Tatkala al-Qur’an sebagai Indra Keenam, Oleh: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd

Hikmah Jum`at, 20 Juni 2025                                                          Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd

Di tengah hingar-bingar dunia yang semakin kompleks, hampir semua manusia di zaman modern ini makin bergantung pada kecanggihan teknologi dan data empiris. Segala sesuatu diukur dengan pengelihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa lima indra utama yang menjadi jendela pengalaman manusia terhadap dunia luar. Tapi apakah cukup hanya dengan mengandalkan kelima indra ini untuk membedakan kebenaran dan kesesatan? Bukankah manusia juga butuh “mata batin” untuk membaca makna di balik realitas? 

Disinilah kita membutuhkan indra keenam, karena lima indra utama hanya menjangkau permukaan realitas fisik, sementara manusia hidup dalam kompleksitas makna yang sering tersembunyi di balik yang kasat mata. 

Di era modern yang dipenuhi dengan kecanggihan teknologi dan limpahan data, manusia semakin bergantung pada hal-hal yang dapat diukur, dihitung, dan diamati secara empiris. 

Nilai-nilai seperti kejujuran, ketulusan, cinta, dan iman, misalnya, bukanlah sesuatu yang bisa disentuh atau dilihat, tetapi sangat nyata dalam membentuk kehidupan manusia. Maka, diperlukan indra keenam untuk menangkap realitas nonfisik,membedakan kebenaran sejati dari tipuan logika semu, dan menyelami hikmah di balik fenomena.

Sebagai umat yang kepadanya diturunkan kitab yang mulia, umat Islam membutuhkan lebih dari sekadar kecanggihan akal dan ketajaman panca indra,  maka al-Qur’an sangat layak untuk dijadikan sebagai “indra keenam”— bukan sekadar kitab suci yang dibaca, tetapi menjadi panduan hidup dan alat sensor spiritual dalam menilai realitas yang tak bisa dijangkau oleh mata dan telinga.

Al-Qur’an bukan kitab biasa, ia adalah nur, cahaya yang menembus ruang gelap dalam diri manusia. Ketika manusia melihat dunia hanya dari permukaan, al-Qur’an mengajarkan untuk menyelami kedalaman. “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau” (Q.S. Al-Hadid: 20).

Mata bisa tertipu, telinga bisa keliru, lidah bisa salah bicara, akan tetapi al-Qur’an hadir untuk mengarahkan, membenahi, dan menuntun indra-indra itu agar selaras dengan kehendak Ilahi. Ia membukakan “penglihatan” batin ketika cahaya duniawi membutakannya, ia memperdengarkan suara nurani kala dunia membisingkan kebohongan.

Sebagai indra keenam, al-Qur’an menjadi “detektor nilai” yang memberi tahu kepada kita kapan niat mulai bengkok, kapan hati mulai beku, dan kapan langkah mulai melenceng. Dalam dunia yang membanjiri manusia dengan informasi, al-Qur’an menjadi penyaring informasi spiritual, apakah sesuatu itu dapat sebagai wasilah mendekatkan diri kepada Tuhan atau justru sebaliknya, menjauhkan?


Ketika media sosial memicu iri hati—al-Qur’an mengajarkan syukur, ketika dunia memamerkan gaya hidup hedonis—al-Qur’an menegaskan bahwa kebahagiaan sejati adalah ketenangan jiwa, bukan kemewahan materi (Q.S. Ar-Ra’d: 28). Saat dunia menggoda dengan cinta semu—al-Qur’an mengingatkan bahwa cinta paling hakiki adalah cinta kepada sang pencipta.

