Ilmu dan tahta merupakan dua unsur pelengkap kehidupan yang harus dimiliki dan dipegang oleh setiap individu. Ilmu bagi individu muslim maupun non muslim merupakan kebutuhan primer yang wajib dipenuhi dan dimiliki. Ilmu dapat diperoleh secara formal pada lembaga-lembaga pendidikan, maupun non/in formal. Ilmu diperoleh manusia secara individu sejak berada dalam kandungan ibunda hingga menjelang ajal menjemput.
TIDAK ada alasan yang menyebabkan orang tidak menuntut ilmu baik duniawi maupun ukhrawi. Al-Qur’an dan Al-Hadist secara tegas memerintahkan manusia baik secara individu maupun bersama menuntut dan memiliki ilmu. Dengan ilmu manusia akan bebas dari kebodohan, akan jauh dari kenestapaan dan kemiskinan materi, akan mengangkat harkat dan martabat manusia. Dengan ilmu melalui sarana akal dapat memikirkan, menata, memanfaatkan segala potensi sumber daya yang ada di alam semesta.
Sebaliknya dengan ilmu pula, manusia akan menjadi hina dina, miskin papa bahkan akan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Akal yang dimiliki tidak diarahkan untuk memanfaatkan ilmu yang dimilikinya, tidak mampu memilah dan memilih mana yang baik dan buruk, yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Hal ini terjadi bila ilmu yang dimiliki dimanfaatkan bukan pada tempatnya, dijalankan menurut kehendak nafsu, serta adanya sifat angkuh dan sombong karena berilmu.
Dengan ilmu yang dimilikinya ia bebas melaksanakan apa yang dikehendakinya, dipandang rendah dan hina orang yang tidak berilmu, bahkan dengan bangganya ilmu menjadi monopoli miliknya. Padahal ilmu itu bukan/tidak datang secara otomatis, harus dipelajari, harus dicari sumber-sumbernya, yang tentunya ada pihak lain yang memberikan kepadanya.
Ilmu yang baik bagi manusia akan menghantarkannya menjadi orang yang terpandang, berwibawa, memiliki derajat yang lebih, menjadi panutan dihormati dan segala yang disampaikan akan didengar dan dijalankan. Orang yang berilmu akan berpeluang mendapatkan tahta atau jabatan dengan menjadi seorang pemimpin, tidak hanya pemimpin internal yaitu memimpin diri sendiri maupun keluarganya, namun dapat menjadi pemimpin pada lingkup yang lebih luas.
Seorang yang berilmu tidak saja dapat memimpin pada tingkatan dasar namun dapat menempati pimpinan puncak terutama dalam sebuah organisasi, kelembagaan atau jenjang kepemimpinan dalam sebuah negara. Ilmu yang dimilikinya dapat diimplementasikan guna mengntarkan masyarakat yang dipimpinnya mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Orang berilmu akan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi sesuai dengan keahlian dan profesinya,
Kepiawaian orang berilmu diibaratkan ia sedang menakhodai sebuah bahtera. Berapa banyak yang kita saksikan sebuah bahtera yang digoncang oleh gelombang dahsyat mampu dijalani oleh nakhoda yang memiliki kepiawaian, keahlian dan professional dalam menjalani bahtera tersebut. Meskipun besar dan dahsyatnya goncangan ombak, ia tidak bingung, tidak patah semangat dan menyerah begitu saja. Diterapkannya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, ia memahami teknik dan cara-cara jitu yang dilakukan agar bahtera selamat dari hempasan ombak yang menggunung sekalipun. Ia tidak memberikan peluang kepada orang yang merasa panik dengan kondisi tersebut bahkan akan mengambil alih bahtera yang tengah dinakhodainya.
Itulah pertanda bahwa bahtera harus dijalankan oleh orang yang memiliki keahlian, keterampilan dan profesional di bidang pelayaran. Bahtera tidak mungkin dijalankan dan diperankan oleh orang yang tidak berilmu, tidak memiliki keahlian, tidak professional. Bahtera yang kecil maupun besar bukan dijalankan oleh orang yang dikarbit karena latar belakang tertentu, keturunan bangsawan, dan bukan pula dijalankan oleh orang yang sombong dan bangga bahkan berikrar mampu menjalaninya padahal belum teruji.
