DALAM pemikiran sufistik, Ramadan adalah perjalanan spiritual menuju pencerahan diri, seperti dalam konsep Ibn Arabi tentang "fana" (melebur dalam ketuhanan). Puasa adalah bentuk pelepasan ego untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi, mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada pemuasan materi, tetapi dalam kedekatan dengan Tuhan.
Sebagian besar orang mengaitkan kebahagiaan dengan pemenuhan materi: makanan lezat, kekayaan, kemewahan, dan kesenangan duniawi. Iklan dan media telah membentuk pola pikir kita, bahwa semakin banyak seseorang memiliki, maka ia akan semakin berbahagia. Namun kenyataannya, pemenuhan materi sering kali justru melahirkan rasa ketidakpuasan yang lebih dalam.
Ramadan hadir sebagai sebuah refleksi spiritual yang menantang persepsi itu. Bulan suci ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari pemuasan fisik, tetapi dari kedekatan dengan Tuhan. Melalui ibadah puasa, manusia belajar bahwa kepuasan material bersifat fana, sementara ketenangan dan kebahagiaan yang sejati adalah yang lahir dari hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan.
Ramadan mengajarkan manusia untuk melepaskan diri dari ilusi kebahagiaan. Melalui konsep menahan diri dari makan dan minum sejak fajar hingga matahari terbenam, seorang muslim belajar bahwa kebahagiaan itu tidak datang dari sekadar mengisi perut atau memuaskan hawa nafsu, tetapi dari sesuatu yang lebih mendalam—kesadaran akan makna hidup dan hubungan spiritual dengan Tuhan.
Puasa dalam bulan Ramadan bukan sekadar ibadah lahiriah, tetapi juga latihan jiwa untuk menemukan kebahagiaan sejati dan membebaskan manusia dari perbudakan nafsu. Saat seseorang lapar, ia menyadari bahwa tubuhnya memiliki keterbatasan dan tidak selamanya bisa bergantung pada dunia. Pelepasan dari keterikatan ini menciptakan ruang dalam diri untuk sesuatu yang lebih tinggi, yakni keterhubungan dengan Tuhan. Ketika seseorang mengalihkan fokusnya dari kepuasan fisik ke pencarian makna, maka ia akan menemukan kebahagiaan yang lebih mendalam.
Ramadan juga mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kelimpahan, tetapi dari kesederhanaan. Saat berbuka puasa dengan makanan yang sederhana, seseorang merasakan kenikmatan yang luar biasa meskipun hanya dengan sebutir kurma dan seteguk air. Ini membuktikan bahwa kebahagiaan bukan soal seberapa banyak yang dimiliki, tetapi bagaimana hati mampu mensyukuri apa yang ada.
Ramadan juga menyadarkan pelakunya bahwa kebahagiaan sejati sering kali datang dari memberi, bukan dari memiliki. Saat seseorang berbagi makanan dengan yang kurang mampu atau memberi sedekah kepada fakir miskin, ada rasa kepuasan dan kebahagiaan yang luar biasa. Ini adalah bukti bahwa kebahagiaan bukan sekadar tentang apa yang kita dapatkan, tetapi juga tentang apa yang kita berikan kepada sesama.
Kemudian malam-malam Ramadan juga dapat menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaan tidak berasal dari kesenangan duniawi. Orang-orang yang menghidupkan malam dengan qiyamullail, berdoa dengan penuh harap, dan menangis dalam sujudnya, akan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ini adalah kebahagiaan yang lahir dari cinta, dari keterhubungan yang mendalam antara manusia dan Rabb-nya.
Seorang hamba yang berhasil melewati Ramadan dengan kesungguhan dalam ibadah, akan menemukan dirinya berada dalam kondisi spiritual yang lebih tinggi. Artinya, Ramadan dapat menjadi jalan bagi setiap diri untuk mengalami transformasi batin yang membawa diri ini lebih dekat kepada hakikat tertinggi, yaitu cinta dan kehadiran Tuhan dalam hidup yang dijalani.
Sebagai catatan pinggir, dalam menyambut kedatangan Ramadan, penting kita renungkan bahwa Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga perjalanan spiritual (Rihlatun ilahiyah) yang membimbing orang-orang beriman menuju kebahagiaan sejati. Dalam perspektif sufistik, Ramadan adalah momentum fana'—meleburkan ego dalam kebesaran Ilahi—sehingga orang-orang beriman dapat terbebas dari ilusi kebahagiaan materi dan menemukan makna hidup dalam kedekatan dengan Tuhannya.
Puasa mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan berasal dari kelimpahan duniawi, melainkan dari kesederhanaan dan rasa syukur. Kesenangan fisik bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan spiritual yang diperoleh dari mendekatkan diri kepada Tuhan adalah abadi. Ramadan juga mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati itu yang lahir dari memberi—bukan dari memiliki, dari kesungguhan dalam ibadah—bukan dari pemuasan hawa nafsu.
Jadi, melalui refleksi dan disiplin spiritual selama Ramadan, kita akan mengalami transformasi batin yang membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. “Wa idzâ sa'alaka ‘ibâdî ‘annî fa innî qarîb, ujîbu da‘watad-dâ‘i idzâ da‘âni falyastajîbû lî walyu'minû bî la‘allahum yarsyudûn.” Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh petunjuk. QS. Al-Baqarah: 186.
Ayat ini menegaskan bahwa kebahagiaan sejati adalah hasil dari keterhubungan yang mendalam antara manusia dan Rabb-nya. Ramadan adalah jalan bagi manusia untuk menemukan kembali hakikat keberadaannya, melepaskan diri dari ketergantungan duniawi, dan merasakan kehadiran Ilahi dalam setiap aspek kehidupannya.
Penulis: adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
0 Komentar