![]() |
| Zuhrupatul Jannah, Dosen UIN Mataram/Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal |
"Wa mâ min dâbbatin fil-ardli wa lâ thâ'iriy yathîru bijanâḫaihi illâ umamun amtsâlukum, mâ farrathnâ fil-kitâbi min syai'in tsumma ilâ rabbihim yuḫsyarûn”.
TIDAK ada seekor hewan pun (yang berada) di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhannya mereka dikumpulkan." (Q.S. al-An‘ām [6]: 38)
Dalam keheningan yang tenang, seekor burung camar bertengger di atas pagar kayu, menatap lautan luas yang berkilau di bawah kilatan cahaya matahari pagi. Gelombang laut memecah dengan ritme alami, angin membawa aroma garam dan kehidupan.
Pemandangan ini tampak sederhana, namun bagi mereka yang “melihat dengan tubuh yang merasakan”, di sinilah alam berbicara dengan bahasa yang tidak selalu dapat diterjemahkan oleh logika, tetapi dapat dirasakan oleh kesadaran yang hadir secara penuh.
“Melihat dengan tubuh yang merasakan” bukanlah sekadar metafora puitis; ia adalah cara berhadapan dengan dunia secara utuh—cara yang dihidupi oleh tradisi fenomenologi. Dalam pendekatan ini, alam tidak lagi dipandang sebagai objek di luar, melainkan sebagai sesama eksistensi yang turut membentuk dan menyingkap makna kehidupan.
Fenomenologi, sebagaimana diajarkan oleh Edmund Husserl dan dilanjutkan Maurice Merleau-Ponty, menegaskan bahwa dunia tidak hadir sebagai benda mati, tetapi sebagai fenomena yang menyingkap dirinya untuk menghadirkan kesadaran manusia. Ketika kita menatap seekor burung camar, bukan hanya kita yang “melihat” burung itu—melainkan burung itu juga demikian, dalam kehadirannya seakan menyapa kesadaran kita.
Dalam kerangka ekofenomenologi, sapaan itu bukan romantisme kosong, melainkan pertemuan eksistensial antara manusia dan more-than-human world—dunia yang lebih dari manusia. Burung itu, laut itu, langit itu—semuanya berbicara dalam bahasa kehadiran (presence), mengingatkan kita bahwa mereka adalah bagian dari satu komunitas kosmik. (Baca Q.S. al-An‘ām [6]: 38).
Ayat ini mengandung kesadaran ekologis yang mendalam; bahwa semua makhluk memiliki eksistensi dan kehormatan ontologis. Mereka bukan ciptaan untuk dieksploitasi, melainkan saudara dalam keberadaan (umamun amtsalukum). Dalam pandangan ini, etika ekologis Islam bertemu dengan horizon fenomenologi—mengakui kehadiran makhluk lain sebagai sesama, bukan sekadar sumber daya.
Tubuh, dalam fenomenologi, bukan sekadar wadah jiwa, namun modus kehadiran kita di dunia. Melalui tubuh, manusia berinteraksi, mengalami, dan menghayati dunia. Maka, ketika seseorang berdiri di tepi pantai dan menghirup aroma udara laut yang asin, tubuh itu menjadi pintu masuk bagi pengalaman ekologis yang sejati.
“Melihat dengan tubuh yang merasakan” berarti membuka seluruh indera dan kesadaran kita untuk menyambut dunia. Dalam momen itu, batas antara subjek dan objek melebur—yang ada hanyalah kehadiran bersama (being-with) antara manusia dan alam.
Pantai yang bersih bukan hanya lanskap estetis, tetapi ruang etis di mana relasi yang otentik antara manusia, burung, laut, dan langit terjalin. Keterjagaan pantai itu menjadi cermin sejauh mana manusia masih memiliki kepekaan ekologis, sejauh mana tubuhnya masih mampu merasakan dunia, bukan hanya menguasainya.
