Puasa, Mengajarkan Agar Hati Tidak "Ternoda"


BidikNews
- Prof. Mohamad Abdun Nasir, S.Ag. M.Ag, M.A,P.hD dalam ceramah subuhnya  pada Senen, 25 April 2022 di masjid Al Achwan Griya Pagutan Indah Mataram menyebutkan ada beberapa penyakit hati yang menggerogoti jiwa manusia antara lain, yaitu: pamer (riya’), marah (al-ghadhab), lalai dan lupa (al-ghaflah wan nisyah), was-was (al-was-wasah), frustrasi (al-ya’s), rakus (tama’), terperdaya (al-ghurur), sombong (al-ujub), dengki dan iri hati (al-hasd wal hiqd).

Dijelaskannya, Puasa merupakan sarana yang paling tepat bagi umat Islam dalam memperbaiki diri, terutama mengikis berbagai macam penyakit yang bersemayam dihati. Setiap muslim yang beriman kepada Allah, pasti akan menyambut bulan suci ini dengan gembira dan penuh suka cita, karena Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu untuk bisa meraih pahala yang tak terhingga dari berbagai ibadah dan amal saleh yang dikerjakan.

Hakikat Ramadhan yang di dalamnya diperintahkan berpuasa selama satu bulan penuh, sebenarnya untuk membersihkan jiwa dan hati dari segala penyakit batin, yang pada akhirnya akan memperoleh penghargaan tertinggi dari Allah dengan predikat taqwa.

Di antara penyakit batin tersebut adalah iri, dengki, hasad, tamak, kikir, angkuh, sombong, takabbur dan riya, serta berbagai sifat kebinatangan lainnya yang ada pada iri manusia. Penyakit ini bisa menyerang siapa pun, bahkan termasuk orang yang paling kuat ibadahnya kepada Allah, tapi jika hatinya tidak bersih maka virus penyakit batin akan menimpanya.

Puasa di bulan Ramadhan menjadi obat yang dapat menghilangkan berbagai penyakit batin ini. Dengan hilangnya penyakit hati, maka kita akan menjalani hidup nyaman, tenang, dan tidak resah dalam pergaulan dengan siapa pun, karena hanya kepada Allah tujuan akhir hidup kita.

Penyakit hati sering diidentikkan dengan beberapa sifat buruk atau tingkah laku tercela (al-akhlaq al-mazmumah), seperti dengki, iri hati, arogan, emosional dan seterusnya. Jika terdapat sesuatu perasaan di dalam hati yang tidak senang melihat orang lain mendapat nikmat dari Allah. Maka itulah yang namanya iri hati.

Penyakit hati sering diidentikkan dengan beberapa sifat buruk atau tingkah laku tercela (al-akhlaq al-mazmumah), seperti dengki, iri hati, arogan, emosional dan seterusnya.” Kata Guru Besar UIN Mataram itu.

Penyakit hati sering diidentikkan dengan beberapa sifat buruk atau tingkah laku tercela (al-akhlaq al-mazmumah), seperti dengki, iri hati, arogan, emosional dan seterusnya.

Dalam konteks Guru Besar UIN Mataram ini hanya menekankan pada empat jenis penyakit hati yang menonjol, yaitu: riya’, marah, membanggakan diri, iri hati dan dengki. Karena beberapa sifat tercela di atas ada relevansinya jika dianggap sebagai penyakit jiwa, sebab dalam kesehatan mental sifat-sifat tersebut merupakan indikasi dari penyakit kejiwaan manusia. Jadi pada penderitanya sakit jiwa salah satunya ditandai oleh sifat-sifat buruk tersebut.” Kata Prof. Mohamad Abdun Nasir, S.Ag. M.Ag, M.A,P.hD.

Pertama, Riya’ (pamer). Prof. Mohamad Abdun Nasir, S.Ag. M.Ag, M.A,P.hD menjelaskan, dalam penyakit riya’ terdapat unsur penipuan terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain, karena hakikatnya ia mengungkapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Penyakit riya’ merasuk dalam jiwa seseorang dengan halus dan tidak terasa sehingga hampir tidak ada orang yang selamat dari serangan penyakit ini kecuali orang arif yang ikhlas dan taat.” Jelas Prof muda itu.


Dalam riya’ terdapat unsur kepura-puraan, munafik, seluruh tingkah-lakunya cenderung mengharap pujian orang lain, senang kepada kebesaran dan kekuasaan. Over acting, menutup-nutupi kejelekannya dan seterusnya.  Islam memberikan terapi riya’ ini dengan cara mengikis nafsu syahwat sedikit demi sedikit dan menanamkan sifat merendahkan diri (tawadhu’) dengan melihat kebesaran Allah SWT.

Kedua Marah, Prof. Mohamad Abdun Nasir, S.Ag. M.Ag, M.A,P.hD mengungkapkan, bahwa Marah pada hakikatnya adalah memuncaknya kepanikan di kepala, lalu menguasai otak atau pikiran dan akhirnya kepada perasaan. Kondisi semacam ini seringkali sulit untuk dikendalikan. Marah dapat mamatik beberapa pelampiasan, misalnya cacian dengan kata-kata kotor/keji. Sedangkan secara fisik dapat memancing tindakan-tindakan kekerasan.


