Tulisan ini berangkat dari refleksi atas esai teman diskusi penulis yakni Zukhrufatul Jannah yang berjudul “Dekonstruksi ”Logika Setan” dalam Otoritas Penafsiran: Menyingkap Semangat Kesetaraan dari Cahaya Tauhid” yang terbit di portal alamtara.co pada 28 Oktober 2025. Dalam tulisannya, mbak Zukhruf mengajak pembaca untuk merenungi bagaimana konsep “logika setan” dapat menjadi kunci untuk memahami akar dari ketimpangan tafsir dan struktur patriarki dalam tradisi keagamaan.
DARI refleksi tersebut di atas, kita dapat memahami bahwa ada banyak bentuk kesombongan yang bersembunyi dalam kehidupan kita sebagai manusia. Ada yang menjelma menjadi arogansi intelektual, ada yang menyamar dalam jubah kesalehan, dan ada pula yang tumbuh diam-diam di balik rasa paling benar sendiri. Namun dari sekian bentuk kesombongan itu, satu yang paling berbahaya adalah perasaan unggul — sebab di dalamnya terdapat bibit logika yang pernah menjerumuskan makhluk paling lama beribadah yakni Iblis.
Kisah kejatuhan Iblis sesungguhnya bukan sekadar cerita moral tentang makhluk yang durhaka, tetapi ia merupakan cermin abadi tentang bagaimana logika bisa menipu nurani. Ketika Allah memerintahkan seluruh malaikat dan Iblis untuk bersujud kepada Adam,
Iblis menolak dengan argumentasi yang kelihatan masuk akal: “Aku lebih baik darinya; Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia dari tanah.” Di sini, Iblis tidak sekadar membangkang — tetapi dia berlogika, menggunakan rasio, namun menyingkirkan rasa tunduk, dan ia berpikir, namun tanpa takzim. Itulah yang disebut dalam judul besar di atas sebagai logika setan — logika yang cerdas, tetapi kehilangan cahaya hati.
Logika setan lahir ketika akal dipisahkan dari kesadaran ketuhanan, ketika pengetahuan menjadi alat pembenaran diri, dan bukan sarana menemukan kebenaran. Dalam konteks kehidupan manusia, logika semacam ini bisa muncul di mana saja — di ruang politik, akademik, sosial, bahkan di rumah-rumah ibadah.
Seorang pejabat bisa merasa lebih mulia karena jabatannya, seorang ilmuwan merasa lebih berharga karena gelarnya, seorang ulama bisa merasa lebih suci karena pengetahuannya, dan seorang manusia merasa lebih benar hanya karena berbeda asal-usul. Semua itu sesungguhnya gema dari kalimat lama yang sama: “Aku lebih baik darinya.”
Perasaan unggul itu sesungguhnya racun yang halus, ia tidak tampak destruktif di awal, sebab sering dibungkus dengan bahasa moral: “Aku hanya ingin menegakkan kebenaran”, namun di balik kalimat itu sering tersembunyi dorongan untuk menguasai, menilai, dan merendahkan.
Perasaan unggul menutup pintu dialog, mematikan empati, dan menjadikan orang lain sekadar objek penilaian. Akibatnya, manusia yang mestinya saling menuntun justru saling menghakimi, dan ilmu yang mestinya mencerahkan berubah menjadi alat untuk membungkam.
Kesalahan Iblis bukan pada kurangnya pengetahuan—Ia tahu siapa Tuhan, ia bahkan berbicara langsung kepada-Nya, akan tetapi pengetahuannya tidak melahirkan kerendahan hati—ia pandai secara logika, tapi miskin secara rasa.
Di sinilah letak ironi terbesar, bahwa keunggulan yang tidak disertai kerendahan hati akan menjatuhkan manusia lebih dalam daripada kebodohan itu sendiri, sebab kebodohan masih bisa diajari, tetapi kesombongan menutup pintu pembelajaran.
Dalam kehidupan modern, “logika setan” bisa hadir dalam bentuk yang lebih halus: merasa paling rasional, paling berilmu, paling terbuka, paling beriman, atau paling benar. Semua perasaan “paling” itu tampak gagah, padahal rapuh, ia memenjarakan manusia dalam ilusi kebenaran tunggal dan menutup jalan bagi kebijaksanaan yang lahir dari kerendahan hati.
Orang yang merasa unggul akan sulit untuk belajar, sebab ia mengira belajarnya sudah khatam. Ia sulit mendengar, sebab suaranya sendiri terlalu keras bagi telinga batinnya.
Dalam pandangan spiritual Islam, keunggulan sejati bukan terletak pada status, asal-usul, atau ilmu, melainkan pada tunduknya hati. Al-Qur’an menegaskan bahwa yang paling mulia di sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa — dan ketakwaan itu tidak bisa diukur oleh manusia, apalagi dijadikan alasan untuk merasa lebih dibanding yang lain. Takwa adalah rahasia antara manusia dan Tuhannya, sesuatu yang tumbuh dari kesadaran akan keterbatasan diri.
Melawan “logika setan” berarti belajar untuk menanggalkan keangkuhan epistemik — baik dalam berpikir, beragama, maupun berkuasa. Melawan perasaan unggul bukan berarti menolak kelebihan, tetapi menolak menjadikannya dasar untuk merendahkan, karena setiap kelebihan sejatinya adalah amanah, bukan alasan untuk sombong. Ibarat api yang panas, ia bisa menjadi cahaya jika dikendalikan, tapi juga bisa membakar jika dibiarkan liar.
Sebagai catatan pinggir, bahwa kisah Iblis bukan kisah tentang makhluk lain — itu kisah tentang kita. Setiap kali kita menilai orang lain dengan rasa lebih baik, setiap kali kita menutup diri dari kritik, atau menolak mendengar karena merasa sudah benar, di sanalah kita sedang mengulangi kalimat kuno itu: “Aku lebih baik darinya.”
Dan setiap kali kita merendahkan hati, menundukkan ego, dan menerima bahwa kebenaran bisa datang dari siapa pun, di situlah kita sedang memperbaiki logika, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan mengembalikan akal pada fungsinya yang sejati—menemukan, bukan menundukkan.
Kesombongan adalah dosa intelektual dan spiritual sekaligus, karena ia lahir dari lupa bahwa segala keunggulan adalah titipan, bukan kepemilikan. Maka, yang benar-benar unggul bukanlah mereka yang merasa lebih tinggi, tetapi mereka yang memiliki kemampuan tetap rendah hati saat diberi kelebihan, dan tetap lembut meski sedang berada di atas. “Maa tawaadho’a ahadun lillaahi illaa rofa’ahullaahu”. Tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikannya. (al-Hadis).
Penulis: adalah Guru Besar dan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram-NTB


0 Komentar