Terbakar Di Bulan Ramadhan Sebuah Refleksi Ibadah, Oleh: Prof. DR. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

Kultum Subuh, 03 Ramadhan 1446 H / 3 Maret 2025

Sebelum kita berbicara Ramadhan, terlebih dahulu kita memahami makna sya’ban sebagai bulan yang ke delapan dalam kalender Hijriyah, yang berada di antara dua bulan istimewa: Rajab yang termasuk bulan haram, dan Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam. Nama Sya’ban sendiri berasal dari akar kata شعب  (sya’aba), yang berarti "menyebar" atau "berpencar". 

BidikNews.net,Mataram,NTB - Hal itu disampaikan Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd mengawali kultumnya dihadapan ratusan jamaah sholat subuh di Masjid Al Achwan Griya Pagutan Indah Mataram, NTB.

Dijelaskannya, Pada masa pra-Islam (Arab Jahiliyah), bulan Sya’ban dikenal sebagai waktu ketika suku-suku Arab berpencar untuk mencari sumber air – Gurun Arab yang gersang membuat air menjadi komoditas langka. Menjelang musim panas yang terik, mereka menyebar untuk mencari sumber air, baik dari sumur maupun mata air tersembunyi, guna bertahan selama bulan Ramadhan yang panas.

Kata Ramadhan (رمضان) berasal dari akar kata ramadha (رمض) yang berarti panas yang menyengat. Dalam bahasa Arab, ketika seseorang merasakan panas terik matahari, mereka menyebutnya "ramidat asy-syams" (رَمِضَتِ الشَّمْسُ), yang berarti matahari sangat menyengat. Ditambah dengan alif dan nun menjadi Ramadhan (رمضان) apabila panasnya lebih dari biasanya hingga membakar sesuatu yang kering. Kaitan makna ini dengan bulan Ramadhan sangat menarik, Ramadhan dimaknai sebagai bulan Pembakaran dosa-dosa.” Jelas Wakil Rektor II UIN Mataram ini.

Dalam satu riwayat yang dipercaya, bahkan dosa semenjak aqil baligh hingga saat melakukan ibadah puasa, semuanya ikut menjadi terbakar, seperti panas yang membakar dan mengeringkan tanah. Ramadhan adalah bulan di mana dosa-dosa manusia dibakar dan diampuni melalui ibadah puasa, tobat, dan amal saleh lainnya.” tutur Guru Besar UIN Mataram itu.

Pada siang hari, dosa-dosa umat yang beriman akan dibakar oleh Allah melalui perbuatan puasa yang dilakukan, dengan syarat ibadah dijalankan dengan sangat serius, yakin, dan sesuai dengan aturan dalam beribadah puasa. "Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan penuh pengharapan kepada Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini kata Prof. Maimun Zubair sekaligus menegaskan bahwa puasa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi merupakan sarana spiritual untuk mendapatkan pengampunan dosa dari Allah. Dalam ajaran Islam, dosa-dosa yang telah lalu dapat dihapus melalui ibadah yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesadaran akan Tuhan.

Yakni dengan dasar Imanan,” kata Maimun, Puasa harus dilakukan dengan keimanan yang kuat, dengan meyakini bahwa puasa adalah perintah Allah yang wajib dilaksanakan. Kemudian dengan Ihtisaban, puasa harus dilakukan dengan penuh harapan akan pahala dari Allah, bukan karena alasan duniawi seperti diet atau kebiasaan. Ihtisab berarti seseorang mengharap ridha Allah dan bersabar dalam menjalankan ibadah.” terang Prof. Maimun.

Prof. Maimun Zubair juga menjelaskan Pembakaran dosa tidak hanya dilakukan oleh Allah kepada orang beriman pada siang hari, akan tetapi juga pada malam hari. "Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini tidak hanya berbicara tentang puasa, tetapi tentang menghidupkan malam di bulan Ramadhan (man qāma Ramadhān). Ini menunjukkan bahwa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga momentum untuk memperbanyak ibadah, terutama qiyamullail.” jelas Maimun.

Prof. Maimun Zubair menyampaikan, Menghidupkan malam-malam Ramadhan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: Mendirikan shalat malam (qiyāmullail), terutama shalat tarawih, memperbanyak dzikir dan doa, memperbanyak membaca dan merenungi Al-Qur’an, bersedekah dan berbuat baik kepada sesama, dan memperbanyak istighfar dan taubat kepada Allah.” katanya.

Pada kesempatan itu, Prof Maimun mengatakan, Jadi Ramadhan yang bermakna membakar bukan sekadar fenomena fisik, tetapi lebih kepada proses transformasi jiwa. Seperti api yang menghilangkan kotoran dari emas, Ramadhan membakar dosa-dosa, hawa nafsu, dan keburukan dalam diri, sehingga pada akhirnya manusia keluar dari bulan ini lebih suci, lebih bersih, dan lebih dekat dengan Allah SWT.

Dikahir kultumnya, Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd menyampaikan sebuah kisah menarik dari sahabat Nabi bernama Thalhal bin Ubaidillah. 

Thalhal bin Ubaidillah menceritakan, “Saya melihat dalam mimpi, waktu itu saya berada di pintu surga, dan kedua sahabat yang meninggal itu pun berada di sana. Tak lama kemudian, seseorang muncul dari dalam surga kemudian mempersilakan sahabat yang meninggal satu tahun kemudian setelah sahabat yang mati syahid untuk memasuki surga terlebih dahulu, sedangkan sahabat yang mati syahid dibiarkan menunggu.

Beberapa lama kemudian, barulah muncul orang yang mempersilahkan sahabat yang mati syahid itu masuk surga, sambil berkata kepadaku, “Sekarang bukan waktumu masuk surga, pulanglah kamu.”

Pagi harinya kuceritakan peristiwa dalam mimpi itu kepada orang-orang. Semuanya merasa heran, mengapa si syahid masuk surga lebih belakangan, padahal seharusnya dialah yang lebih dahulu.

Mendengar hal itu Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah ia telah mengerjakan shaum selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan sebelum dia meninggal?” Kami menjawab, “Benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Perbedaan di antara keduanya bagaikan langit dengan bumi.” Wallahu a’lam,” terang Wakil Rektor II UIN Mataram itu mengakhiri kultumnya.

Pewarta: Dae Ompu


0 Komentar