataram
0 Komentar