Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahun bukanlah sekadar seremoni keagamaan yang diisi dengan pembacaan shalawat dan riwayat kelahiran beliau, melainkan momentum spiritual untuk merefleksikan kembali keteladanan Nabi dalam membangun kehidupan yang harmonis dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan.
DALAM konteks krisis ekologi global dan tantangan kerusakan lingkungan saat ini, tema “Ekoteologi Keteladanan Nabi untuk Kelestarian Bumi dan Negeri” yang diusung oleh PHBI nasional tahun 2025 menjadi sangat relevan. Ia menghadirkan perspektif baru bahwa cinta kepada Rasul bukan hanya ditunjukkan melalui pujian, tetapi juga dengan meneladani ajarannya dalam menjaga bumi sebagai amanah Ilahi.
Ekoteologi adalah upaya memahami hubungan antara teologi dan ekologi, yaitu melihat bahwa Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya sebagai tanda-tanda (ayat) yang harus dijaga dan dipelihara.
Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-harinya memberi teladan nyata bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam. “Sesungguhnya dunia ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya. Maka Dia akan melihat bagaimana kalian memperlakukan dunia ini” (HR. Muslim).
Hadis ini menegaskan misi ekologis manusia sebagai khalifah, dan Nabi Muhammad adalah sosok pertama yang menunjukkan praktik kepemimpinan ekologis itu. Kemudian hadis ini juga menyimpan pesan ekologis yang sangat kuat sekaligus universal.
Nabi Muhammad SAW menggambarkan bumi sebagai sesuatu yang “hijau dan indah” — sebuah metafora bahwa alam semesta dianugerahi keindahan, kesuburan, dan daya dukung yang luar biasa untuk menopang kehidupan. Namun keindahan itu tidak datang tanpa tanggung jawab di mana manusia ditunjuk oleh Allah sebagai khalifah, yaitu pemimpin dan pengelola bumi. Dengan kata lain, manusia bukan pemilik mutlak bumi, melainkan penjaga dan pengelola amanah Ilahi.
Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam menerjemahkan konsep khalifah ekologis. Beliau tidak hanya menyampaikan sabda, tetapi juga menunjukkan praktik nyata: Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd
1. Hemat air, bahkan dalam berwudhu beliau melarang berlebih-lebihan;
2. Melindungi pepohonan dan hewan khususnya di kawasan Haramain di Mekah dan Madinah;
3. Mendorong penghijauan, dengan sabdanya: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon, lalu darinya dimakan manusia, hewan, atau burung, kecuali baginya menjadi sedekah”; dan
4. Larangan merusak alam, termasuk ketika dalam kondisi perang, Nabi menegaskan agar tidak merusak tanaman, membakar pohon, atau membunuh hewan sembarangan.
Praktik-praktik itu menunjukkan bahwa kepemimpinan Nabi adalah kepemimpinan ekologis, yakni menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan keberlangsungan lingkungan.
Di era modern, hadis nabi di atas terasa semakin aktual, karena krisis lingkungan—seperti deforestasi, polusi, krisis air, dan perubahan iklim—merupakan bukti nyata bahwa manusia sering abai terhadap peran khalifahnya. Banyak orang memperlakukan bumi bukan sebagai amanah, melainkan sebagai objek eksploitasi. Akibatnya, bumi kehilangan “hijau” dan “indah”-nya.
Salah satu krisis ekologi saat ini bersumber dari pola hidup konsumtif dan kerakusan manusia. Dan nabi SAW memberi teladan dengan hidup sederhana, secukupnya, dan tidak berlebihan. “Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan tanpa kesombongan” (HR. Ahmad).
Prinsip anti-berlebihan ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan” (QS. Al-Isra’: 27). Keteladanan ini meneguhkan bahwa ekoteologi dimulai dari kesadaran pribadi untuk mengelola konsumsi, energi, dan sumber daya secara bijak.
Dalam praktiknya, Nabi Muhammad SAW sangat peduli terhadap pengelolaan air dan tanah, beliau mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan air, bahkan ketika berwudhu. Beliau juga melarang menebang pohon sembarangan, membunuh hewan tanpa alasan, dan merusak lingkungan. Saat menaklukkan Makkah, beliau mengeluarkan larangan keras merusak pepohonan dan membunuh binatang yang tidak mengganggu. Ini adalah bentuk nyata ekoteologi profetik: menjaga alam sebagai bentuk ibadah.
Al-Qur’an menegaskan bahwa bumi dan seisinya adalah nikmat yang harus disyukuri (QS. Al-Rahman). Nabi SAW menekankan pentingnya syukur bukan hanya dalam bentuk doa, tetapi juga perbuatan nyata: Menjaga kelestarian nikmat itu, ketika seseorang menanam pohon, dan darinya dimakan manusia, hewan, atau burung, maka itu bernilai sedekah baginya (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian menjaga bumi adalah bentuk nyata syukur kepada Allah sekaligus mengikuti keteladanan Nabi.
Indonesia sebagai negeri kaya sumber daya alam sedang menghadapi tantangan besar; deforestasi, polusi, perubahan iklim, dan bencana ekologis. Dalam konteks ini, peringatan maulid Nabi dapat dijadikan titik refleksi untuk membangun kesadaran ekologis berbasis spiritualitas Islam.
Dengan menjadikan Nabi sebagai teladan, kita diajak mengembalikan paradigma pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan bumi dan kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.
Penerapan ekoteologi keteladanan Nabi juga merupakan bagian dari moderasi beragama, ia mengajarkan keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial-ekologis. Artinya, mencintai Nabi bukan hanya dengan memperbanyak shalawat, tetapi juga dengan melanjutkan perjuangan beliau dalam mewujudkan bumi yang damai, seimbang, dan penuh rahmat.
Dengan mengangkat tema ekoteologi, peringatan Maulid Nabi tidak lagi dipandang sebagai acara seremonial, tetapi sebagai gerakan moral dan spiritual—dari masjid-masjid, majelis taklim, hingga ruang akademik, umat Islam didorong untuk menanam pohon, mengurangi sampah plastik, menghemat energi, menjaga air, dan menggalakkan pola hidup ramah lingkungan. Semua itu adalah bagian dari cinta kepada Rasulullah dan kepedulian terhadap bumi dan negeri.
Sebagai catatan pinggir, bahwa tema “Ekoteologi Keteladanan Nabi untuk Kelestarian Bumi dan Negeri” mengajarkan bahwa perayaan maulid Nabi harus dimaknai sebagai momentum untuk menghadirkan kembali sosok Rasulullah SAW sebagai teladan ekologis. Beliau tidak hanya guru spiritual dan moral, tetapi juga pemimpin yang menanamkan kesadaran ekologis jauh sebelum istilah “ekologi” dikenal.
Dengan meneladani Nabi dalam menjaga alam, umat Islam bukan hanya merawat bumi untuk generasi mendatang, tetapi juga merawat negeri ini agar tetap menjadi tanah yang diberkahi, aman, dan penuh kedamaian.
Penulis: adalah Guru Besar dan Wakil Rektor II UIN Mataram
0 Komentar