. Hikmah Jumat, 27 Juni 2025
Tahun Baru Islam yang bermula dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah bukan sekadar momen keagamaan bagi umat Islam, tetapi menyimpan pesan kemanusiaan yang bersifat universal, demikian pesan moral Bapak Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA dalam acara Car Free Day Syiar Muharram 1447 H di Jalan Tamrin pada Ahad 22 Juni 2025.
Hijrah merupakan simbol transformasi—sebuah perjalanan spiritual dan sosial dari keterbatasan menuju kebebasan, dari ketakutan menuju harapan, dari tekanan menuju ruang kehidupan yang lebih damai dan bermartabat.
Dalam perspektif yang lebih luas, hijrah adalah gambaran tentang keberanian manusia untuk berpindah dari keadaan lama yang penuh tantangan menuju kehidupan yang lebih baik.
Ini adalah refleksi tentang pentingnya mengambil langkah perubahan ketika kondisi tidak lagi adil, manusiawi, atau memberi ruang bagi pertumbuhan. Maka semangat hijrah ternyata bukan hanya milik Muslim, tetapi milik semua manusia yang merindukan dunia yang lebih adil, damai, dan penuh kasih sayang.
Hijrah itu sebuah lompatan jiwa dan kesadaran, bahwa dalam setiap fase kehidupan, manusia kerap kali dihadapkan pada kondisi yang stagnan, menekan, atau bahkan menyesakkan.
Hijrah mengajarkan bahwa bertahan dalam kenyamanan semu atau keterpurukan yang membelenggu bukanlah pilihan yang bijak, diperlukan keberanian moral dan spiritual untuk mengambil langkah keluar—meninggalkan zona lama, dan menapaki jalan baru yang belum tentu mudah, tetapi membawa harapan.
Hijrah mencerminkan optimisme dan daya hidup, bahwa setiap manusia punya potensi untuk berubah, untuk tumbuh, dan untuk memperbaiki diri. Ia adalah proses transformatif, di mana nilai-nilai lama yang tidak relevan digantikan dengan orientasi hidup yang lebih bermakna. Dalam konteks ini, hijrah bukan hanya milik Nabi dan para sahabatnya, tapi milik setiap orang yang ingin menjadi lebih baik dari hari kemarin.
Dalam dunia yang terus berubah, semangat hijrah menginspirasi kita untuk tidak pasrah pada nasib, tetapi menjadi pelaku perubahan, ia mengajarkan bahwa perubahan tidak selalu mudah, namun selalu mungkin. Maka setiap langkah hijrah—sebesar atau sekecil apa pun—adalah bentuk keberanian, harapan, dan kemenangan atas diri sendiri.
Hijrah juga mengajarkan nilai solidaritas lintas iman dan kemanusiaan. Saat Nabi tiba di Madinah, beliau tidak hanya membangun masjid, tetapi juga membangun masyarakat inklusif—mengikat perjanjian damai antara kaum Muslim, Yahudi, dan kelompok lain dalam Piagam Madinah. Itu menjadi pelajaran penting bahwa perbedaan bukan alasan untuk perpecahan, tetapi kekuatan untuk membangun perdamaian.
Dengan demikian, momen Tahun Baru Islam yang bersandar pada semangat hijrah adalah undangan bagi siapa pun—apapun latar belakang agama dan budayanya—untuk memulai perubahan ke arah yang lebih baik, memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, serta membangun relasi harmonis antara manusia dan sesama, serta antara manusia dan alam, sebab hijrah sejatinya adalah langkah menuju kehidupan yang lebih bermakna bagi semua.
Dalam kegiatan Syiar Muharram yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI yang dikomendani oleh Dirjen Bimas Islam pada hari Ahad 22 Juni 2025, yang dirangkai Car Pree Day dengan mengusung Tema "Damai Bersama Manusia dan Alam", ternyata tema ini menyimpan makna yang sangat mendalam dan kontekstual.
Ia tidak hanya menjadi ajakan religius untuk refleksi spiritual atas momentum hijrah Nabi Muhammad SAW, tetapi juga menjadi seruan etis dan ekologis yang relevan dengan tantangan zaman.
