Ibu, Wanita Paripurna Yang Tak Pernah Menuntut Balas Oleh : Aldo eL-Haz Kaffa

Foto: Repro BidikNews.net

IBU adalah kisah yang tak pernah selesai dituliskan. Setiap kata tentangnya selalu lahir dari sesuatu yang jauh lebih dalam daripada ingatan—ia lahir dari luka yang dijahit oleh cinta, dari letih yang disamarkan oleh senyum, dari doa-doa sunyi yang hanya langit tahu betapa berat beban yang ia pikul tanpa pernah mengeluh.

Sejak kita belum mengerti apa-apa, Ibu telah menjadi rumah pertama yang tak pernah meminta sewa, tak pernah menagih balas. Di dadanya, dunia yang gaduh terasa jinak. Di genggaman tangannya, langkah yang gamang menemukan keberanian. Ia tidak pernah bertanya kapan kita akan membalasnya, sebab bagi seorang ibu, melihat anaknya tumbuh dan hidup adalah bayaran yang paling paripurna.

Ada hari-hari ketika ia menahan lapar demi memastikan kita makan kenyang. Ada malam-malam ketika matanya memerah, bukan semata karena kurang tidur, melainkan karena ia diam-diam menyeka air mata—air mata cemas, air mata takut, air mata harap—yang sengaja ia sembunyikan agar kita tumbuh tanpa beban rasa bersalah. Ia memikul berat yang tak pernah kita timbang, sebab sebagian besar bebannya ia simpan rapi di balik punggung yang perlahan membungkuk.

Ketika kita terjatuh, ibulah yang paling cepat berlari, namun paling pelan untuk melepaskan. Ketika dunia meragukan kita, ibulah yang tetap percaya, bahkan saat kita sendiri goyah dan kehilangan iman pada diri kita. Ia memilih diam ketika disakiti oleh anaknya sendiri—bukan karena tak merasa, melainkan karena cintanya selalu lebih luas daripada rasa sakit itu.

Ibu tidak selalu sempurna. Ia bisa marah, bisa lelah, bisa keliru. Namun justru di situlah keindahannya: ia adalah manusia yang mencoba menjadi benteng, meski dirinya sendiri penuh retak. Dan setiap retak itu ia tutup dengan doa—doa yang mungkin tak pernah kita dengar, tetapi diam-diam menjaga langkah kita lebih sering daripada yang kita sadari.

Waktu, seperti biasa, berjalan tanpa permisi. Rambut ibu memutih satu demi satu. Suaranya tak lagi selembut dulu. Langkahnya tak lagi sigap seperti dahulu. Kita tumbuh dewasa, sibuk mengejar dunia kita sendiri, sementara ibulah yang pelan-pelan menua di sudut rumah—menunggu kabar, menunggu pulang, menunggu anak yang dulu tak pernah lepas dari pangkuannya. Betapa sering kita lupa bahwa waktu kita bersama ibu tidak pernah sepanjang dugaan kita.

Akan datang suatu masa ketika panggilan “Bu…” hanya menjadi gema yang tak lagi berbalas. Rumah yang dahulu hangat oleh kehadirannya berubah menjadi sekadar bangunan yang sunyi. Dan saat itulah kita baru benar-benar paham: tidak ada kehilangan yang lebih menghantam dada selain kehilangan seseorang yang mencintai kita tanpa syarat, tanpa perhitungan, tanpa jeda. Maka selagi ia masih ada, peluklah lebih lama. Dengarkan ceritanya tanpa tergesa. Tanyakan apa yang ia rasakan, bukan hanya apa yang ia berikan. Pulanglah sebelum penyesalan menjelma menjadi tamu abadi di hati.

Ibu tidak meminta banyak. Ia hanya ingin anaknya hidup baik, hidup lurus, hidup bahagia. Dan sesekali mengingat bahwa ada seorang perempuan yang pernah mempertaruhkan seluruh hidupnya agar kita bisa berdiri setegap hari ini. Nama Ibu mungkin sederhana, tetapi cintanya adalah kisah paling agung yang pernah dituliskan semesta.


Yang pasti, Ibu adalah satu-satunya kata yang ketika diucapkan, dada kita bergetar tanpa perlu sebab. Ia bukan sekadar nama, bukan sekadar panggilan—ia adalah denyut pertama kehidupan, alasan pertama kita belajar berharap, dan tangan pertama yang mengajarkan apa itu cinta sebelum dunia sibuk memberi definisinya sendiri. Dan mengingat Ibu, semua itu seolah memancar kembali, menyadarkan kita betapa selama ini kita masih berutang begitu banyak kepadanya.

Ibu adalah perempuan yang menampung badai tanpa pernah bertanya kapan ia akan reda. Ia bangun saat dunia masih gelap, berjalan dengan kaki yang gemetar, namun tetap tersenyum karena ia tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Ia hidup untuk seseorang yang pernah ia dekap sebagai bayi, seseorang yang ia doakan bahkan sebelum ia tahu rupa dan jalan hidup anak itu kelak. Ia hidup untuk kita—dan sering kali, kitalah yang lupa menghargai pengorbanan sebesar itu.