Meskipun sang nakhoda telah mengeluarkan segala ilmu pengetahuan yang dimilikinya, namun bahtera tetap goyang dan belum berhenti dari terjangan ombak besar. Ia menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang dimilikinya hanya sedikit. Ia tidak lupa bahwa masih ada Sang Pemilik Ilmu, Ia sadar dan tidak sombong terhadap kemampuan ilmunya. Ia selalu bersandar pada sumber segala sumber ilmu.
Firman Allah selalu diingatnya. “Bila sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula” (Al-Kahfi, 109).
Ia sadar meskipun memiliki ilmu dan keahliannya untuk menakhodai bahtera, namun ia tidak akan mampu menjalani tugasnya bila menjauh dari Sang Pemberi Ilmu Pengetahuan. Keahlian hanyalah cara untuk melaksanakan tugasnya agar tidak membawa penumpangnya tenggelam. Ia tidak ingin penumpang bahteranya menanggung akibat dan resiko yang sangat berat lantaran tidak memiliki keahlian dan profesional dalam mengemudikan bahteranya.
Dengan memiliki ilmu dan keahlian saja masih ditemukan kekurangan dan kelemahan, apa yang terjadi bila bahtera itu akan dinakhodai oleh orang yang tidak memiki ilmu, tidak memiliki keahlian dan tidak professional?. Maka berapa banyak penumpang yang tenggelam dan nyawanya pergi tanpa ada acara dan teknik untuk menyelamatkannya?
Disadari pula bahwa meskipun memiliki ilmu dan keahlian, jabatan dan tahta sebagai nakhoda merupakan amanah yang harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Ia menyadari bahwa bahtera yang dibawanya terdapat banyak penumpang yang ikut percaya dengan ilmu dan keahliannya. Ia harus menjaga amanah ini dengan baik agar para penumpang tiba dengan selamat di pantai tujuan. Ia harus menghantarkan penumpangnya dengan selamat, disertai senyum bahagia dan rasa senang karena telah sampai dan dapat melanjutkan aktivitas kehidupannya lebih lanjut.
Meskipun banyak halangan dan rintangan menyertainya, namun ia tetap istiqamah menjalankan tugasnya dengan baik dan bertawaqqal kepada Allah. Setiap saat setidaknya tiap melaksanakan sholat, ia selalu meminta kepada Allah SWT untuk memberikan petunjuk tetap berada pada jalan yang lurus. Doa itu diimplementasikannya secara nyata tatkala ia bertindak sebagai nakhoda sebuah bahtera atau mungkin sebagai pilot sebuah pesawat.
Ia tidak ingin tindakannya bertolak belakang dengan doanya meskipun peluang dan kesempatan sangat terbuka untuk dilakukan. Ada tiga modal pokok yang harus dimiliki bila menakhodai sebuah bahtera atau pekerjaan lainnya. Yaitu berilmu, memiliki keahlian (profesionalisme) dan amanah. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah SAW telah mengingatkan manusia agar dalam memilih dan mengangkat seseorang untuk menjadi pemimpin atau mengendarai sebuah bahtera atau kendaraan harus orang yang berilmu dan memiliki keahlian khusus. Ia harus professional disamping pengalaman dan kepiwaiannya juga harus amanah.
Rasulullah saw bersabda “apabila amanah disia-siakan, tunggulah kehancurannya. Seorang sahabat bertanya “ apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah ya Rasulullah? Rasul menjawab “ Apabila suatu pekerjaan atau jabatan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya (HR. Bukhari)
Rasulullah mengatakan apabila anda semua ingin hidup bahagia di dunia, maka berilah kepada orang yang berilmu dan ahli dan amanah dalam urusan sesuatu atau menjadi pemimpin. Dengan kepiawaiannya, berdasarkan latar belakang ilmu yang dimilikinya, serta adanya amanah yang dipikulnya, ia akan mampu menjalani kepemimpinannya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dengan ilmu dan keahliannya, ia akan mampu mengatasi segala permasalahan yang dihadapi. Dengan amanah yang diembannya, hasilnya akan dapat dinikmati secara bersama bukan khusus diri dan keturunannya meski dengan kadar yang berbeda.
