Ada satu hukum yang tak pernah berubah sejak bumi diciptakan, yakni ”Hukum alam yang tak pernah bercanda”. Ia bekerja dengan ketepatan yang nyaris suci. Ketika api menyentuh kulit, panasnya membakar tanpa kompromi. Ketika sungai dirusak hulunya, banjir pasti mencari jalannya. Ketika hutan ditebang, tanah kehilangan pijakan dan langit pun kehilangan napasnya. 
ALAM tidak pernah berbohong, tidak pernah berpura-pura, dan tidak pernah pula bermain-main dengan keseimbangan. Malah manusia yang sering menganggap hukum itu bisa dinego, seperti ketika kita sempat berpikir bahwa dengan kecerdasan dan teknologi, kita dapat menaklukkan bumi — padahal aksi itu hanya menunda akibat dari kesalahan yang kita ciptakan dari pikiran konyol kita sendiri. Inilah lupa yang paling mahal harganya, yakni ”lupa bahwa alam adalah bagian dari doa yang tak pernah berhenti, dan setiap daun yang gugur adalah ayat yang sedang dibacakan oleh semesta”.
Perhatikan isyarat al-qur’an, ”Dhaharal-fasâdu fil-barri wal-baḫri bimâ kasabat aidin-nâsi liyudzîqahum ba‘dlalladzî ‘amilû la‘allahum yarji‘ûn“. Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rūm: 41).
Ayat ini bukan sekadar peringatan ekologis, tetapi juga teguran spiritual, bahwa setiap kerusakan di bumi adalah cermin dari kekacauan hati manusia. Alam tidak sedang murka, ia hanya menegakkan keadilan Tuhan, dan menjawab keserakahan dengan krisis, serta mendidik manusia melalui penderitaan agar ia kembali pada keseimbangan semula.
Dalam kacamata ekoteologi, hukum alam adalah bagian dari sunatullah — sistem Ilahi yang menata segala sesuatu dengan ukuran yang presisi; Langit, laut, gunung, angin, dan makhluk kecil di balik tanah — semuanya bergerak dalam zikir kosmik. Ketika manusia mengabaikan irama suci ini, ia bukan hanya merusak bumi, tetapi juga mengganggu simfoni ketundukan kepada Sang Khalik.
Filsuf Muslim Seyyed Hossein Nasr pernah menulis, “When man forgets the sacredness of nature, he destroys both the world around him and the peace within him.” — ketika manusia melupakan kesucian alam, ia menghancurkan dunia di sekitarnya dan juga kedamaian dalam dirinya sendiri. Kalimat ini sesungguhnya telah menampar kesadaran kita, bahwa bencana ekologis bukan hanya kehilangan pepohonan, tetapi kehilangan keseimbangan batin—kita menebang hutan di luar, sementara di dalam diri kita, hutan kesadaran juga perlahan gundul.
Hukum alam sesungguhnya adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang Maha Bijaksana namun tegas. Ia mendidik manusia agar tidak lupa bahwa setiap tindakan hari ini adalah investasi spiritual untuk masa depan. Jika kita menanam kebaikan, bumi akan memeluk kita dengan kesejukan. Jika kita menanam keserakahan, bumi akan mengajarkan pelajaran dengan cara yang pahit. Maka, ketika bumi retak, atau ketika laut menelan daratan, atau tatkala udara menjadi beracun, mungkin bukan alam yang berubah — tetapi hati manusia yang kehilangan keseimbangannya.
Ekoteologi mengajak kita untuk tidak hanya mencintai alam karena indahnya, tetapi menghormatinya karena kesuciannya. Menjaga lingkungan bukan sekadar tindakan sosial, melainkan ibadah. Ia adalah bentuk sujud kita dalam wujud lain — sujud yang tidak selalu dilakukan di sajadah, tetapi di ladang yang dijaga, di sungai yang tidak dicemari, dan di pohon yang tidak ditebang sembarangan.
Ketika kita kembali menyadari bahwa alam adalah bagian dari dzikir yang sama dengan kita, maka menjaga bumi menjadi bagian dari ibadah. Setiap tindakan ekologis yang benar adalah doa yang diperpanjang, dan setiap pelanggaran terhadap alam adalah wujud lupa terhadap Sang Pencipta.
Hukum alam tidak mengenal ampun bagi yang melupakan keseimbangan, tetapi selalu membuka harapan bagi yang mau belajar darinya. Maka marilah kita hidup selaras dengan bumi — bukan karena takut bencana, tetapi karena ingin berdamai dengan Tuhan. Sebab pada akhirnya, menjaga alam adalah cara paling sunyi namun paling nyata untuk menjaga diri kita sendiri.
“Lasy-syamsu yambaghî lahâ an tudrikal-qamara wa lal-lailu sâbiqun-nahâr, wa kullun fî falakiy yasbaḫûn”. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang; masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yā Sīn: 40)
Ayat ini menggambarkan keteraturan dan ketepatan hukum alam yang bekerja secara konsisten, alam tunduk sepenuhnya kepada perintah Tuhan, dan dari ketundukan itulah muncul keseimbangan. Ketika keseimbangan itu terganggu, bukan karena alam yang berubah, melainkan karena manusia melanggar prinsip harmoni yang telah digariskan oleh Sang Pencipta.
Sebagai catatan pinggir, bahwa hukum alam yang tidak pernah bercanda sesungguhnya caption pengingat buat kita bahwa setiap tindakan ekologis adalah bentuk ibadah atau sebaliknya menjadi pelanggaran spiritual. Bila manusia selaras dengan alam, ia selaras dengan kehendak Tuhan; tetapi bila ia merusak alam, ia sedang melawan sistem yang diciptakan-Nya.
Dengan demikian, kesadaran ekoteologis menuntun manusia untuk hidup dalam harmoni — bukan hanya agar bumi tetap lestari, tetapi agar jiwa kita tetap damai di bawah keseimbangan kosmik yang telah Allah tata dengan ketetapan Yang Maha Teliti.
Penulis: adalah Guru Besar dan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas (UIN) Mataram

0 Komentar