DALAM kehidupan yang kita jalani, kita sering melihat fenomena di mana seorang merasa bahagia bukan karena keberhasilan atau kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi karena kegagalan atau penderitaan yang dialami orang lain.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu bersumber dari pencapaian pribadi, akan tetapi bisa berasal dari perbandingan sosial yang bersifat negatif—yang diistilahkan ”bahagia di atas penderitaan orang lain” dan menjadi ironi psikologis yang sering terjadi dalam kehidupan sosial.
Gejala semacam ini disebut sebagai mencuri kebahagiaan—sebuah metafora yang menggambarkan keadaan di mana seseorang merasa puas, lega, atau bahkan gembira atas kesusahan orang lain. Fenomena ini erat kaitannya dengan rasa; iri hati, dendam, dan dengki, yang dalam banyak ajaran moral dan spiritual dianggap sebagai penyakit hati.
Iri hati muncul ketika seseorang merasa tidak senang melihat orang lain mendapatkan sesuatu yang lebih baik darinya. Orang yang iri tidak selalu menginginkan kebahagiaan orang lain hilang, tetapi merasa terluka karena orang lain lebih unggul dalam hal tertentu.
Iri hati sering kali digambarkan sebagai api yang membakar dari dalam—sebuah perasaan tidak nyaman yang muncul ketika melihat orang lain mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Namun, yang sering tidak disadari adalah bahwa iri hati tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga merusak kebahagiaan diri sendiri.
Misalnya, seseorang merasa tidak nyaman melihat kesuksesan orang lain, dia mungkin tidak secara langsung berusaha mencelakakan orang, akan tetapi di dalam hatinya ada kegelisahan, ketidakpuasan, dan rasa ingin memiliki apa yang dimiliki orang lain.
Iri hati seakan menciptakan penjara mental, di mana seseorang terus-menerus membandingkan dirinya dengan orang lain. Akibatnya, kebahagiaan yang seharusnya bisa dinikmati menjadi tercederai, bukan karena keadaan eksternal, tetapi karena cara berpikir yang penuh ketidakpuasan. Kata orang bijak ”Perahu tidak karam karena air di luar perahu, tetapi karena air yang ada di dalam perahu”.
Dalam tinjauan psikologi, iri hati sering kali muncul akibat dari perasaan kurangnya harga diri dan ketidakmampuan untuk menerima diri sendiri. Di era media sosial, rasa iri semakin subur karena banyak orang membandingkan hidupnya dengan kehidupan “sempurna” yang dipamerkan orang lain di dunia maya.
“Dendam menghabiskan energi emosional yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal positif. Ketika seseorang dipenuhi dengan kebencian, pikirannya selalu sibuk dengan cara membalas atau melihat bagaimana agar orang yang menyakitinya menderita”
Namun, yang menarik, iri hati ini sering kali membuat seseorang secara tidak sadar mencuri kebahagiaan dirinya sendiri. Alih-alih menikmati apa yang dimilikinya, ia malah justru sibuk dengan rasa yang menyiksa akibat kebahagiaan yang didapatkan orang lain.
Kemudian ranah yang senada dengan iri hati adalah Dendam sebagai gejala yang dapat dikategori sebagai mencuri kebahagiaan, di mana dendam merupakan perasaan ingin membalas rasa sakit atau ketidakadilan yang pernah dialami. Ketika seseorang mendendam, ia tidak hanya ingin melihat orang lain menderita, tetapi ia juga merasa puas jika penderitaan itu terjadi.
Dendam sering kali dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap luka dan ketidakadilan yang diterima seseorang. Namun, tanpa disadari, dendam justru menjadi belenggu yang mencuri kebahagiaan dan ketenangan diri sendiri. Seperti api yang terus menyala, dendam menghanguskan hati dan pikiran, membuat seseorang terjebak dalam siklus kebencian yang tiada akhir.