Sebaliknya Rasul mengatakan, jangan engkau memberi kepercayaan atau amanah kepada seseorang yang tidak memiliki ilmu dan keahlian dalam menjalankan sesuatu, apalagi ia berikrar akan mampu. Akibatnya, engkau semua akan merasakan rugi, sengsara yang berkepanjangan, kenestapaan, ketidakadilan dan menyesal yang tidak akan pernah kembali lagi.
Ketika badai dan ombak besar menggoncangkan perahu dengan dahsyat, karena tidak memiliki ilmu, ia berusaha menyelamatkan diri dan keturunannya, dia tidak bertanggung jawab terhadap penumpang yang mengikutinya, dibiarkan untuk mengurus dirinya sendiri. Dia mencari keselamatan diri dan keturunannya dan membiarkan yang lain tenggelam atau terdampar pada daerah tak bertuan. Jika hal itu dilakukan dan tidak mengikuti yang disampaikan maka terimalah resiko yang engkau akan alami dan rasakan. Maka tunggulan kehancuran dan kebinasaan yang dirasakan.
Peringatan Rasulullah SAW ini menjadi pilihan bagi kita, apakah akan mengikuti atau tidak mengikutinya. Ilmu pengetahuan dan tahta memiliki hubungan searah dan tidak bertolak belakang. Yang memiliki ilmu dan ahli akan selaras dengan cara memimpin meskipun ia berasal dari golongan orang yang tidak berada dan tidak mampu. Menjadi pemimpin bukan hanya dilihat dari latar belakang golongan dan asal muasal keturunan namun persyaratan ilmu dan keahlian serta amanah menjadi pertimbangan utama.
Memberikan seseorang kepercayaan atau amanah untuk menjadi pemimpin jangan dilihat dari harta dan banyaknya uang yang dimiliki, namun syarat utama harus memiliki ilmu dan ahli dalam menata dan mengelola kuangannya. Memberi amanah bukan hanya dilihat dari kemahiran dan kefasihannya dalam bertutur, namun harus dilihat dari ilmu dan keahlian apa yang yang menjadi pijakannya.
Memberikan amanah atau kepercayaan kepada seseorang janganlah dilihat dari kegagahan, ketampanan dan kecantikannya, namun dilhat pula ilmu dan keahliannya dalam menempatkan diri ketika bergaul dan berkomunikasi dengan sesamanya. Dan memberikan kepercayaan dan amanah kepada seseorang janganlah dilihat dari kepemilikan ilmu dunia namun dilihat pula kemampuan ilmu dan keahliannya dalam bidang agama.
Jika semua itu terpenuhi dalam diri calon pemimpin, maka jangan ragu memilih dia, jangan bimbang untuk mendukung dia, jangan curiga untuk mengusung dia, jangan was-was atas prilaku dia, jangan ditanya tentang keadilan, karena ia akan mengkombinasikan kepentingan dunia dan akhiratnya. Karena dengan ilmu agamanya, ia memiliki ilmu akhlak, dia tidak akan menyimpang, tidak akan menipu, tidak akan berlaku dholim, tidak akan lari dari tanggung jawab, tidak akan korupsi dan semuanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Dia akan mampu menghantarkan orang yang dipimpinnya mencapai dan menikmati kesejahteraan hakiki yaitu di dunia dan di akhirat. Tentu dengan ilmu yang dimiliki, kita akan mengkaji, menelaah dan meneliti secara seksama keahlian dan kekurangan orang yang akan diberi kepercayaan. Maka berimulah sehingga kita akan selamat dunia dan akhirat, dan sebaliknya tanpa ilmu kita akan sengsara dunia dan akhirat.
Semoga kita semua mampu menjadi nakhoda baik diri sendiri, rumah tangga, instansi, organisasi bahkan dalam lingkup yang lebih luas. Semua orang dapat merasakan dan memanfaatkan ilmu yang kita miliki, keahlian dan profesionalime yang melekat pada kita serta amanah dan kepercayaan jabatah atau tahta yang diberikan. Rumah Tangga mardhatillah merupakan dambaan dan harapan bersama. Kita ikuti jalan lurus yang terus kita minta, jangan menyimpang atau kesasar terlebih bertolak belakang dari apa yang kita minta.
Penulis: Adalah
1. Akademisi dan Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram
2. Ketua Umum Rukun Keluarga Bima Pulau Lombok (RKBPL)
0 Komentar