Setiap lekuk tubuhnya menyimpan kisah: punggung yang kian membungkuk, tanda beban yang seharusnya tak ia pikul sendirian; telapak tangan yang mengasar, bukti bahwa ia menghaluskan jalan hidup anaknya meski harus mengorbankan kelembutan dirinya; mata yang perlahan redup, saksi ratusan malam yang ia habiskan untuk menunggu—menunggu pulang, menunggu kabar, menunggu satu kalimat sederhana: “Bu, saya baik-baik saja.”

Tentang Ibu, bagaimana mungkin hati ini tidak remuk memikirkannya?

Betapa banyak pahit yang ia telan sendiri agar kita tak perlu mencicipinya—penolakan, kecemasan, sakit hati, kelelahan, bahkan kesepian. Ia memeluk dunia kita dengan dua tangan yang kecil itu, padahal dunia itu sering terlalu berat baginya. Ia tidak menyerah, sebab baginya menyerah berarti membiarkan anaknya tumbuh tanpa pelindung. Ia memilih patah dalam diam daripada melihat kita retak.

Pernahkah kita merenung bahwa doa-doanya adalah alasan kita masih bertahan hari ini? Bahwa nama kita adalah kata yang paling sering ia sebut di antara helai tasbih dan tarikan napas panjang pada malam-malam yang senyap? Bahwa kebahagiaan kita adalah bagian dari ibadahnya, dan kesedihan kita adalah bagian dari lukanya?

Bagi kita tentu tidak perlu hari khusus sebagai Hari Ibu, karena setiap waktu mestinya waktu bhakti kepada Ibu. Ibu tidak mengharap hadiah, bunga, atau pujian. Yang ia tunggu hanyalah perhatian kecil yang sering kita remehkan: sebuah telepon, sebuah pelukan, atau duduk bersamanya tanpa tergesa. Ia hanya ingin tahu bahwa anak yang dahulu ia perjuangkan masih mengingatnya—bukan hanya pada hari perayaan.

Namun di sinilah ironi terbesar hidup: kita baru benar-benar memahami nilai seorang ibu ketika jarak sudah terlampau jauh, ketika waktu terlalu cepat, ketika panggilan “Bu…” tak lagi dijawab suara hangat, melainkan hanya bergema di ruang kosong hati kita sendiri.

Tidak perlu Hari Ibu yang sekadar peringatan. Karena setiap hari adalah kaca tempat kita bercermin—bukan untuk menenggelamkan kita dalam rasa bersalah, tetapi untuk menggugah: agar kita kembali pulang, kembali menyapa, kembali menghargai sesuatu yang kelak tak akan pernah bisa kita temukan penggantinya.

Foto: Repro BidikNews.net
Sebab jika ada satu cinta yang tak tergantikan oleh apa pun dan siapa pun, itu adalah cinta Ibu. Cinta yang tak lahir dari pamrih, tak dibangun oleh kepentingan, tak menunggu balasan. Cinta yang tetap utuh bahkan ketika kita berkali-kali melukainya dengan kelalaian kita sendiri.

Maka di setiap hari, ambillah waktu sejenak untuk bertanya pada diri sendiri: apa yang telah benar-benar kita lakukan untuk perempuan yang paling berjasa dalam hidup kita? Sudahkah kita membuatnya merasa dicintai? Ataukah kita membiarkannya menua dalam sunyi yang tak layak ia tanggung?

Ibu adalah pengingat bahwa waktu tak pernah menunggu siapa pun. Rambutnya tak akan kembali hitam. Pundaknya tak akan kembali kokoh. Langkahnya tak akan kembali ringan. Namun cinta kita—cinta yang lahir dari kesadaran bahwa ia adalah anugerah terbesar dari Allâh—masih bisa kita hadirkan hari ini. Sebelum semuanya terlambat.

Peluklah ia lebih lama. Tersenyumlah untuknya lebih sering. Ucapkan terima kasih, meski dua kata itu tak akan pernah cukup. Sebab pada akhirnya, seluruh dunia boleh mengecewakan kita, tetapi ibu—dengan segala ketidaksempurnaannya—adalah satu-satunya manusia yang rela remuk agar kita tetap utuh. Dan itulah sebabnya kata Ibu bukan sekadar perayaan. Ia adalah seruan lembut dari langit, panggilan untuk kembali kepada sumber kasih paling tulus dalam hidup kita.

Untuk semua ibu di dunia ini: terima kasih. Terima kasih karena telah mengajarkan cinta yang tak menuntut kembali. Terima kasih karena tetap mendoakan bahkan saat kami sibuk melupakan. Terima kasih karena tanpa engkau, kami tak akan pernah tahu seperti apa rasanya dicintai—tanpa syarat, tanpa syarat, tanpa syarat.

Selamat untukmu, Ibu—atas cinta yang tak pernah padam. Untuk perempuan yang tak pernah berhenti mencintai, bahkan ketika kami lupa bagaimana caranya membalas.

Allahummaghfir lī wa li-wālidayya wa lil-mu’minīna yauma yaqūmul-ḥisāb.

— Coach Kaffa


0 Komentar