Sebagian orang muslim mungkin membaca al-Qur’an sebatas rutinitas atau syarat ibadah, padahal yang lebih penting dari sekadar membaca adalah menjadikannya lensa pandang, alat merasa, dan sarana merespons kehidupan. Ketika al-Qur’an menjadi indra keenam, maka ia hidup di dalam kesadaran, bukan hanya di lembaran, ia menjadi pembeda di kala bimbang, penuntun di kala gelap, dan penghibur di kala sepi. “Telah datang kepadamu cahaya dari Tuhan dan Kitab yang menjelaskan.” (Q.S. Al-Ma’idah: 15)

Al-Qur’an bukan hanya warisan ilahi, tetapi juga alat navigasi ruhani, sehingga layaknya kita tidak sekadar meletakkannya di rak, tetapi menanamkannya dalam hati, tidak sekadar membacanya dengan lisan, tetapi menghayatinya dengan kesadaran. Karena ketika al-Qur’an telah menjadi indra keenam bagi kita, maka kita tidak hanya melihat dunia—tapi juga memahami hidup.

Dalam diskusi spiritual dan rasional, umat Islam sering merenungkan bagaimana al-Qur’an dapat benar-benar hadir dalam kehidupan, bukan hanya sebagai bacaan, tetapi sebagai alat untuk merasakan, memahami, dan merespons realitas. Konsep al-Qur’an menjadi indra keenam bagi seorang Muslim adalah gagasan yang menyatukan aspek teologis dan eksistensial; bahwa wahyu bukan hanya informasi, tapi juga alat pembeda, filter kebenaran, dan kompas nilai dalam dunia yang penuh ilusi.

Dalam kerangka ini, kita menemukan jembatan penting dari sejarah Islam melalui ucapan penuh makna dari Sayyidah Aisyah RA. Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, beliau menjawab singkat namun dahsyat: “Kana khuluquhu al-Qur’an”. Akhlaknya adalah al-Qur’an. (HR. Muslim)

Pernyataan Aisyah bahwa “khuluquhu al-Qur’an” adalah petunjuk bahwa umat Islam untuk seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai indra keenam, agar dapat meneladani jejak spiritual Rasulullah SAW, beliau tidak hanya membawa wahyu, tetapi menjadi personifikasi dari isi Al-Qur’an. Artinya, jika Al-Qur’an adalah lensa spiritual, maka Nabi adalah subjek yang telah sepenuhnya melihat dengan lensa itu. Nabi merespons dunia, masyarakat, dan ujian kehidupan bukan dengan nafsu atau emosi, tetapi dengan sensitivitas wahyu—dengan kepekaan indrawi yang dibentuk oleh Al-Qur’an.


Kehidupan Nabi penuh dengan keputusan-keputusan yang lahir dari keseimbangan antara logika dan kasih sayang, antara ketegasan dan kelembutan. Semuanya tidak terlepas dari panduan al-Qur’an, beliau tidak hanya menghafal dan menyampaikan ayat-ayat, tetapi merasakan, menghayati, dan memperagakan nilai-nilainya dalam seluruh aspek kehidupan.

Ketika disakiti, beliau memilih memaafkan, karena begitulah tuntunan al-Qur’an (Q.S. Al-A’raf: 199). Ketika berinteraksi dengan kaum tertindas, beliau merangkul mereka—karena al-Qur’an menyuruh membela mustadh’afin (Q.S. An-Nisa: 75). Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW telah sepenuhnya “berindra al-Qur’an” dalam perilaku dan batinnya.

Sebagai catatan pinggir, bahwa di tengah dunia yang bising oleh informasi dan kabur oleh nilai-nilai semu, kita memerlukan lebih dari sekadar lima indra untuk menemukan arah hidup yang benar; karena itu, mari kita jadikan al-Qur’an sebagai indra keenam sebagai cahaya batin yang menyinari hati, menyaring nilai, dan menuntun langkah. 

Dengan demikian al-Qur’an dapat berfungsi sebagai filter nilai dalam dunia yang penuh dengan tipu daya—bukan hanya dibaca, tetapi diresapi, diamalkan, dan dijadikan lensa hidup agar kita mampu merasakan kebenaran dengan jiwa dan kesadaran yang utuh.

Penulis: adalah Guru Besar dan Wakil Rektor UIN Mataram


0 Komentar