Makna Kurban sebagai Ritme Kosmik, Oleh: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd        Hikmah Jum'at, 13 Juni 2025

Kurban merupakan ritual yang menyimpan makna simbolik yang mendalam tentang kedekatan manusia kepada Tuhan, pelepasan ego, dan harmonisasi kehidupan. Kurban adalah bagian dari denyut keteraturan semesta yang menekankan timbal balik, keseimbangan, dan keberlanjutan.

Seminggu yang lalu masih segar dalam ingatan bagaimana seluruh umat Islam sedunia melaksanakan ibadah kurban, salah satu syariah dalam Islam yang perintahnya senafas dengan ayat tentang salat, fasollilirabikka wanhar, maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (QS. Al-Kautsar : 2). 

Artinya Salat menjadi simbol komunikasi vertikal—hubungan manusia dengan Tuhan, dan kurban sebagai manifestasi pengabdian yang bersifat horizontal—berbagi kepada sesama dan lingkungan. Jadi keduanya merepresentasikan ketundukan dan cinta, bukan sekadar perintah formal.

Kurban merupakan ritual yang menyimpan makna simbolik yang mendalam tentang kedekatan manusia kepada Tuhan, pelepasan ego, dan harmonisasi kehidupan. Dalam konteks ritme kosmik, kurban adalah bagian dari denyut keteraturan semesta yang menekankan timbal balik, keseimbangan, dan keberlanjutan.

Dalam kesadaran spiritual yang lebih dalam, kurban merupakan aktivitas mulia yang menyatu dalam irama semesta (ritme kosmik), di mana alam semesta bekerja dengan pola dan keteraturan yang seimbang—siang dan malam bergantian, musim datang dan pergi, dan kehidupan bergerak dalam siklus lahir, tumbuh, mati, dan terlahir kembali. Dalam tatanan ini, kurban muncul sebagai aksi simbolik dan aktual yang merefleksikan timbal balik antara manusia dan semesta.

Manusia sebagai bagian dari alam, menerima keberkahan dan rezeki dari bumi, namun tidak cukup hanya menerima—ia harus terpanggil untuk memberi kembali. Di sinilah kurban memancarkan makna terdalamnya, pengorbanan sebagai bentuk pengembalian, sebagai syarat keseimbangan dan keberlanjutan. Ketika seseorang berkurban, ia sedang melepaskan sebagian dari yang ia miliki demi kemaslahatan yang lebih luas, sebagaimana alam pun terus memberi—air, udara, tanah—tanpa pamrih.


Lebih dari itu, kurban menjadi tanda bahwa kehidupan tak dibangun atas kepemilikan, melainkan atas pengorbanan. Dalam denyut kosmik itu, setiap unsur saling memberi dan menerima—pohon menyerap karbon dan memberi oksigen, laut menyerap panas dan memberi kesejukan, dan manusia seharusnya pun ikut dalam pola sakral itu, menyembelih ego, menyerahkan yang terbaik, dan menjaga keberlangsungan harmoni sosial dan ekologis.

Dengan demikian, kurban bukanlah tindakan sesaat, tetapi ritus yang mengingatkan kita akan posisi kita dalam jaringan kehidupan—sebagai penjaga, bukan penguasa; sebagai pemberi, bukan hanya penerima. Kurban mengajarkan bahwa keseimbangan dan keberlanjutan semesta terjaga bila manusia rela memberi tanpa mengharapkan imbalan duniawi, mengikuti denyut alam yang tak pernah berhenti mengorbankan diri demi kehidupan.

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail (QS. Ash-Shaffāt: 102–107) mencerminkan tindakan penyerahan total kepada kehendak Tuhan. Momen kurban adalah peristiwa transenden yang menyentuh sisi terdalam eksistensi manusia, “ inna hâdzâ lahuwal-balâ’ul mubîn”, Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (QS. Ash-Shaffāt [37]: 106).

Makna kurban dalam sejarah menunjukkan bahwa kosmos memiliki dinamika pengorbanan; tidak ada kehidupan tanpa kematian, tidak ada penciptaan tanpa pelepasan. Pernyataan ini menyiratkan suatu kearifan dengan melihat kurban bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi sebagai refleksi dari dinamika kosmis—sebuah hukum universal yang bekerja dalam segala aspek kehidupan.