Ini berarti bahwa dari penjelasan Guru Besar UIN Mataram itu menggabarkan Jika kemarahan orang tersebut tidak bisa dilampiaskan dengan tindakan seperti diatas, maka dia akan berhadapan dengan dirinya sendiri dengan cara, merobek-robek pakaian, menampar mukanya sendiri, membanting perabot rumah tangga dan seterusnya.

Marah juga dapat berpengaruh pada hati seseorang, yaitu sifat dengki dan iri hati, rela melihat orang lain menderita, cemburu, suka membuka aib orang lain dan seterusnya.” Jelas Profesor Abd Nasir.

Benar kata Nabi Muhammad SAW, beliau melarang orang yang sedang marah untuk memutuskan sesuatu perkara sebagaimana sabdanya: “Seseorang tidak boleh membuat keputusan diantara dua orang (yang berselisih) sementara ia dalam keadaan marah”.

Nabi juga sangat memuji tindakan pengendalian diri terhadap emosi marah ini dan menganggapnya sebagai orang yang kuat, sebagaimana sabdanya: “Tidaklah orang dikatakan kuat itu adalah orang yang pandai berkelahi, tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menahan amarahnya”.

Karena itu kata Prof Abdun Nasir, bahwa cara untuk menanggulangi kemarahan sampai batas yang seimbang adalah dengan jalan menanamkan jiwa sabar dan kasih sayang.[7]

Ketiga, Banggakan Diri (‘Ujub). Perasaan membanggakan diri (‘ujub) sedikit berbeda dengan perasaan sombong (kibr). Menurut Prof. Mohamad Abdun Nasir, S.Ag. M.Ag, M.A,P.hD, Ujub merupakan perasaan yang muncul pada diri seseorang, di mana ia menganggap dirinya lebih baik dan lebih utama dari orang lain.


Kemunculannya disebabkan adanya anggapan bahwa ia merasa yang paling baik dan paling sempurna di dalam segalanya. Sikap ‘ujub adalah penyakit mental yang sangat berbahaya, sebab eksistensinya membuat hati menjadi beku dalam menerima kebaikan, dan selalu menutup-nutupi kesalahan, sebagaimana firman Allah Swt.:
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia ia berpaling dan menjauhkan diri, tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdoa.” (Q.S. Fusilat: 51).

Dari sisi lain orang yang bangga dengan dirinya telah menyadari akan kepribadiannya dan mengerti akan kesalahannya, tetapi tidak tertarik untuk kembali kepada kebenaran, melainkan bersikap putus asa, tetap ingkar dan bahkan “ogah” melakukan kebajikan dan pengabdian kepada Allah.

Keempat, Iri Hati dan Dengki. Menurut Prof. Mohamad Abdun Nasir, S.Ag. M.Ag, M.A,P.hD, Iri hati atau juga disebut dengki merupakan gejala-gejala luar yang kadang-kadang menunukkan perasaan dalam hati. Akan tetapi gejala-gejala tersebut tidak mudah untuk diketahui, sebab seseorang akan berusaha semaksimal mungkin menyembunyikan gejala-gejala tersebut.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa rasa iri muncul akibat kegagalan seseorang dalam mencapai sesuatu tujuan. Oleh sebab itu emosi ini sangat kompleks, dan pada dasarnya terdiri atas rasa ingin memiliki.” Jelas Guru Besar UIN Mataram ini


Ada dua rasa iri kata Abdun Nasir, yakni Iri Positif dan Iri yang negative. Rasa Iri yang positif merupakan sesuatu yang diharuskan bagi stiap muslim sebagaimana firman Allah: “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu peraselisihkan”. (Q.S. al-Maidah: 48).

Sementara iri yang negative lebih didasari oleh rasa benci terhadap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain, baik yang berkaitan dengan materi maupun yang berhubungan dengan jabatan/kedudukan.

Iri dalam kategori ini, menurut Guru besar UIN Mataram itu cenderung memunculkan sikap antipati dan bahkan melahirkan sikap permusuhan terhadap orang lain. Kemunculannya lebih disebabkan oleh rasa sombong, bangga, riya’, dan rasa takut kehilangan kedudukan.

Diakhir tausyiahnya, Prof. Mohamad Abdun Nasir, S.Ag. M.Ag, M.A,P.hD memperingatkan kepada para jamaah untuk waspada dan berhati-hati terhadap penyakit hati. Banyak orang tidak merasakan nikmatnya iman, Karena kebanyakan manusia, hati dan jiwanya sedang sakit." ujar Guru besar UIN itu.

Untuk bisa mengembalikan pada kondisi normal, tentu kita harus berusaha mengobati penyakit itu. Karena jika sakit ini dibiarkan, selamanya kita tidak bisa merasakan nikmatnya nutrisi dan makanan. Hati sakit yang dibiarkan, selamanya akan sulit untuk menikmati lezatnya iman." Kata Prof. Mohamad Abdun Nasir, S.Ag. M.Ag, M.A,P.hD, sembari mengakhiri ceramah subuh yang diikuti ratusan jamaah Muslim Masjd Al Achwan GPI Mataram itu.

Pewarta : Dae Ompu
Editor    : BN-007

0 Komentar