Merawat Tradisi dengan Keteguhan Prinsip, Oleh Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd

Hikmah Jum`at, 04 Juli 2025

Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyura. Nabi pun bertanya mengapa mereka berpuasa? Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, hari ketika Tuhan menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari musuh mereka. Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai tanda syukur kepada Allah, dan kami juga ikut berpuasa.”(HR. Bukhari dan Muslim).  

KETIKA itu Rasulullah SAW merespon dalam sabdanya, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau berpuasa Asyura dan menganjurkan umat Islam berpuasa di hari itu sebagai bentuk syukur atas pertolongan-Nya.

Intinya, Kaum Yahudi memang menjadikan puasa Asyura sebagai peringatan kemenangan Nabi Musa atas kezaliman Firaun, dan  Rasulullah mengakui kebenaran peristiwa itu dan mengajarkan umat Islam untuk juga berpuasa, tetapi dengan niat syukur kepada Allah, bukan meniru semata. Bahkan Rasulullah menyempurnakan syariat dengan menganjurkan menambah sehari sebelumnya (9 Muharram) agar puasa Asyura tidak menyerupai kebiasaan Yahudi sepenuhnya.

Peristiwa ini menjadi teladan agung tentang kebijaksanaan, keluasan hati, dan keteguhan prinsip. Melalui peristiwa ini Rasulullah SAW menunjukkan kepada umatnya tiga pelajaran yang sangat berharga: 

Pertama, Menghargai kebenaran di mana pun berada. Rasul SAW tidak menolak tradisi puasa Asyura hanya karena ia diamalkan kaum Yahudi, tetapi beliau justru mengakui kebenaran sejarah Nabi Musa, sekaligus menunjukkan bahwa nilai syukur adalah warisan para nabi yang patut dilestarikan. Ini mengajarkan kita untuk bersikap adil, objektif, dan tidak fanatik buta terhadap perbedaan.

Kedua, Menanamkan niat yang lurus dan murni. Rasulullah SAW menekankan bahwa puasa Asyura dilakukan bukan karena meniru semata, tetapi sebagai ungkapan syukur tulus kepada Allah. Ini mengajarkan bahwa amal apa pun nilainya terletak pada keikhlasan niat, bukan sekadar kebiasaan.

Ketiga, Menjaga identitas umat dengan cara bijak. Dengan menganjurkan puasa sehari sebelumnya (9 Muharram), Rasul SAW menunjukkan ketegasan dalam memelihara jati diri umat Islam, agar tidak larut dalam penyerupaan yang tak perlu. Ini menjadi pelajaran penting, bahwa kita boleh menghargai tradisi baik, tetapi tetap perlu membedakan diri dengan cara yang elegan dan penuh hikmah.

Dari sikap Nabi SAW ini, kita belajar prinsip penting bahwa tradisi yang mengandung nilai kebaikan boleh saja diterima, selama tidak bercampur dengan keyakinan yang bertentangan dengan tauhid atau ajaran Islam. Kebiasaan yang membawa makna syukur, kebersamaan, dan kepedulian sosial bisa dilestarikan asalkan niatnya lurus dan caranya sesuai adab Islam. 

Karena itu, dalam konteks perayaan selamatan yang menjadi budaya masyarakat Muslim, baik di bulan Muharram maupun pada kesempatan lain seperti tasyakuran kelahiran, pindahan rumah, memulai usaha, atau doa bersama untuk kebaikan keluarga, hukum asalnya boleh dilakukan, kuncinya adalah memastikan tidak ada unsur keyakinan mistis atau keharusan syariat yang tidak berdasar dalil, serta tidak menyerupai ibadah agama lain secara hakiki.


Dengan menjadikan peristiwa Asyura sebagai rujukan moral, kita dapat memahami bahwa Islam adalah agama yang bijak, adil, dan penuh kasih sayang. Ia mengakui nilai kebenaran di mana pun ia berada, meluruskan niat agar ibadah hanya tertuju kepada Tuhan, sekaligus menjaga identitas umat agar tetap mulia dan berbeda dengan cara yang elegan. Inilah pesan indah yang relevan bagi setiap muslim dalam memaknai tradisi atau ritual, yakni mengambil hikmah dan kebaikan, menyucikan tujuan, serta memelihara kemurnian akidah.

Kemudian Asyura bukan hanya hari puasa, tetapi juga hari muhasabah (introspeksi) sekaligus menjadi pengingat betapa banyak nikmat yang telah Tuhan curahkan—nikmat agama, kesehatan; keselamatan, keluarga, rezeki, dan lain-lain. Asyura mengajarkan bahwa syukur bukan hanya ungkapan lisan, melainkan tindakan nyata: ibadah, amal saleh, dan kepedulian sosial.

Dalam kerangka ini, selamatan atau kenduri yang dilakukan sebagian umat Muslim Nusantara, termasuk Asyura, sering dimaknai sebagai wujud rasa syukur kepada Allah atas keselamatan dan rezeki, sebagai media mempererat silaturahmi dan persaudaraan, dan sebagai sarana mengingat peristiwa besar dalam sejarah Islam. Dan selama prosesi selamatan itu tidak bercampur dengan keyakinan syirik, tidak meyakini keberkahan dari selain Tuhan, dan tidak melanggar syariat, maka hukumnya mubah (boleh) sebagai sebuah tradisi yang mengandung makna sosial dan refleksi spiritual.

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering memaksa kita melupakan makna, Asyura datang sebagai oase kesadaran. Ia memanggil kita kembali pada fitrah, menjadi insan yang pandai bersyukur, adil, berani, dan menanamkan keteguhan dalam hati untuk menghidupkan kepedulian dalam tindakan yang dapat mendekatkan kita pada Tuhan.

Sebagai catatan pinggir, bahwa peristiwa Asyura mengajarkan bahwa Rasulullah saw adalah teladan kebijaksanaan yang mampu menghargai kebenaran di mana pun ia berada, meluruskan niat ibadah hanya kepada Tuhan, dan tetap menjaga identitas umat Islam dengan cara yang elegan; beliau mengakui kebenaran puasa kaum Yahudi sebagai bentuk syukur Nabi Musa atas pertolongan Allah, namun menyempurnakan syariat dengan menambah puasa sehari sebelumnya agar tidak sekadar meniru, sehingga dari sikap ini kita belajar bahwa tradisi yang mengandung nilai syukur, kebersamaan, dan kebaikan sosial boleh dilestarikan selama tidak bercampur keyakinan batil atau melanggar tauhid, dan Asyura pun menjadi cermin untuk bersyukur, bermuhasabah, mempererat persaudaraan, serta memperkokoh keteguhan iman dalam meraih ridha Tuhan.

Penulis: adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri  ( UIN ) Mataram

 


0 Komentar