Muharram, sebagai bulan pembuka dalam kalender Hijriyah, merupakan simbol dari titik tolak perubahan, di mana peristiwa hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga menjadi transformasi sosial dan spiritual menuju kehidupan yang lebih damai, adil, dan beradab.
Dalam konteks ini, tema “Damai bersama Manusia dan Alam” mengajak umat Islam untuk menjadikan bulan Muharram sebagai saat yang tepat untuk merefleksikan kembali hubungan kita dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.
Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, dan persaudaraan (ukhuwwah) dalam Islam tidak hanya terbatas pada ikatan keagamaan (ukhuwwah Islamiyah), tetapi juga mencakup ikatan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyah) dan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyah). Maka dari itu, perdamaian sejati akan dapat terwujud manakala kita mampu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, saling menghormati, dan toleransi di tengah keberagaman budaya, etnis, dan keyakinan.
Di tengah maraknya konflik sosial dan ujaran kebencian, tema ini menjadi panggilan moral untuk menghentikan kekerasan dan membangun komunikasi yang sehat. Damai bukan sekadar tidak adanya konflik, melainkan hadirnya keadilan sosial, penghargaan terhadap hak asasi, dan kepedulian antar sesama.
Kemudian Islam memandang alam bukan hanya sebagai objek eksploitasi manusia, tetapi sebagai bagian dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan (ayat kauniyah).Alam semesta diciptakan dalam keseimbangan (mīzān), dan manusia diamanahi sebagai khalifah untuk menjaga keberlangsungan ciptaan tersebut (QS. Al-A'raf [7]: 56, QS. Ar-Rahman [55]: 7-9). Maka, damai dengan alam bukan hanya seruan ekologi, tapi juga panggilan teologis, bahwa menghormati alam berarti menjalankan ibadah ekologis, di mana setiap tindakan kita menjadi bagian dari penjagaan amanah ilahi.
Tradisi hijrah menginspirasi kita untuk berpindah dari pola hidup eksploitatif menuju gaya hidup yang ramah lingkungan, hemat energi, dan berkelanjutan.
Di era modern yang sarat krisis—baik sosial, spiritual, maupun ekologis—tema ini menunjukkan bahwa Islam tidak kehilangan relevansi. Justru ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin hadir sebagai solusi atas kegelisahan zaman.
Ketika dunia membutuhkan model peradaban yang inklusif dan berkelanjutan, Islam menawarkan paradigma damai yang berakar dari keteladanan Nabi dan nilai-nilai Al-Qur’an.
Dengan demikian, “Damai bersama Manusia dan Alam” adalah sebuah ajakan universal yang menjadikan Muharram sebagai titik awal perubahan menuju kesadaran baru—kesadaran untuk membangun dunia yang lebih seimbang, lebih adil, dan lebih manusiawi.
Dengan mengubah cara kita memperlakukan sesama dan memperlakukan alam, kita sedang berhijrah menuju dunia yang damai, seimbang, dan diberkahi. Inilah makna terdalam dari syiar Muharram yang menggugah dan membumi.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra'd [13]: 11).
Sebagai catatan pinggir, ada sebuah ungkapan menarik terkait dengan peringatan tahun baru hijriyah 1447 di Kementerain Agama RI yakni “Embrace diversity, radiate unity – Merangkul keberagaman, memancarkan persatuan” sejalan erat dengan tema “Damai bersama Manusia dan Alam”, keduanya mengajarkan pentingnya hidup harmonis dalam keberagaman yang saling melengkapi.
Keberagaman bukan hanya soal perbedaan manusia dalam agama, budaya, atau pandangan hidup, tetapi juga mencakup keragaman hayati dan ekosistem alam yang diciptakan Tuhan dengan keseimbangan.
Ketika kita mampu hidup damai dengan sesama dan selaras dengan alam, maka dari situlah terpancar persatuan yang utuh—persatuan yang tidak dibangun oleh keseragaman, melainkan oleh kesadaran bahwa kita semua, manusia dan alam, adalah bagian dari satu jaringan kehidupan yang saling bergantung.
Penulis: Adalah Wakil Rektor II UIN MATRAM
0 Komentar