BidikNews.net - Dalam Islam, perbuatan memamerkan aurat dipandang sebagai tindakan yang dilarang. Aurat, baik bagi pria maupun wanita, memiliki batasan yang harus dijaga dan ditutup, terutama dari pandangan lawan jenis yang bukan mahram. Membuka aurat secara sengaja dianggap sebagai perbuatan tercela dan dapat menjerumuskan seseorang pada perbuatan maksiat.
Islam, agama yang memuliakan manusia. Pemuliaan itu tercermin dalam seluruh ajaran-ajarannya. Diantara contoh kecilnya adalah perintah menutup aurat, sebagai tindakan menghias diri.
Sungguh pakaian merupakan penghias bagi manusia. Ia juga merupakan tanda kemajuan sebuah peradaban, tingginya kemuliaan serta lambang kesopanan.
Sebaliknya ‘tak berpakaian’ merupakan salah satu indikasi budaya masyarakat primitif, tanda kehinaan serta merosotnya derajat manusia hingga serendah hewan atau bahkan lebih hina darinya.
Oleh karenanya, setan selalu menggoda manusia agar menanggalkan pakaian, sementara Allâh Azza wa Jalla mewanti-wanti agar manusia tidak tertipu dengan godaan syaitan.
Islam memerintahkan menutup aurat, dan melarang mengumbarnya. Dan yang perlu dicamkan yaitu tidaklah Islam memerintahkan sesuatu melainkan pasti ada bahaya bila perintah itu ditinggalkan, sebaliknya Islam tidak akan melarang dari sesuatu melainkan karena ada bahaya bila dilakukan.
Setiap orang yang mengumbar aurat, awalnya pasti dia merasa malu -secara fitrah-. Namun karena dorongan hawa nafsu yang lebih kuat, ia abaikan rasa malu tersebut.
Lalu lambat laun rasa malu itu akan melemah dan terus melemah, sampai akhirnya hilang sama sekali. Jika rasa malu sudah sirna, bahkan bisa jadi rasa malu itu berubah menjadi rasa bangga dengan pebuatannya yang memamerkan aurat.
Sungguh sirnanya rasa malu merupakan kerugian yang sangat besar, karena rasa malu merupakan kebaikan yang agung dan bagian dari keimanan.
Karena dengan mengumbar auratnya, ia akan terpaksa harus melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak perlu ia lakukan, karena merugikan dan juga mendatangkan banyak bahaya dan dosa.
Mengapa wanita yang mengumbar auratnya terkesan murahan dan rendahan. Mereka mengira dihormati padahal direndahkan. Lihatlah, bagaimana mereka disandingkan bagaikan barang dagangan.
Karena dengan terjadinya ‘kecelakan’ itu Provinsi NTB telah kehilangan kehormatannya, Para Pemimpin NTB pun harus menanggung malu seumur hidupnya.
Aktifis muda Andi Putra Utama dalam akun fbnya menyebut, Festival Olahraga Rekreasi Nasional (FORNAS) NTB yang seharusnya menjadi ruang penguatan jati diri bangsa, justru berubah menjadi panggung teatrikal hegemoni budaya asing yang tampil dalam balutan gemerlap namun miskin makna.
Di tanah yang dikenal dengan "Bumi Seribu Masjid", publik malah disuguhi tontonan yang meminjam kostum dari etalase nilai-nilai Barat, dengan dalih modernitas dan seni pertunjukan.
Ia mengatakan, pertunjukan perempuan dengan pakaian yang mengabaikan norma kesopanan bukan hanya soal estetika, ia adalah bentuk infiltrasi, kolonialisasi gaya hidup, dan kekalahan narasi lokal dalam melawan gempuran selera global.
Alih-alih membanggakan akar budaya sendiri, kita justru bersorak atas budaya impor yang dipoles sebagai kemajuan. Sebuah ilusi kemodernan yang, dalam bingkai kritis, hanyalah pengulangan tragedi.
Kita menjual marwah demi tepuk tangan. Ketika budaya lokal dianggap "terlalu tradisional", maka yang disebut kemajuan ternyata tak lebih dari pelupaan kolektif terhadap nilai-nilai yang membesarkan kita.
Apakah ini festival rekreasi, atau festival rekayasa nilai? Kita patut bertanya. Siapa yang sebenarnya sedang di rekreasi masyarakat kita, atau identitas kita yang sedang dimodifikasi pelan-pelan menjadi produk dari selera asing? Kata Kata Andi Putra Utama dengan nada tanya.
Mari berhenti menyebut pelanggaran budaya sebagai inovasi. Tidak semua yang berkilau adalah emas, dan tidak semua yang tampil di panggung pantas disebut sebagai perayaan.” Kata Andi Putra Utama
Pewarta: Dae Ompu
0 Komentar