
Di dunia ini, ada satu lembaga pendidikan yang paling tua, paling jujur, dan paling berhasil mencetak manusia—namun tak pernah tercatat dalam statistik pendidikan nasional. Lembaga itu bernama ibu. Ia adalah universitas pertama bagi setiap anak, tempat belajar yang paling awal, paling tulus, dan paling menentukan arah hidup seseorang.
PEPATAH ARAB yang sangat terkenal mengatakan: ”Al-ummu madrasatun idzā a‘dadtahā a‘dadta sya‘ban ṭayyibal-a‘rāq”. Ibu adalah madrasah; jika engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan sebuah bangsa yang baik akarnya.
Pepatah ini bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan pernyataan sosiologis dan pedagogis yang sangat rasional. Sebab pendidikan pertama seorang manusia tidak dimulai dari sekolah, tetapi dari rumah; tidak dimulai dari kurikulum tertulis, tetapi dari pola asuh; tidak dimulai dari guru profesional, tetapi dari ibu yang setiap hari hadir secara emosional dan eksistensial.
Ibu mungkin tidak pernah mengenal ruang kelas, tidak hafal teori pedagogik, apalagi istilah-istilah akademik yang rumit. Ia tidak bersekolah tinggi, bahkan mungkin tidak sempat menamatkan pendidikan dasar. Namun dari rahim dan pangkuannya, lahir anak-anak yang kelak menjadi “orang”—menjadi manusia yang bisa berdiri, berjuang, dan bermakna dalam hidupnya.
Dalam perspektif pendidikan modern, Munif Chatib—pakar pendidikan dan penggagas konsep Sekolahnya Manusia—menegaskan bahwa inti pendidikan bukanlah transfer pengetahuan, melainkan pembentukan karakter melalui keteladanan dan relasi emosional. Ia menyebut bahwa anak belajar paling efektif bukan dari apa yang diajarkan, tetapi dari siapa yang mengajarkan dan bagaimana ia diperlakukan. Dalam konteks ini, ibu adalah pendidik paling otentik, karena ia hadir bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai manusia yang mencintai.
Tanpa panggung, tanpa kurikulum tertulis, tanpa rapor, ibu mengajar dengan cara yang tidak pernah gagal—karena keteladanan dan pengorbanan.
Pendidikan Tanpa Bangku Sekolah
Sebagian besar ibu tidak pernah duduk di bangku sekolah formal, tetapi ia tahu betul bagaimana mendidik. Ia mengajarkan kejujuran tanpa ceramah panjang, mengajarkan tanggung jawab tanpa hukuman keras, dan mengajarkan cinta tanpa syarat. Dari caranya bangun paling pagi dan tidur paling akhir, anak-anak belajar tentang kerja keras. Dari caranya menahan lelah dan lapar, anak-anak belajar tentang pengorbanan.
" Ibu tidak pernah berkata, “Inilah teori hidup,” tetapi hidupnya sendiri adalah teori yang berjalan. Ia tidak menulis buku, tetapi jejak langkahnya menjadi bacaan paling penting bagi anak-anaknya."
Secara rasional, fase awal kehidupan anak—yang dalam psikologi disebut golden age—adalah masa pembentukan struktur kepribadian. Pada fase ini, ibu menjadi figur sentral. Cara ibu merespons tangisan, kegagalan, dan kesalahan anak akan membentuk pola emosi, kepercayaan diri, dan daya juang anak di masa depan. Inilah yang membuat peran ibu jauh lebih menentukan dibandingkan lembaga pendidikan formal mana pun.
Ibu tidak pernah berkata, “Inilah teori hidup,” tetapi hidupnya sendiri adalah teori yang berjalan. Ia tidak menulis buku, tetapi jejak langkahnya menjadi bacaan paling penting bagi anak-anaknya.
