Kata orang bijak, ”Kebencian bagaikan bara api yang menghabiskan energi orang yang melakoninya, karenanya jangan biarkan kebencian mencuri kebahagiaan kita”.
KEBENCIAN adalah emosi yang kuat dan bisa membahayakan diri sendiri. Ia tidak hanya menguras energi emosional, tetapi juga secara langsung memengaruhi fisik, mental, dan spiritual kita. Ketika kita membenci seseorang, tanpa sadar kita sesungguhnya sedang memberikan kekuatan kepada mereka yang kita benci, untuk mengendalikan banyak aspek dalam hidup kita—termasuk mengendalikan tidur, nafsu makan, tekanan darah, kesehatan, bahkan kebahagiaan kita.
Ironisnya, orang yang kita benci tidak mungkin tahu dengan perasaan kita, mereka menjalani hidup dengan tenang-tenang saja, sementara kita justru tersiksa oleh kemarahan dan dendam kita sendiri. Oleh karena itu, belajarlah melepaskan kebencian, bukan hanya soal memaafkan, akan tetapi tentang melindungi diri kita sendiri dari penderitaan yang kita bangun sendiri. Kata orang bijak, ”Kebencian bagaikan bara api yang menghabiskan energi orang yang melakoninya”.
Ketika kebencian menguasai hati, sebenarnya secara tidak sadar kita sedang meracuni diri kita sendiri. Emosi negatif ini tidak hanya berdampak pada mental, tetapi juga menyerang tubuh kita dalam berbagai bentuknya.
Kualitas tidur misalnya, akan terganggu oleh kebencian yang ada di dalam diri kita sendiri. Pikiran yang dipenuhi kemarahan akan membuat kita sulit untuk tidur dengan nyenyak, kita akan terus menerus memikirkan kejadian yang menyakitkan, membayangkan bagaimana melakukan balas dendam, atau hanya sekadar merasa gelisah oleh sebab kebencian terhadap orang lain bersemayam di hati. Akibatnya kita mengalami insomnia (sulit tidur) atau sering terbangun di tengah malam—kualitas tidur kita berpindah menjadi kekuatan pada orang yang kita benci.
Kebencian bekerja seperti racun yang merusak ketenangan jiwa. Kita mungkin terus mengulang kejadian menyakitkan dalam pikiran kita, akibatnya malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat berubah menjadi momen penuh kegelisahan dan kecemasan.
Ketika kita membenci seseorang, tubuh kita secara otomatis akan merespons dengan melepaskan hormon stres. Hormon ini yang membuat tubuh berada dalam kondisi siaga, yang seharusnya tubuh mulai rileks menjelang tidur, tetapi kebencian justru membuatnya tegang dan sulit beristirahat.
Demikian pula dengan pola makan, akan terganggu oleh kebencian yang bersemayam di dalam hati kita. Emosi negatif ini dapat memengaruhi pola makan, baik dalam bentuk kehilangan nafsu makan atau justru makan berlebihan sebagai pelampiasan.
Makanan bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga erat kaitannya dengan kondisi emosional kita. Saat kita bahagia, makanan terasa lebih nikmat, saat sedih, terkadang kita kehilangan selera makan, dan saat stres, kita bisa saja mengonsumsi makanan secara berlebihan tanpa kendali.
Emosi negatif—seperti stres, kebencian, kecemasan, atau kesedihan—dapat mempengaruhi pola makan kita dalam dua arah yang berlawanan; membuat kita kehilangan nafsu makan atau justru mendorong kita untuk makan berlebihan sebagai bentuk pelampiasan.
Selanjutnya kebencian juga dapat memicu terganggunya tekanan darah. Emosi bukan hanya sesuatu yang kita rasakan secara psikologis, tetapi juga memiliki dampak biologis yang nyata. Dalam ilmu kesehatan, saat kita marah atau membenci seseorang, tubuh kita merespons dengan melepaskan berbagai hormon stres, terutama kortisol dan adrenalin. Kedua hormon ini merupakan bagian dari sistem ketahanan tubuh yang dirancang untuk membantu kita menghadapi ancaman atau tekanan. Namun, ketika kemarahan dan kebencian terus berulang atau berkepanjangan, respons fisiologis ini justru dapat merusak tubuh kita sendiri—berubah dari hormon imunitas menjadi hormon yang meracuni.
Ketika kita mengalami kemarahan atau kebencian yang intens, hipotalamus (bagian otak yang paling penting yang fungsinya untuk menghubungkan sistem saraf di otak), mengirim sinyal ke kelenjar adrenal, yang berakibat sistem tubuh bisa mengalami kelelahan dan kerusakan. Maka berhati-hatilah dalam urusan membenci siapa pun, karena akan merugikan diri sendiri. Kata orang bijak ” Kebencian datang bukan karena kita tidak bisa memaafkan orang lain, tetapi kebencian datang karena kita tidak bisa memaafkan diri sendiri”.
Kebencian sering kali datang sebagai reaksi alami terhadap perlakuan buruk yang kita terima. Namun, tanpa kita sadari, kebencian itu sebenarnya belenggu yang menghalangi kita menikmati kebahagiaan. Saat kita terlalu sibuk membenci seseorang, perhatian kita terfokus pada rasa marah dan dendam, sehingga kita kehilangan kesempatan untuk merasakan kebahagiaan, kedamaian, dan hal-hal indah yang ada di sekitar kita.
Jangan biarkan kebencian mencuri kebahagiaan kita. Melepaskan kebencian bukan berarti kita membiarkan orang lain memperlakukan kita sesuka hati, akan tetapi ini tentang menjaga kendali atas hidup kita sendiri. ”wa lâ yajrimannakum syana'ânu qaumin ‘alâ allâ ta‘dilû, i‘dilû, huwa aqrabu lit-taqwâ wattaqullâh, innallâha khabîrum bimâ ta‘malûn". Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al-Ma'idah: 8)
Sebagai catatan pinggir, bahwa membenci seseorang tidak akan membuat mereka menderita, tetapi justru akan membuat diri kita sendirilah yang kehilangan kedamaian, kesehatan, dan kebahagiaan. Ingatlah bahwa ketika kita melepaskan kebencian, kita mengambil kembali kendali atas hidup kita—Kita tidur lebih nyenyak, makan dengan tenang, kesehatan terjaga, dan yang paling penting menjalani hidup dengan bahagia.
Kebebasan sejati bukanlah membalas dendam, tetapi mampu melepaskan beban hati untuk kehidupan yang lebih tenang. Mari kita memilih untuk mengisi hati kita dengan kedamaian, bukan kebencian. "laisa as syadidu bis shur`ati innama asyadidu man yamliku nafsahu `indal ghodlobi”. Orang yang kuat bukanlah yang menang dalam perkelahian, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya saat marah. (HR. Bukhari & Muslim).
Penulis: adalah Wakil Rektor II Univerditas Islam Negeri (UIN) Mataram
0 Komentar