Dendam adalah beban emosional yang mengikat seseorang pada masa lalu. Jangankan hidup di masa kini dan menikmati kebahagiaan yang ada, orang yang menyimpan dendam terus-menerus mengingat luka dan rasa sakitnya.
Bayangkan seseorang yang pernah dikhianati oleh sahabatnya. Jika ia terus menyimpan dendam, ia akan selalu mengulang kejadian itu dalam pikirannya, seolah-olah pengkhianatan itu masih terjadi berulang kali. Padahal, waktu terus berjalan, tetapi hatinya tetap terperangkap di masa lalu.
Dendam menghabiskan energi emosional yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal positif. Ketika seseorang dipenuhi dengan kebencian, pikirannya selalu sibuk dengan cara membalas atau melihat bagaimana agar orang yang menyakitinya menderita.
Namun ada ironi besar dalam dendam, inginnya mendapatkan kepuasan sejati, akan tetapi dendam justru memperpanjang penderitaan. Orang yang menyimpan dendam sering kali hidup dalam kemarahan, tidak pernah benar-benar tenang, dan terus membawa luka masa lalu ke dalam kehidupannya. Perasaan ini adalah bentuk lain dari mencuri kebahagiaan—karena kebahagiaan yang ia rasakan berasal dari penderitaan orang lain.
“Seseorang yang dengki tidak akan pernah merasa cukup, karena dalam persangkaanya, orang lain selalu lebih beruntung, sehingga kebahagiaannya sendiri menjadi ilusi yang tidak pernah tercapai. Rasa dengki menciptakan kegelisahan dan kecemasan”
Kemudian dalam ranah lainnya, gejala yang senada dengan iri hati dan dendam yang dapat di kategori sebagai bentuk lain dari mencuri kebahagiaan adalah dengki. Jika iri hati hanya sebatas keinginan memiliki apa yang dimiliki orang lain, dan dendam adalah keinginan membalas luka lama, maka dengki jauh lebih berbahaya, yakni perasaan tidak suka melihat orang lain bahagia dan berharap agar kebahagiaan orang itu hilang.
Dalam Islam, dengki dianggap sebagai salah satu penyakit hati yang paling merusak. ”Iyyakum walhasada fainnal hasada ya’kulul hasanati kama ta’kulun naralhatab”. Hindarilah sifat dengki, karena dengki dapat memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar. (HR. Abu Dawud).
Orang yang dengki tidak hanya mencuri kebahagiaan dari orang lain, tetapi juga menghancurkan kebahagiaannya sendiri. Mereka tidak bisa merasa damai selama orang lain yang mereka dengki masih bahagia. Akibatnya, hidup mereka dipenuhi dengan kegelisahan, kecemasan, dan bahkan kebencian yang terus-menerus.
Seseorang yang dengki tidak akan pernah merasa cukup, karena dalam persangkaanya, orang lain selalu lebih beruntung, sehingga kebahagiaannya sendiri menjadi ilusi yang tidak pernah tercapai. Rasa dengki menciptakan kegelisahan dan kecemasan. ”Laa tahasadu, wala tanajasyu, wala tabaghadu, wala tadabaru, wala yabi’ ba’dukum ala bai’i ba’din, wa kuunuu, ibadallahi ikhwana…” Janganlah kalian saling hasad, saling berbuat najasy, saling marah, dan saling mendiamkan. Dan janganlah kalian menjual di atas penjualan orang lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara…” (Muttafaqun alaih).
Sebagai catatan pinggir, bahwa kebahagiaan yang diperoleh dari penderitaan orang lain, yang dapat disebut sebagai ”mencuri kebahagiaan”, sebenarnya merupakan kebahagiaan semu yang justru menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri.
Fenomena seperti iri hati, dendam, dan dengki menunjukkan bahwa mencuri kebahagiaan bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga mengganggu ketenangan dan kebahagiaan serta mengurung pelakunya dalam lingkaran kegundahan.
Penulis : adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri ( UIN) Mataram
0 Komentar