Sering kali kita terlalu sibuk memuja institusi pendidikan modern—sekolah unggulan, universitas ternama, gelar-gelar panjang—lalu lupa bahwa fondasi semua itu diletakkan oleh seorang ibu yang bahkan mungkin tak bisa membaca dengan lancar. Sebagaimana ditegaskan Munif Chatib, sekolah yang baik hanya akan bekerja optimal jika fondasi kemanusiaan anak sudah dibangun di rumah. Dan fondasi itu hampir selalu diletakkan oleh ibu.
Sunyi Kata, Ramai Air Mata
Tidak banyak kalimat yang keluar dari mulut seorang ibu. Ia tidak pandai merangkai kata-kata indah, tidak terbiasa berbicara panjang lebar. Kosakatanya sederhana, bahkan sering kali terbatas. Namun justru di situlah kekuatannya. Karena ketika kata-kata berhenti, air mata dan doa mengambil alih peran bahasa.
Saat anak-anaknya pergi merantau, ibu tidak memberi pidato perpisahan. Ia hanya menatap lebih lama, memeluk lebih erat, lalu menangis setelah pintu tertutup. Tangis itu bukan kelemahan, melainkan bahasa cinta yang paling jujur. Di balik air mata itu ada ribuan harapan, kecemasan, dan doa yang tak terucap.
Secara psikologis, pengalaman emosional semacam ini tertanam kuat dalam ingatan anak. Ia menjadi kompas moral yang bekerja diam-diam. Banyak orang bertahan dalam hidup bukan karena motivasi seminar, tetapi karena teringat wajah ibu yang menangis sunyi demi masa depan mereka.
Doa yang Tak Pernah Libur
Jika ada satu amalan yang paling konsisten di dunia ini, itu adalah doa seorang ibu. Doanya tidak mengenal hari libur, tidak terikat jam, tidak menunggu suasana khusyuk yang sempurna. Ia berdoa sambil memasak, sambil mencuci, sambil menunggu senja, bahkan sambil menahan kantuk di sepertiga malam.
Nama anak-anaknya disebut satu per satu, sering kali dengan suara lirih dan mata basah. Ia tidak meminta anaknya menjadi kaya atau terkenal. Ia hanya meminta satu hal: selamat hidupnya, lurus jalannya, dan kuat imannya.
Dalam logika spiritual dan sosial, doa ibu adalah energi yang menjaga anak tetap terhubung dengan nilai, bahkan ketika ia jauh dari rumah dan pengawasan.
Sukses Tanpa Panggung
![]() |
Ibu tidak pernah berdiri di podium untuk menerima penghargaan. Namanya jarang disebut dalam pidato kesuksesan. Tetapi sesungguhnya, setiap keberhasilan anak adalah monumen sunyi atas jasanya.
Ketika anak-anaknya tumbuh menjadi orang, bekerja, mengabdi, dan bermakna bagi sesama, di situlah keberhasilan ibu mencapai puncaknya. Ia mungkin tidak memahami apa itu sukses versi dunia, tetapi ia tahu betul apa arti berhasil: melihat anaknya hidup dengan benar.
Sebagai catatan pinggir, bahwa kita akan menyadari satu hal: sekolah dan universitas mengajarkan kita cara hidup, tetapi ibu mengajarkan kita alasan untuk bertahan hidup. Ia adalah universitas pertama yang tidak pernah memberi ijazah, tetapi meluluskan kita dari ketidaktahuan menjadi manusia. Ia adalah madrasah pertama yang—jika dipersiapkan dan dimuliakan—akan melahirkan generasi yang kokoh akarnya—sebagaimana dikatakan pepatah Arab.
Dan sering kali, ketika kita merasa lelah, gagal, atau kehilangan arah, yang kita butuhkan bukan teori baru—melainkan mengingat kembali satu wajah sederhana, yang diam-diam pernah berkata: “Berjuanglah Nak. Ibu selalu mendoakanmu.” ”SELAMAT HARI IBU”
Penulis: adalah Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) Universitas Islam Negeri Mataram


0 Komentar