Dalam sejarah dan mitologi berbagai tradisi, kurban selalu menjadi jembatan antara yang fana dan yang kekal. Dalam konteks Islam, misalnya, kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya tentang ujian ketaatan, tetapi tentang kesediaan melepas sesuatu yang dicinta demi sesuatu yang lebih tinggi. Di titik inilah kurban menjadi simbol dari hukum kosmos: pengorbanan adalah syarat terciptanya keseimbangan.

Dalam alam semesta, setiap proses kehidupan melibatkan kematian sebagai bagian tak terpisahkan. Tumbuhan yang tumbuh dari benih, membutuhkan benih itu untuk “mati” agar kehidupan baru bisa muncul. Setiap makanan yang kita konsumsi adalah hasil dari ”kematian”—entah tanaman atau hewan. Maka, kehidupan berhutang pada kematian. Ini bukan tragedi, tapi ritme alami yang menciptakan kesinambungan.


Segala bentuk penciptaan membutuhkan pelepasan, seorang seniman harus ”melepas” ego, waktu, dan tenaga untuk melahirkan karya, seorang ibu harus “melepas” kenyamanan tubuhnya selama kehamilan untuk menciptakan kehidupan baru. 

Begitu juga dalam pendidikan; guru yang mencipta generasi bukan hanya menambahkan pengetahuan, tapi ”melepas” ego ingin dihormati, menggantinya dengan kerendahan hati untuk belajar bersama murid. Ini mengajarkan bahwa mencipta bukan sekadar menambahkan, tapi justru meniadakan sesuatu dalam diri untuk memberi ruang bagi yang baru.

Dalam dunia modern, penciptaan sering kali diartikan sebagai proses menambahkan sesuatu—menambah ilmu, karya, prestasi, atau materi. Namun, kurban justru membalik paradigma itu, penciptaan yang sejati lahir dari proses pelepasan, bahkan “kematian” dari sesuatu yang lama agar yang baru bisa tumbuh.

Filsuf Jepang, Kitaro Nishida berbicara tentang konsep “mu” (kehampaan) sebagai sumber dari segala penciptaan. Dalam ruang kosong, sesuatu yang baru bisa tumbuh. Konsep ini sangat selaras dengan makna spiritual kurban: ketika manusia mengosongkan ruang batinnya dari ego, nafsu, dan keterikatan, maka akan terbuka ruang untuk kesadaran baru, cinta yang lebih murni dan hubungan yang lebih jernih dengan Tuhan.


Dalam Islam, pelepasan ini tercermin dalam pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail, yang menunjukkan bahwa dengan melepaskan, manusia justru menyambut anugerah Ilahi. Al-Qur’an menyiratkan makna ini dalam ayat ”Lan tanâlul-birra ḫattâ tunfiqû mimmâ tuḫibbûn, wa mâ tunfiqû min syai’in fa innallâha bihî ‘alîm”, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…” (QS. Ali ‘Imran: 92).

Ayat ini menunjukkan bahwa melepaskan yang dicintai (sebagai bentuk kurban) adalah jalan menuju kebajikan sejati. Maka, kurban bukan tentang kehilangan, tetapi tentang membuka ruang—ruang spiritual tempat kelahiran kesadaran baru.

Sebagai catatan pinggir, bahwa kurban bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan simbol spiritual yang merefleksikan hukum kosmik tentang kehidupan dan penciptaan. Ia mengajarkan bahwa kehidupan dan keseimbangan semesta hanya dapat terjaga melalui pengorbanan, pelepasan ego, dan keterhubungan dengan ritme alam.

Makna terdalam dari berkurban adalah kesediaan melepaskan yang dicinta demi sesuatu yang lebih tinggi dan abadi. Dalam proses penciptaan sejati, seseorang tidak cukup hanya menambahkan, tetapi harus mengosongkan ruang batin. Dan Kurban menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan, jembatan antara pribadi dan semesta, dan panggilan untuk menjadi bagian dari harmoni kosmis.

Penulis: adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram


0 Komentar