Beberapa hari yang lalu, sebuah quotes sederhana tiba-tiba melintas di beranda Facebook saya. Tulisannya berbunyi: “Terbanglah tinggi, bukan agar dunia bisa melihatmu, tetapi agar kamu bisa melihat dunia.” 
Hikmah Jum`at, 28 November 2025
Sekilas caption ini tampak seperti rangkaian kata biasa, tetapi setelah direnungkan lebih dalam, ada daya yang menyentuh—seakan menggamit kita untuk berhenti sejenak dari rutinitas, menengok arah perjalanan hidup, dan menata ulang makna capaian kita.
Kutipan ini merangkum esensi perjalanan manusia dengan sangat jernih: bahwa hidup bukanlah perlombaan untuk terlihat bersinar, melainkan proses yang menuntun kita memperluas horizon, memperdalam kebijaksanaan, dan menemukan versi terbaik dari diri sendiri.
Perjalanan sejati adalah perjalanan ke dalam diri. Ralph Waldo Emerson, seorang esais dari Amerika pernah berkata, “What lies behind us and what lies before us are tiny matters compared to what lies within us.” (Apa yang telah berlalu dan apa yang menanti di depan kita hanyalah hal kecil dibandingkan dengan apa yang ada di dalam diri kita).
Pesan Emerson ini sejalan dengan caption di atas; terbang tinggi bukan soal mendaki panggung dunia, tetapi tentang keberanian menengok ke dalam diri, lalu memandang dunia dari sudut yang lebih luas. Inilah capaian tertinggi dari pengembaraan intelektual—bukan sorot lampu, bukan pengakuan publik, tetapi kedalaman pandangan yang lahir dari proses memahami dunia secara menyeluruh.
Dalam kehidupan yang kian dipenuhi tuntutan pencitraan, ajakan untuk “melihat dunia” terasa seperti oase yang menghadirkan jeda dan kejernihan. Era digital telah membawa kita pada budaya tampil, budaya validasi, dan budaya angka—like, komentar, dan sorotan massa. Namun, justru di tengah hiruk pikuk itulah caption di atas ini mengingatkan kita untuk kembali ke niat sejati.
Dari sinilah renungan kecil ini bermula—bahwa terbang tinggi bukan soal menjadi pusat perhatian, tetapi tentang memosisikan diri pada ketinggian jiwa yang memberi kemampuan untuk melihat kehidupan secara utuh, sederhana, dan jernih. Seperti pesan Mahatma Gandhi, “In a gentle way, you can shake the world.” (Dengan cara yang lembut, kamu bisa mengguncang (mengubah) dunia). Kelembutan hati justru sering kali memberi pengaruh paling kuat—bukan karena terlihat, tetapi karena dipahami.
Di samping itu makna paling lembut dari kutipan “Terbanglah tinggi, bukan agar dunia bisa melihatmu, tetapi agar kamu bisa melihat dunia.” adalah ajakan untuk tidak terjebak pada hati yang mudah bergetar oleh pujian, mudah goyah oleh penilaian manusia, dan mudah lelah oleh ambisi ingin terlihat hebat. (Perhatikan QS. Al-Isrā’ [17]: 37).
Dalam konteks perjalanan intlektual, pesan ini sangat relevan: niat yang bersih membuat pengembaraan menjadi lebih ringan, lebih lapang, dan lebih bermakna. Terbang tinggi agar dilihat dunia adalah beban; terbang tinggi agar dapat melihat dunia adalah kelegaan.
Kini seiring terbukanya pintu-pintu global, banyak peluang untuk melakukan perjalanan ilmiah antar negara. Peluang pengembaraan ini sejatinya bukan sekadar perpindahan geografis, tetapi perpindahan cara pandang, ia harus menumbuhkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan itu hidup dalam keragaman—keragaman pendekatan, keragaman nilai, keragaman strategi dan keragaman cara pemecahan masalah. Inilah inti dari melihat dunia: bukan sekadar hadir di tempat yang jauh, tetapi berusaha membuka ruang batin untuk diperluas oleh pengalaman.
Kata Albert Einstein, “The mind that opens to a new idea never returns to its original size.” (Pikiran yang terbuka pada sebuah gagasan baru tidak akan pernah kembali ke ukuran semula).
Melihat dunia berarti menyimak dengan kepekaan; mengamati bagaimana bangsa lain menghargai proses; menyaksikan bagaimana lembaga-lembaga di berbagai negara merawat ilmu; membaca nilai-nilai kearifan yang hidup dalam masyarakat; serta menyerap pengalaman yang memperluas cakrawala.
Perjalanan intelektual yang tulus selalu menghasilkan transformasi jiwa dan pikiran. Kita tidak sekadar membawa pulang data, teori, atau laporan—kita semestinya juga membawa pulang kesadaran. Henry Miller, seorang novelis Amerika menggambarkan dengan indah, “One’s destination is never a place, but a new way of seeing things.” (Tujuan seseorang bukanlah sebuah tempat, melainkan cara baru dalam memandang sesuatu).
Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd
Dalam pengembaraan lintas batas, kita sesungguhnya akan berjumpa dengan hal-hal yang tidak pernah kita temukan sebelumnya: cara bekerja yang baru, perspektif baru dalam menghadapi masalah, hingga pola pikir yang membuat seseorang lebih merendah, lebih bijak, dan lebih matang. Dunia ternyata lebih luas dari prasangka kita, lebih rumit dari narasi tunggal, tetapi juga lebih indah dari yang kita duga. Semua pengalaman itu akan menumbuhkan kesadaran baru bahwa setiap jengkal bumi menyimpan hikmah yang menunggu untuk dipahami.
Sebagai catatan pinggir, bahwa caption “Terbanglah tinggi bukan untuk dilihat oleh dunia, tetapi untuk melihat dunia” ternyata menjadi sangat relevan dalam membingkai ulang perjalanan kita sebagai pengembara. Terbanglah setinggi kemampuan dan kesempatan yang Allah karuniakan; tetapi jangan biarkan ketinggian itu membuat kita terasing dari bumi. Jadikan ketinggian sebagai sudut pandang—bukan sebagai singgasana.
Pengembaraan sejati selalu menghadirkan dua hal: keluasan pengetahuan dan kedalaman kebijaksanaan. Bukan pujian yang dicari, bukan tepuk tangan yang dikejar, tetapi hati yang lebih tenang, kepala yang lebih jernih, dan cara melihat dunia yang lebih arif. Artinya, Suatu perubahan tidak dimulai dari panggung, tetapi dimulai dari cara kita memandang lingkungan sekitar dan dunia.
Penulis : adalah Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram
0 Komentar