ALKISAH, Presiden Gonzales dari sebuah "Republik Pisang" di Amerika Latin sangat tidak populer. Pada suatu hari ia bertamasya keliling ibu kota, dengan berkendaraan kuda. Ketika akan menyeberangi sebuah jembatan, kuda yang dinaikinya terkejut melihat derasnya arus sungai di bawah jembatan itu. Presiden Gonzales terjatuh dari kudanya ke dalam sungai, dan dihanyutkan oleh arus deras tanpa dapat ditolong oleh para pengawalnya.
Namun, setelah hanyut sangat jauh, ia ditolong oleh seorang pengail ikan yang pekerjaannya setiap hari mengail di tempat itu. Dengan rasa terima kasih sangat besar, sang Presiden mengenalkan kepada pengail miskin itu siapa dirinya, dan betapa besarnya jasa pengail itu kepada negara, dengan menolong dirinya. Ditanyakannya kepada pengail tersebut, apa hadiah yang diinginkannya sebagai imbalan atas jasa sedemikian besar itu. Dengan kelugasan orang kecil, pengail itu menjawab: "Satu saja Paduka. Tolong jangan ceritakan kepada siapa pun bahwa sayalah yang menolong Paduka."
Jawaban singkat dari nelayah tersebut tampak sederhana, namun membawa makna yang sangat mendalam. Sang nelayan tidak menginginkan harta, jabatan, ketenaran, ataupun sanjungan. Ia hanya ingin tindakannya tetap tersembunyi, lepas dari sorotan dan pujian dunia. Ini adalah ekspresi tulus dari kebaikan murni — kebaikan yang tidak mencari keuntungan pribadi, kebaikan yang berdiri sendiri karena itu memang benar untuk dilakukan, bukan karena imbalan atau pujian.
Dalam kehidupan, sering kali kita menemui orang yang ingin tampak baik, merasa perlu menonjolkan keburukan orang lain sebagai pembanding, demi terlihat baik atau mulia. Mereka berpikir, jika bisa menunjukkan cacat orang lain, maka otomatis dirinya akan tampak lebih bersih, lebih hebat. Alih-alih memantaskan diri dengan perbuatan yang tulus, ia justru memilih jalan pintas dengan menyoroti keburukan orang lain sebagai pembanding.
Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd
Mereka berpikir bahwa dengan mengungkapkan kelemahan, kesalahan, atau cacat orang lain, maka dirinya otomatis akan tampak lebih bersih, lebih pintar, atau lebih mulia. Seolah-olah kemuliaan itu dapat diraih bukan dengan membangun keunggulan diri, melainkan dengan meruntuhkan martabat orang lain.
Kisah sang nelayan di atas memberi pelajaran kontras, bahwa kebaikan sejati tidak lahir dari membandingkan atau menghakimi orang lain.
Kebaikan yang murni justru lahir dari keikhlasan, dari kemampuan melakukan sesuatu yang benar tanpa menuntut pengakuan dan tanpa menginjak-injak nama orang lain, sang nelayan tidak mengutuk ketidakmampuan para pengawal, tidak pula menggunakan pertolongan itu untuk mempermalukan presiden yang malang, dan tidak juga mencari-cari kelemahan untuk membesarkan dirinya sendiri.
Ia hanya melakukan kebaikan, lalu memilih untuk diam — karena bagi orang yang benar-benar baik, kebaikan itu sudah menjadi bagian dari dirinya, bukan alat untuk membanggakan diri atau menghakimi orang lain.
Dalam teori psikologi ada satu konsep yakni ”defensive self-enhancement” yakni membangun gambaran diri secara positif dengan mendefinisikan orang lain secara negatif. Di dalam kehidupan sosial, ada mekanisme batin yang bekerja di balik perilaku, di mana seseorang ketika merasa tidak cukup percaya diri atas kualitas dirinya, ia cenderung mencari "cermin pembanding" yang lebih buruk, supaya dalam bayangannya, dirinya terlihat lebih baik.
Perilaku ini biasanya berakar dari ketidakmampuan untuk berproses menjadi lebih baik, sehingga memilih jalur mudah; merendahkan orang lain, kebutuhan pengakuan eksternal yang tinggi tanpa didukung kekuatan karakter internal, dan ketakutan terhadap kegagalan yang membuatnya lebih sibuk mencari kekurangan orang lain daripada memperbaiki diri sendiri.
Patut rasanya kita bercermin pada lilin, bahwa "Lilin tidak perlu meniup lilin lain untuk tetap bersinar." artinya untuk bercahaya kita cukup menjadi terang sendiri — tanpa harus memadamkan cahaya orang lain.
Filosofi lilin ini tampak sebagai nasihat moral biasa, akan tetapi jika direnungkan lebih mendalam, ia mengandung kearifan luar biasa tentang bagaimana kita seharusnya membangun diri di tengah kehidupan sosial yang penuh persaingan.
Dalam filosofi ini, lilin adalah lambang diri — sosok yang memiliki potensi untuk menyinari sekitarnya. Cahaya dari lilin melambangkan kualitas baik dalam diri seseorang, seperti kejujuran, kebaikan, kepandaian, kasih sayang, kepemimpinan, dan atau talenta apa pun yang kita miliki.
Lilin menyala bukan untuk mengalahkan lilin lain, akan tetapi ia menyala karena itu memang fitrahnya — menjadi sumber cahaya. Demikian juga manusia, kita diciptakan untuk menghidupkan potensi diri, untuk memberi manfaat, untuk menerangi sekitar dengan kebaikan kita, tanpa merasa perlu memadamkan kilau orang lain.
Dalam dunia yang serba kompetitif saat ini, godaan untuk menganggap orang lain sebagai pesaing — bahkan musuh — begitu besar. Akibatnya, banyak yang berpikir bahwa untuk terlihat hebat, harus membuat orang lain tampak kecil, untuk tampak bersinar harus memadamkan lilin lain terlebih dahulu.
Tetapi, jika itu yang kita lakukan, maka secara tidak sadar sesungguhnya kita sedang mengukir kegagalan permanen untuk diri kita sendiri, karena lilin yang sungguh kuat tidak takut dengan banyaknya cahaya di sekitarnya, sebab ia tahu bahwa cahayanya sendiri sudah cukup untuk menegaskan keberadaan dirinya, dan ia memahami bahwa semakin banyak cahaya, semakin teranglah dunia ini.
Sebagai catatan pinggir, bahwa di dunia yang penuh kompetisi saat ini, kekuatan sejati bukanlah mengalahkan sesama, melainkan bertumbuh bersama, saling menerangi, dan memperkaya kehidupan satu sama lain. Maka, marilah kita menjadi lilin yang terus menyala dengan ketulusan, membagikan sinar kebaikan tanpa merasa terancam, dan bersama-sama menciptakan dunia yang lebih hangat, lebih terang, dan penuh dengan harapan.
Yakinlah, pada akhirnya keunggulan diri yang sejati bukan terletak pada siapa yang paling bersinar, melainkan pada siapa yang mampu menjaga cahayanya sendiri agar tetap hidup — menerangi jalan bagi banyak jiwa yang lain. Dan kemuliaan sejati bukanlah apa yang dikatakan orang tentang kita, melainkan apa yang tetap kita lakukan walaupun tidak ada satu pun orang yang melihatnya.
Penulis: adalah Wakil Rektor 2 Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
0 Komentar