Ekofenomenologi menolak pandangan yang memisahkan manusia dari alam, ia menegaskan bahwa manusia mengada bersama alam—bahkan keberadaan manusia tak mungkin dipahami tanpa konteks ekologisnya. Maka, menjaga alam bukanlah tugas eksternal, melainkan bagian dari menjaga eksistensi diri.
Ketika pantai itu bersih, bukan hanya keindahan yang terjaga, tetapi keutuhan makna keberadaan, di mana kebersihan menjadi tanda kesadaran bahwa manusia tidak hidup sendirian, melainkan di tengah jejaring kehidupan yang lebih luas. Dengan demikian, etika lingkungan muncul bukan karena aturan, tetapi karena pengalaman langsung akan kehadiran yang lain—karena tubuh yang masih mampu merasakan sapaan dunia.
Setiap gerak kehidupan di alam adalah bagian dari zikir kosmik; burung yang terbang, air yang mengalir, angin yang berhembus—semuanya bertasbih kepada Sang Pencipta, semuanya membutuhkan kedamaian, berharap akan sadar kita sebagai manusia untuk menjadi partisipan dalam orkestra alam.
”Tusabbiḫu lahus-samâwâtus-sab‘u wal-ardlu wa man fîhinn, wa im min syai'in illâ yusabbiḫu biḫamdihî wa lâkil lâ tafqahûna tasbîḫahum, innahû kâna ḫalîman ghafûrâ”.
Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. al-Isra' ayat 44).
Dalam perspektif ini, manusia bukan pusat, melainkan salah satu partisipan dalam orkestra keberadaan.
Kembali ke perenungan awal, bahwa ketika kita melihat seekor burung camar di tepi pantai, kita sesungguhnya sedang menyaksikan doa yang hidup, pujian yang mengalun dalam bentuk eksistensi. Kesadaran ini mengembalikan manusia pada maqamnya sebagai khalifah yang bukan penguasa, tetapi penjaga keseimbangan (mīzān).
Oleh karenanya , tatkala kita mampu melihat dengan tubuh yang merasakan berarti kita sedang menghidupkan kembali kesadaran, bahwa setiap pandangan adalah pertemuan spiritual, setiap langkah di bumi adalah ibadah ekologis, dan setiap napas adalah bentuk partisipasi dalam kehidupan yang lebih besar.
Ekofenomenologi mengajak kita untuk kembali merasakan dunia—bukan sekadar memikirkannya, akan tetapi menghadirkannya dalam setiap denyut tubuh dan tarikan napas, yang menandai adanya ruang bagi kita untuk menyadari bahwa dunia tidak diam, tidak bisu, tetapi memanggil, menyapa, dan mengingatkan.
Jadi, melihat dengan tubuh yang merasakan berarti menjadi manusia yang hadir sepenuhnya—manusia yang tidak hanya hidup di dunia, tetapi hidup bersama dunia.
Dalam kesadaran itulah, kita menemukan makna sejati dari ayat suci, ”bahwa segala makhluk adalah umat seperti kita, berjalan menuju Tuhan yang sama, dan kelak dikumpulkan di hadapan-Nya dalam keutuhan semesta. Artinya bahwa seluruh makhluk hidup dan benda di alam semesta sejatinya memiliki dasar yang sama, yaitu jauhar atau substansi esensial yang menjadi inti dari segala sesuatu.
Menurut pandangan Al-Imam Ar-Razi, perbedaan antara manusia, hewan, tumbuhan, maupun benda mati tidak terletak pada zat dasarnya, melainkan pada awaridh atau akibat-akibat yang menyertainya, seperti bentuk, warna, dan fungsi.
Dengan demikian, segala yang ada di alam ini pada hakikatnya memiliki kesatuan asal yang menunjukkan keteraturan dan kebijaksanaan Tuhan dalam menciptakan keragaman dari satu sumber yang sama.
Penulis: adalah Dosen UIN Mataram/Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal


0 Komentar